Cakrawala dicumbu mentari,
Mengujar keterangan sebagai saksi bumi.
Siluet merah merekah,
Memeriksa jagat raya untuk ditelaah.
Kapas langit memucat,
Tanda rinai hujan segera menyerat.
Baginya kompromi berat.
Lalu aliran ombak menari, meneriaki,
“Manusia, sudahi kekejaman kau terhadapku ini!” air laut memohon diri.
Mereka tetap menari.
Meskipun rusak mulai menjalar menyeluruhi.
Di tepinya batang pohon bertiduran,
entah tenang, entah gamang.
Dicabut liar penuh paksa, tak ada rimba di kepalanya.
Tanpa etika, dicukur habis dengan api keindahan belantaranya.
Mereka berkata, “Cukup! Jauhkan tangan jalangmu itu, manusia. Jangan sentuh diriku lagi, Kumohon!”
Ajal mulai menyapa bumi, langit berisak tangis.
Nestapa baginya hingga menderaikan air mata.
Tak ada sawala darinya untuk manusia.
Pucat dan tua raut wajah bumi, langit lebih kuat lagi menangis.
Terkadang kejora menemani langit berduka,
Membawa komplotan kejora lain untuk menghibur.
Bulan dan yang lain senantiasa gembira melihatnya,
meskipun mereka semua sadar bahwa bumi telah menemui titik hancur.
Para hewan jauh lebih sadar.
Mereka marah atau mungkin memang kadar.
Tak terpampang nurani insan kepadanya.
Mereka berontak, tak berdamai hingga mencabik, itu memang wajar.
“Katanya makhluk berakal, tapi hati tak terpakai. Lebih buruk dariku nyatanya,” ujar mereka.
Mentari bimbang.
Kekasihnya sakit sekarang, ia hampa.
Senyum bumi tak terlihat tertutupi injakan yang lalu lalang.
Hiruk pikuk tak terarah, membuat bumi tertelantarkan.
Mungkin mentari teguh pada pendiriannya sekarang.
Ia ingin bumi istirahat, merangkulnya bersama memeluk, beriringan menuju pulang.
Penulis: Muhammad Ryan Iqbal