Daoed Joesoef dan Wasiat Abadi NKK/BKK

 

Anda cuma punya mobil Toyota Kijang. Itulah moda akomodasi keluaran tahun 2000 yang Anda pakai sehari-hari. Pun saat dilarikan ke Rumah Sakit Medistra tanggal 20 Januari 2018, Anda masih saja menunganggi Kijang itu. Menantu Anda sendiri yang bercerita. Anda katanya juga suka ke pasar membeli kaos putih oblong dengan menggunakan celana pendek. “Betul, Bapak itu orangnya nggak neko-neko. Apa adanya saja” (kompas.com, 25 Januari 2018).

 

Kenangan itu diungkit oleh Bambang Pharmasetiawan bukan pada saat Anda, Daoed Joesoef, menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi tercium ke publik saat Anda telah dimakamkan. Syukurlah, dengan begitu kesederhanaan Anda tak akan dicap sebagai pencitraan.

 

Selasa, 23 Januari 2018. Pada tanggal itu Anda resmi meninggalkan Indonesia – negeri yang konon sangat Anda cintai. Bukan, Anda bukan kembali ke Sorbone-Paris untuk menimba ilmu ekonomi di Universite de Paris I. Melainkan pergi untuk selamanya. Meninggalkan banyak gagasan yang tak semua kami kenal kecuali soal Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

 

Pasalnya, kemunculan kebijakan itu kerap jadi salah satu alasan mandulnya aktivitas politik mahasiswa saat ini. Konon semenjak keputusan itu bergulir, daya kritis mahasiswa menjadi lesu. Anda didakwa pula sebagai kroni Orde Baru. Salah seorang menteri yang turut melanggengkan kekuasaan Soeharto.

 

Gagasan lain

 

Anda pernah menolak tawaran menggantikan Sjafruddin Prawiranegara untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI). Alasannya, “Jika saya masuk BI, saya tidak lagi bebas menulis dan berpikir. Segala tulisan harus dikonsultasikan dengan atasan” (Kompas, 8 Agustus 2016).

 

Anda orang yang mencintai konsep negara, pendidikan dan ekonomi sekaligus. Tapi yang paling Anda dalami adalah ilmu ekonomi. Anda mempelajarinya hingga mencapai gelar doktor. Namun bukan logika ekonomi yang sepertinya Anda anut, malah “sebisa mungkin harus kita jauhi cara berpikir ekonomi yang simplisitis” (Kompas, 7 Maret 2016).

 

Saya menyadari itu ketika membaca esai berjudul Ekonomi Nasional Era Digital. Awalnya saya terkecoh dengan judul yang Anda bubuhkan. Saya kira Anda akan membela hadirnya ekonomi digital bagi Indonesia. Ternyata malah sebaliknya, Anda justru melihat fatalitas yang ditumbulkan. Bagi Anda, berbicara ekonomi digital berarti berbicara tentang arus perdagangan jasa. Padahal sektor manufaktur dalam negeri inilah yang, menurut Anda, harusnya lebih bisa dimaksimalkan. Bukan jasa.

 

Negara akhirnya hanya akan menjadi agen transmisi alias agen pemasaran produk manufaktur luar negeri. Ekonomi nasional akan semakin terbiasa dengan desakan-desakan perjanjian internasional.

 

Dampaknya dapat kita lihat melalui toko mainan anak-anak. “Ia sudah dikuasai produk made in China, dari yang tidak bergerak (replika dinosaurus, Superman), yang bergerak (aneka jenis mobil-mobilan), hingga yang bisa ditunggangi (sepeda roda tiga).” (Ibid.)

 

Bank merupakan salah satu instansi yang berpengaruh dalam pengembangan sektor manufaktur. Sayangnya, bank- bank di Indonesia merasa terlalu beresiko untuk memberikan kredit jangka panjang pada industri manufakturing. Alasannya karena pengolahan barang mentah hingga menjadi barang jadi, tidak dapat dipungkiri, akan menyita biaya dan waktu yang banyak. Untuk itulah, bank sampai saat ini lebih gemar memberi kredit jangka pendek dan menengah kepada pedagang barang jadi atau setengah jadi.

 

Fenomena itulah yang kemudian Anda kritisi. Yakni, para penganut konglomerat yang semakin berlomba-lomba membangun kluster apartemen super mewah. “Karena justru enterpreneurship yang mereka banggakan itulah yang turut memicu kecemburuan sosial wong cilik.” (Ibid.)

 

Ujung-ujungnya yang Anda khawatirkan adalah tersulutnya kembali peristiwa naas 1998. “Kecemburuan sosial bagaikan api dalam sekam. Aksi politik radikal itu bisa saja tersulut kembali” (Ibid.)

 

 

Marwah universitas dan NKK/BKK

 

Hanya dua minggu selepas pelantikan Anda sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Surat Keputusan (SK) No. 0156/U/1978  soal NKK/BKK itu kemudian diluncurkan. Tentu jiwa-jiwa muda mahasiswa geram, mereka tak bisa dengan bebas berdemo. Diberatkan tugas-tugas dan tanggung jawan Sistem Kredit Semester (SKS) yang – harapannya – bisa memompa kualitas akademik mahasiswa maupun kampus (Tirto.id, 24 Januari 2018).

 

Sismulyanda Barnas, mahasiswa Anda di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Angkatan 1973, serta teman-temannya bahkan merasa geram akan kebijakan itu. Memang suatu hal yang wajar apabila ia dan teman-temannya yang saat itu getol berdemo – paling cepat – baru  bisa lulus setelah tujuh tahun menempuh kuliah. Ia pun mengakuinya. (Tempo.co, 24 Januari 2018)

 

Hingga beberapa tahun setelahnya, ia menyadari maksud baik dibalik SK itu. Nasehat Anda pun masih ia kenang, “harus pintar dulu baru berpolitik. Kalau tidak hanya omong besar saja” (Tempo.co, 24 Januari 2018).

 

Bisa jadi kemunculan NKK/BKK berhubungan dengan sikap Anda selama ini terhadap pendidikan. Dalam wawancara terakhir dengan media massa Anda beralasan, “Saya ingin mengembalikan kampus sebagai komunitas intelektual. Silakan mengkaji politik tapi tidak untuk berpolitik praktis” (Kompas, 8 Agustus 2016).

 

Kalau kualitas atmosfer mempengaruhi kesehatan si penghirup udara. “Masa itu kampus sangat riuh dengan kegiatan politik dan rawan ditunggangi. Lalu kapan mahasiswa belajar dengan baik?” (Ibid.)

 

Pembangunan tak akan bisa dilakukan apabila rakyat terus-terusan memantik kekacauan. Kita tak boleh lupa, saat itu Anda seorang yang mengerti tentang ekonomi sekaligus bagian dari kabinet pembangunan Jilid III juga. Maka, tidak menutup kemungkinan kalau NKK/BKK merupakan sebuah alat politik juga.

 

Namun, pertanyaan Anda tadi yang kemudian menjadi refleksi abadi. Kalau rawan ditunggangi, lalu kapan mahasiswa belajar dengan baik?

 

Rawan ditunggangi membuat universitas laiknya lahan kaderisasi partai, yang tak menutup kemungkinan menciptakan pengkotak-kotakan ideologi atas dasar emosi. Akhirnya, kampus hanya sebagai lahan pembelajaran perebutan kuasa. Marwah kelimuwan universitas kemudian patut dipertanyakan.

 

Saat itu, mahasiswa kadung mengganggap bahwa terlibat politik adalah suatu keharusan. Embrio universitas berbasis riset juga, dapat dikatakan, belum seberapa kuat. Pemaksaan Anda kepada mahasiswa untuk menggunakan Sistem Kredit Semester (SKS) bisa saja dinilai sebagai blunder. Niatnya memang agar mahasiswa belajar, tapi pemaksaan secara tiba-tiba, lagi-lagi akan menimbulkan pemberontakan.

 

Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan satu periode setelah Anda, masih beranggapan senada tentang kualitas mahasiswa. “banyak mahasiswa yang menghargai gelar lebih daripada ilmu. Atau menghargai ijazah lebih daripada keahliannya sendiri” (Tempo, 24 Agustus 1985).

 

Artinya, setelah terjebak dalam tuntutan politis, perlahan tapi pasti, kampus akan terseret arus tuntutan ekonomis juga. Tuntutan akademis atau riset barangkali sudah dilangkahi atau malah belum pernah dihayati sama sekali.

 

Dalam esai Jangan Permainkan Pendidikan, Anda bahkan masih menegaskan perlunya mengelola komunitas ilmiah dengan baik. Tujuannya, agar masyarakat memiliki pemahaman yang benar tentang kampus dan penggunaan ilmu pengetahuan (Kompas, 22 Juni 2016).

 

Setelah munculnya NKK/BKK dan masih berlangsunya SKS. Nyatanya Anda juga masih memiliki kekecewaan yang sama terhadap dunia pendidikan tinggi. “Justru komunitas ilmiah ini yang relatif terlemah [..] terombang-ambing jadi permainan komunitas politik dan komunitas bisnis, tereduksi hanya menjadi pemberi gelar Dr HC.” (Ibid.)

 

Kalau rawan ditunggangi, lalu kapan mahasiswa belajar dengan baik? Pertanyaan itu nyatanya belum terjawab sampai Anda mangkat di usia 91 tahun. Definisi rawan ditunggangi malah jadi kian melebar. NKK/BKK seakan hanya jadi monumen pengingat bahwa sang pencetusnya pun belum menemukan solusi lesunya gairah keilmuwan mahasiswa.

 

Mungkin kita sudah sama-sama paham. “Pendidikan tinggi seharusnya secara kultural terpanggil untuk membangun dan mengembangkan komunitas ilmiah. Karena, komunitas itu adalah habitat yang diniscayakan oleh kehidupan ilmuwan” (Ibid.)

 

Tapi, bagaimana jika ternyata hanya Anda yang beranggapan begitu? Barangkali  memang universitas di Indonesia tidak lagi ingin menganut paham seperti itu?

 

Semoga saja, tidak.

 

Mungkin sudah saatnya Anda berdiskusi kembali dengan Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara atau bahkan mungkin dengan Tuhan sendiri untuk merumuskan kembali perekonomian beserta pendidikan tinggi di Indonesia.

 

Semoga surga penuh dengan awan-awan biru – warna yang sangat Anda sukai itu. Selamat jalan Pak Daoed. []

 

 

Ririn Setyowati. Mahasiswi yang sedang menjalani hubungan cinta dan benci dengan secangkir kopi. Surel: ririnsetya198@gmail.com