Credit Picture: Fery Adwarsyah
Foto: Fery Adwarsyah/LPM Kentingan

DARURAT KEKERASAN SEKSUAL, MENOLAK LUPA PENGESAHAN RUU PKS

Rabu (27/01), The Body Shop Indonesia mengadakan Educational Webinar bertajuk “Ambil Bagian! Bersama Lawan Kekerasan Seksual”. Beberapa pembicara dihadirkan dalam acara ini, yaitu Ratu Ommaya; Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, Kalis Mardiasih; Penulis dan Gender Equality Campaigner, Yulianti Muthmainnah; Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, & Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, dan Wawan Suwandi; Public Relations Yayasan Pulih. Webinar diselenggarakan via Zoom Meeting bersama Widya Saputra sebagai Master of Ceremony, dan juga mendatangkan dua penanggap yaitu Amanda Normanita; Mahasiswi dan Perwakilan Generasi Millenials, serta Nur Aisyah Maullidah; Mahasiswi dan Girl Ambassador for Peace.

Mengawali acara, Ratu Ommaya bercerita mengenai pengalaman pribadinya terkait kekerasan seksual yang pernah ia alami semasa kuliah. Mulai dari catcalling hingga kejadian eksibisionis ketika naik transportasi umum. Kejadian tersebut akhirnya mendorongnya untuk semakin mendukung kampanye pengesahan RUU PKS. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, jumlah kasus kekerasan seksual meningkat hampir 800%. Sayangnya, dari keseluruhan kasus tersebut hanya 9% yang berani melaporkan kepada pihak kepolisian dan hanya 1% yang ditindaklanjuti. Data tersebut membuktikan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis kekerasan seksual.

Sependapat dengan Ratu Ommaya, Yulianti Muthmainnah atau yang kerap disapa Yulianti, menjelaskan bahwa salah satu hal yang menjadi penyebab maraknya kasus kekerasan seksual ialah karena masyarakat tidak menganggap kekerasan seksual sebagai kasus yang penting. “Berbeda dengan kasus terorisme, narkoba, maupun kasus-kasus pidana lainnya yang mana pelaku mendapat hukuman sosial. Dalam kasus kekerasan seksual, justru yang dihukum itu korbannya, bukan pelaku. Jadi, disini ada salah kaprah yang luar biasa,” ujar Yulianti.

Yulianti pun mengatakan masih banyak masyarakat muslim di Indonesia yang beranggapan bahwa kekerasan seksual tidak ada dalam Islam, dan RUU PKS adalah produk barat yang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia dikarenakan akan menyelamatkan pelaku dari hukuman. “Menurut saya ada kesalahpahaman ketika orang mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada kasus kekerasan seksual. Dalam kitab Sayyid Syafiq maupun Wahbah Az-Zuhaili sudah ada pembahasan tentang kekerasan seksual. Dan itu ada sejak zaman nabi, dimana hukumannya yaitu Hirabah atau Muharib dalam bahasa fiqihnya,” ungkap Yulianti.

Menurut Yulianti masyarakat Indonesia harus belajar dari negara-negara di dunia yang sudah aware lebih dulu mengenai kasus kekerasan seksual. “Konferensi internasional di Kroasia yang dihadiri oleh negara-negara Islam sedunia mengatakan bahwa perempuan korban pemerkosaan boleh melakukan aborsi. Hal tersebut menunjukkan keterpanggilan dunia Islam untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan korban. Korban betul-betul dilindungi, yang dihukum adalah pelaku,” imbuhnya.

Senada dengan Yulianti, Kalis Mardiasih juga ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk terus mendorong pengesahan RUU PKS sebagai Undang-Undang yang mampu menaungi para korban kekerasan seksual. Hal itu dikarenakan pelaku kekerasan seksual bisa datang dari mana saja, bahkan ketika pandemi para pelaku ini bisa beraksi di dunia maya. “Sebetulnya KGBO (Kekerasan Gender Berbasis Online) itu kekerasan berbasis gender yang cuma pindah tempat aja,” ucap Kalis.

Tidak hanya itu, Kalis berpendapat bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu produk penormalisasian yang dilakukan masyarakat terhadap hal-hal yang sudah sering terjadi di lingkungannya, terlepas itu baik atau buruk. “Jadi aku tuh prihatin ya ngeliat perempuan (di Instagram) yang udah pakai baju sesopan apapun dengan caption yang sebetulnya sopan dan nggak ada apa-apa juga, terus dikomentarin ada yang menonjol tapi bukan bla bla segala macam. Dan sekarang yang lebih memprihatinkan adalah hal itu dinormalisasi, bahkan anak SD sampai SMP aja udah bisa berkomentar menjijikkan seperti itu,” tandas Kalis.

Menyambung pembicaraan sebelumnya, Wawan Suwandi menyampaikan perihal aspek penting dalam kekerasan seksual. Aspek tersebut antara lain adanya pemaksaan dimana korban tidak atau belum mampu memberikan persetujuan; misalnya kekerasan seksual pada anak, korban adalah individu dengan disabilitas intelegensi, korban tidak sadarkan diri, atau korban sedang ada dalam pengaruh suatu zat.

Wawan juga menjelaskan mengenai adanya toxic masculinity yang berperan besar dalam kasus kekerasan seksual terutama laki-laki terhadap perempuan. Toxic masculinity pada laki-laki terbentuk sejak usia dini. “Anak laki-laki selalu dididik agar merasa lebih kuat dibanding perempuan,” ucap Wawan. Alih-alih melindungi, hal ini justru menjadi bumerang karena merasa kuat dan berkuasa, laki-laki bisa melakukan apapun terhadap manusia lainnya yang dianggap lemah; perempuan.

Di akhir sesi, Nur Aisyah Maullidah dan Amanda Normanita menanggapi bahwa generasi muda harus saling mendukung agar Indonesia segera terbebas dari krisis kekerasan seksual. Mereka sepakat bahwa masyarakat Indonesia harus diberi edukasi yang memadai mengenai kekerasan seksual serta cara mengatasinya. Kedua mahasiswa ini juga menekankan bahwa penjelasan mengenai isi RUU PKS sebagai Undang-Undang yang dapat menaungi semua korban kekerasan seksual harus terus dikampanyekan agar tidak terjadi mispersepsi di tengah masyarakat.

Penulis: Hasna Okta Mufida
Editor: Aulia Anjani

[su_box title=”Hasna Okta Mufida”]Mahasiswa Ilmu Sejarah 2019
hasnaokta.mufida@gmail.com
[/su_box]