Bagir Manan: jangan cuma banyak sarjana, tapi segelintir intelek.. Pers mahasiswa adalah badan pers, atau hanya sekedar nama? Lalu, kalau hanya sekedar nama, bagaimana kasus-kasus pengekangan terhadap pers kampus oleh birokrasi kampus di dalamnya diselesaikan mengingat ia tidak mendapatkan perlindungan pers sebagaimana UU no 40 th 1999?
“Bedakan antara sarjana dan intellectuality. Sekarang banyak sarjana, tapi minim intelek. Saya bilang, apapun bisa dipelajari. Namun, karakter tidak bisa diajarkan di kelas. Karakter itu diajarkan di ruang-ruang informal (macam pers mahasiswa. red).” Itu adalah sekelumit kalimat yang dilontarkan Prof. Bagir Manan, mantan ketua Mahkamah Agung RI sekaligus sebagai ketua Dewan Pers Indonesia dalam acara Konvensi Nasional dan Penganugerahan ISPRIMA 2011 “Jurnalisme Pers mahasiswa dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Papandayan Room Hotel Horison Semarang, Sabtu 7 Mei 2011. Pernyataan itu dia lontarkan ketika mengisi diskusi tentang peranan pers mahasiswa. Bagir berbicara tentang beberapa fungsi pers, dimana pembicaraan mengarah pada aspek fungsi pers mahasiswa pada khususnya.
Salah satu fungsi pers adalah fungsi intelektualitas. Dalam konteks pers mahasiswa, fungsi tersebut muncul untuk membentuk dan menempa karakter para pelaku pers mahasiswa itu sendiri untuk selalu menjunjung tinggi intelektualitasnya. Tanpa mengesampingkan fungsi pers mahasiswa kekinian yang dinilai rancu, kenyatannya yang ada sekarang adalah pers mahasiswa lebih berfungsi sebagai wahana dan laboratorium bagi mahasiswa di dalamnya. Baik itu sebagai wahana pengembangan kejurnalistikan berupa penerbitan, maupun wahana menempa karakter intelektualitas berupa diskusi-diskusi dan aliran wacana di dalam komunitas pers mahasiswa itu sendiri. Maka, ketika pers mahasiswa mampu mewujudkan fungsi intelektualitasnya berupa dinamika keilmuan di dalamnya, diharapkan tidak ada lagi sarjana-sarjana yang tidak intelek.
Dalam diskusi ini Bagir Manan juga menyinggung tentang kebebasan pers, kaitannya dengan kehidupan demokrasi di Indonesia. “Kreativitas nyatanya ada karena adanya ruang yang bebas..” ujarnya. Dia juga memberi analogi hubungan kebebasan dengan kreativitas. Seorang anak yang cenderung dikekang dalam keluarga, tidak diberi kebebasan oleh orang tuanya, maka kemungkinannya ada dua. Pertama, jika anaknya seorang pemdiam yang lemah, maka dia tidak akan berkembang dan dia akan minder. Kedua, jiaka anaknya pemberontak, maka anak itu akan berontak dan meninggalkan orang tuanya untuk mencari pelampiasan di luar. Kebebasan pers di Indonesia adalah angin segar bagi demokrasi. Sedikit mengutip kata-kata Bill Kovach dalam bukunya 9 Elemen Jurnalistik, bahwa demokrasi dan pers akan lahir bersama-sama, dan akan mati bersamaan pula. Artinya adalah bahwa antara demokrasi dan kebebasan pers adalah dua sejoli yang tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Di Amerika Serikat, orang-orang kongres tidak diperbolehkan membuat undang-undang tentang pers. Itu sudah diatur dalam konstitusi. Orang-orang pers pun tidak semerta merta sewenang-wenang dengan kewenangan yang dia punya. Mereka sangat taat asas, yaitu kode etik pers. Dan mereka sangat konsekuen dan memegang teguh kode etik tersebut.
Yang menarik dari diskusi ini adalah munculnya pertanyaan tentang hakekat pers mahasiswa dan kedudukannya di mata dewan pers. Saat ini, banyak pertanyaan apakah pers mahasiswa termasuk pers yang berada dalam lingkup UU Pers no. 40 Tahun 1999, yang berhak dan berkewajiban sama dengan pers mainstream. Atau, pers mahasiswa sebetulnya hanya sekedar nama saja? Bagir Manan menjawab dengan mengutarakan beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan jika sebuah badan mengaku sebagai lembaga pers yang sesuai dengan UU no 40 tersebut, yakni badan pers harus taat hak dan kewajibannya, taat asas (kode etik), dan independent. Saat ini, dalam pandangannya, pers kampus adalah sebatas pada kegiatan akademis mahasiswa di lingkungan universitas itu sendiri.
Hal tersebut berimplikasi pada langkah yang dapat diambil pers kampus jika terjadi pengekangan yang dilakukan birokrasi. Jika pers kampus dikekang oleh rektorat/birokrasi kampus karena memang dana operasionalnya berasal dari situ, maka hal itu tidak dapat ditindak dengan UU Pers. Jika hal itu terjadi, yang dapat dilakukan pers kampus adalah mengarahkan masalah tersebut pada permasalahan demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi dan HAM menjunjung tinggi aspirasi setiap orang. Maka pengekangan pers kampus oleh birokrasi adalah pelanggaran demokrasi dan pelanggaran hak asasi mahasiswa di dalamnya. Masalah tersebut selayaknya diselesaikan dengan cara negosiasi oleh pers mahasiswa yang bersangkutan. [] (Hasan)