Aku menyesal saat mengawali kisah ini sebagai sebuah kisah karma karena ucapanku sendiri pada pertengahan musim panas tahun lalu. Saat mulutku dengan lancang mengatakan agar Tuhan mengirimkanku seseorang yang bisa membuatku patah hati sebelum musim gugur, agar aku bisa merasakan bagaimana rasanya sendu sendirian di sebuah downtown cafe dengan secangkir matcha dan lampu redup pada pojokan bawah tangga yang lembab. Padahal patah hati merupakan urusan terakhirku yang tidak bisa diam karena banyak hal yang harus kukerjakan. Bahkan jika ketikan-ketikanku sebelumnya menggambarkan akhir yang menyedihkan, itu hanya imajinasi kebablasan yang bahkan aku tidak pernah berharap untuk merasakannya secara nyata. Kecuali pada kali ini.
Merah, seperti judulnya. Aku menamai tragedi ini sebagai merah bukan karena terjadi pertumpahan darah, tetapi justru air mata yang tertuang dalam setiap lembaran buku dengan polaroid tersusun acak di tiap lembarannya. Aku menamainya merah karena hari pertamaku bertemu pria itu adalah saat musim gugur dan daun-daun merah berguguran memenuhi danau sampai menutupi air. Aku menamainya merah juga karena saat aku dan pria itu bertemu untuk pertama kalinya, gaun merah bitchy-ku tersangkut di ujung sepatu pria bertuksedo merah hati, dirinya. Terakhir, aku menamainya merah karena pertemuan itu tepat saat Taylor Swift merilis album yang berjudul merah, yang pada akhirnya menjadi titikku mencurahkan patah hati setelah sekian lama aku tidak lagi peduli bahwa perasaan menyakitkan itu masih eksis di muka bumi.
Membuka pintu dengan perlahan-lahan, aku tak tahu kenapa kamu tidak mengenaliku hari itu. Aku menatapmu pada perjumpaan pertama dengan perasaan pertama secara nyata sambil bergumam ‘akhirnya’ tanpa ada orang yang tahu aku berhasil menemuimu dalam jarak dekat. Meskipun ada sedikit kesan menyedihkan karena kamu tidak menyadari keberadaanku, bagiku cukup. Aku memang tidak se-memorable itu di ingatanmu, tidak sepertimu yang sangat melekat di ingatanku.
Kuurungkan sapaan halo, sampai dirimu menoleh dan mencoba mencari namaku dalam ingatanmu. Dan saat namaku terucap, angin kencang merontokkan daun-daun oranye ke permukaan danau, menimbulkan gemerisik seperti tepuk tangan. Sepasang senyum terbang ke angkasa, menghias langit-langit ruangan dengan percakapan singkat yang sampai setahun kemudian, kenangannya kurayakan.
Kamu membuat lirik-lirik pada lagu sepuluh menit yang aku nyanyikan, yang terasa sangat ringan untuk dihafal dalam kurun waktu satu minggu serta menyesuaikannya dengan gitaris yang mengiringinya. Terkadang aku berharap bahwa aku tidak pernah menyadari kenapa romansa bisa sekuat dan serumit ini setelah semuanya berubah warna.
Paragraf-paragraf sebelumnya hanyalah sedikit dari kilas balik momen-momen yang terasa singkat jika dipanggil kembali. Keajaiban itu tidak ada lagi, meskipun hanya daun-daun yang seolah bertepuk tangan atau dirimu yang berusaha mengingat namaku sebelum memanggilnya. Tidak apa-apa, bukankah tidak ada yang menetap? Bukankah semua ada waktunya? Aku berusaha berdiri dan berkata tidak apa-apa sejak kehilanganmu Juli lalu, menebar senyum dan menyibukkan diri hingga aku tumbang, percayalah, aku selalu mengatakan tidak apa-apa dan memberi alasan bahwa rapuhku adalah karena padatnya aktivitasku. Aku tidak ingin memberitahu orang-orang bahwa aku membebani diriku sendiri karena ada yang ingin aku lupakan.
Aku baik-baik saja.
Tetapi tidak sepenuhnya.
Aku terbang kesana-kemari, mendekat dan menghindar, memberi ruang untuk diriku, membatasi interaksiku denganmu, tertawa bersama sahabat-sahabatku, pulang ke rumah dengan makanan-makanan favoritku. Menari sendiri di kamar diiringi lagu-lagu Taylor Swift, lalu tertidur kelelahan.
Aku sudah mengatakan pada diriku sendiri bahwa ini waktunya untukku pergi, tetapi kenapa melupakanmu terdengar tidak mungkin saat nyatanya kamu sempurna masuk dalam hidupku dan semua hal yang menggambarkan aku? Sekarang, mendengarkan Taylor Swift tidak sama rasanya dengan aku yang berusia 18 mendengarkan lagu-lagunya lagi karena setiap lirik pasti ada saja yang sempurna menggambarkan kamu. Berat untukku memutar beberapa lagu Taylor Swift karena aku tidak akan tenang mendengarkannya atau menangis diam-diam saat sang penyanyi merangkumkan perasaan random ini dalam sebuah lagu.
Andai kamu tahu bahwa melihat pertandingan badminton Christo Popov dan Fajar Alfian-Rian Ardianto tidak lagi memacu adrenalinku seperti berharap mereka memenangkan pertandingan atau ikut kecewa dan sedih saat mereka mendapatkan kekalahan. Karena kita pernah membicarakan mereka, tentang servis Rian yang menghasilkan poin untuk lawan, tentang kram kaki yang diderita Christo setiap ia bermain lebih dari seratus menit, tentang defense Fajar yang sulit dikalahkan pasangan Malaysia. Dari All England sampai Indonesia Master, kita melakukannya seperti orang yang expert dalam badminton padahal menangkis bulu saja tidak pernah.
Ada beberapa buku soal hukum yang sama sekali belum aku sentuh karena saat itu aku membelinya sebab kamu begitu tertarik dengan hukum. Aku mempelajarinya untuk menjawab pertanyaanmu yang kadang aneh-aneh soal penegakan hukum negara ini, bahkan bertanya pada asisten dosen tentang digital evidence dan kekuatan pembuktiannya hanya karena kamu pernah menanyakannya saat membahas kasus Vanessa Angel. Aku tak lagi menyentuhnya bukan karena aku tidak butuh, tetapi aku takut, beberapa pertanyaanmu yang belum sempat terjawab ternyata kutemukan jawabannya di antara buku-buku itu sedang aku tidak tahu bagaimana cara untuk datang lagi padamu dan menjelaskan jawabannya.
Bahkan aku mulai kehilangan minatku untuk melihat beauty pageant dan bertengkar lewat ketikan dengan banci-banci Filipina karena hal sekecil ini, yang sahabat-sahabatku tidak tahu aku menyukai dan melakukannya, kamu masuk begitu saja pada detail-detail sisi lain diriku. Mendengarkan gebuan dan kekesalanku yang sudah menyertakan fakta saat bertengkar dengan orang Filipina, tetapi berakhiran mereka mengataiku ‘Inunesya Tolol’ lalu kamu ikut menceritakan fakta bahwa Filipina selalu kalah dalam head to head-nya dengan Indonesia. Hari itu, kurasa banyak hal yang bisa kita bahas bersama dan aku tidak berharap percakapan ini akan berakhir.
Saat orang-orang menghujatku yang menonton series homo Thailand, saat itu juga kamu sebenarnya juga menentang keras tentang apa yang aku suka, bahkan mempertanyakan dari mana aku mendapat pengaruh untuk melihat serial-serial gay dari negara sebelah itu. Kamu menyadari pandangan kita berbeda, tetapi kamu tetap mendengarkan dan tidak pernah mempertanyakan atau memintaku berhenti padahal aku juga termasuk aktivis remaja masjid. Katamu, kebahagiaan orang berbeda-beda dan kamu hanya berusaha menghargainya. Katamu, biar saja aku suka menonton serial gay, tetapi kamu akan tetap memeranginya.
Aku sejak awal tahu cabang pemikiran kita berbeda, tetapi aku terpikat. Pada caramu menenangkan sifat overthinking-ku tiap malam dan ketika aku merasa benar-benar sendirian dalam memecahkan masalah organisasi. Kamu tahu sebaik sahabat-sahabatku selama 12 tahun tentang bagaimana memegang emosiku dan mengendalikannya. Tahu bagaimana cara menenangkanku saat aku yang hobi panik menemukan titik paniknya di tengah jalan dalam trip bersama menuju entah ke mana. Sampai kamu tahu amarahku pada musim semi pukul sepuluh malam, tetapi kamu tetap datang dan mengulurkan tangan. Singkatnya saja, kamu berbuat baik dulu baru aku tertarik. Bukan aku tertarik dulu baru melihat apa yang kamu lakukan selalu baik. Dua hal yang berbeda.
Mungkin ini salahku juga, kamu berusaha untuk masuk dalam cerita kehidupanku, tetapi aku tidak pernah berusaha untuk masuk dan membaca halaman bukumu. Seharusnya aku lebih berani untuk bertanya soal janjimu yang berkata kapan-kapan akan menceritakan soal dirimu sebagai balasan atas aku yang selalu terbuka. Maaf, aku terlalu banyak berpikir dan mempertimbangkan sehingga terlambat untuk membacamu dan memaknai kamu. Aku menyadari kesalahanku, tetapi belum berani untuk mengatakannya karena aku pecundang.
Taylor Swift, Christo Popov, Fajar-Rian, badminton, serial Thailand, kontes kecantikan, Filipina.
Semua akan terasa berbeda setelah semua hal itu ternyata bisa berkaitan denganmu dan berteriak di tepi pikir sampai kepalaku sakit.
“Apa suara memori?” tanya sahabatku saat aku duduk di bangku yang berhadapan langsung dengan danau.
“Gema yang berisik,” jawabku pelan.
“Bagaimana?”
“Saat memejamkan mata, semua berputar hingga kepala dan telingaku sakit.”
Dan itulah kenapa semua masih berputar di pikiranku. Karena melupakanmu, kehilanganmu, merindukanmu, mencintaimu, semua terangkum dalam warna merah. Dalam waktu yang merah. Tidak mungkin melepaskannya saat semuanya masih bisa terlihat jelas seperti kilas balik di film reel pada layar besar di kotaku. –Taylor Swift.
Penulis: Guireva Gahara
Editor: Lutfiyatul Khasanah