“Bung Hatta tidak punya mobil pribadi. Suatu hari ibunya datang dari Sumatera ingin menjenguk anaknya yang wakil presiden. Bung Hatta tidak mau pakai mobil dinas, ia memilih pinjam mobil keponakannya. Kalian yang tinggal di Solo, kalau Sabtu Minggu sering liat plat merah jalan-jalan, kan?”
Kata-kata itu terlontar dari mulut M Berkah Gamulya alias Mas Mul ketika membuka diskusi musikal Bung Hatta Tour, Jumat (19/12) lalu. Mas Mul, presiden direktur BHACA (Bung Hatta Anti Corruption Award) sekaligus personil band Simponi (Sindikat Musik Penghuni Bumi) mengadakan tur ke 11 universitas di 11 kota untuk memperingati Hari Anti Korupsi Internasional yang jatuh pada 9 Desember. Tur yang dimulai sejak tanggal 1 Desember di Telkom University, Bandung rencananya akan berakhir pada 30 Desember di Universitas Airlangga, Surabaya.
Diskusi ini tak hanya menghadirkan Mas Mul dengan Simponi-nya tetapi juga mengundang Sely Martini dari Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Desinta Pretiwi dari Pendamping Forum Anak Surakarta sekaligus Aktivis Anti Korupsi. Bekerja sama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Bung Hatta Tour ingin menyebarkan semangat anti korupsi di kalangan civitas akademika UNS terutama mahasiswa.
Diskusi melalui musik
Lagu Bung Hatta yang dipopulerkan oleh Iwan Fals mengawali kisah Bung Hatta sebagai tokoh paling bersih di Indonesia.
“Bung Hatta itu baiknya kebangetan. Jujurnya juga kebangetan,” komentar Mas Mul mengenai wakil presiden pertama Indonesia pertama itu.
“Semua karena korupsi, negeri kaya anak kurang gizi.” Lagu kedua berjudul Vonis ini menggambarkan betapa korupsi menggerogoti sebuah bangsa.
Bahaya korupsi kemudian dilanjutkan dengan paparan dari pembicara kedua yaitu Sely Martini. Ia juga menyinggung korupsi di kalangan mahasiswa.
“Sisa dana setelah acara biasanya tidak dikembalikan. Nah itu,,” ujar Sely seakan paham betul bahwa bangku kuliah pun mengajarkan korupsi kecil-kecilan.
Lagu ketiga berjudul Cicak Buaya, menjadi titik balik bahwa cicak tak takut melawan buaya. Jangan takut melawan korupsi meskipun korupsi telah merambah berbagai lini kehidupan!
Pembicara ketiga, Desinta Pretiwi, mengaku pernah menemukan kasus korupsi yang terjadi di lembaga tempat dia berada saat ini.
“Waktu itu anak-anak merasa baru menyelenggarakan satu kegiatan dalam setahun. Namun, uang 10 juta yang dianggarkan untuk kegiatan selama setahun tiba-tiba tinggal 2 jutaan. Saya datang ke kantor. Pas saya ke sana kebetulan semua karyawan sedang pergi tapi komputer menyala. Saya mencari datanya, dan termyata uang anak-anak masih 5 jutaan. Lalu data itu saya print dan saya tunjukkan ke salah satu pegawai administrasi. Alhamdulillah uangnya bisa dicairkan,” ungkapnya dengan nada lega.
Selain mengangkat isu korupsi di lagu-lagunya, Simponi juga mengkampanyekan stop kekerasan terhadap perempuan. Melalui lagu Sister In Danger, Simponi memberitahukan bahwa bahaya yang mengancam perempuan tidak hanya dari lingkungan masyarakat tetapi juga dari lingkungan keluarga sendiri.
Ditemui setelah acara, mas Mul mengungkapkan bahwa anak band juga bisa bicara soal isu sosial.
“Anak band juga pengin berperan. Nah berperan seperti yang kami bisa? Kami bisa bikin lagu. Kami bisa bikin lirik. Kami bisa bikin video klip. Kami bisa diskusi. Itu yang kami lakukan”.
Diskusi musikal yang baru pertama kali diselenggarakan di UNS ini bisa dikatakan sukses menginspirasi peserta yang ada. Terbukti dari masih banyaknya peserta yang bertahan sampai akhir acara.
“Acara ini unik. Jarang-jarang ada isu-isu diskusi yang menyatu dengan musik. Biasanya diskusi dan lagu itu nggak menyatu. Lagu hanya sebagai hiburan. Biasanya juga cuma lagu-lagu pop,” ujar Vera, mahasiswa Sosiologi saat ditanya mengenai acara ini.
Tepat pukul 16.00 WIB acara ini ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Pusaka oleh seluruh peserta diskusi. (Any)