Sadar ga sih? Semenjak penerapan new normal, bersepeda menjadi salah satu tren olahraga di kalangan masyarakat. Hampir semua kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa menggemari kegiatan bersepeda. Ada yang gowesnya rame–rame, berduaan, bahkan sendirian. Hampir setiap hari, entah itu pagi atau sore sering dijumpai para pesepeda “dadakan” yang beriringan menyusuri jalan-jalan kota. Hal itu tentunya tidak lepas dari anggapan masyarakat bahwa bersepeda termasuk olahraga yang menyehatkan. Anggapan tersebut memang benar, karena menurut data yang dirilis oleh P2PTM Kemenkes RI, bersepeda memiliki beberapa manfaat bagi kesehatan dan dua di antaranya sebagai berikut.
Pertama, meningkatkan mood dan mengurangi stres. Apalagi di saat pandemi seperti ini, banyak orang yang mungkin bosan #dirumahaja karena tidak bisa bepergian ke mana-mana, penat dengan sistem tugas kuliah daring, atau para pekerja kantor yang mulai gabut karena di rumahkan sementara akibat pandemi COVID-19. Kedua, menurunkan risiko penyakit jantung. Ternyata olahraga ringan seperti bersepeda dapat memangkas risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Orang-orang yang bersepeda secara rutin memliki resiko penyakit kardiovaskular 11 persen lebih rendah. Bahkan bagi yang hanya sesekali bersepeda pun dapat mengurangi risiko kematian dini hingga 8 persen. Jadi, tidak heran jika setelah diterapkannya normal baru ini banyak bermunculan pesepeda dadakan yang mengaspal di jalan raya.
Akan tetapi, sering kali manfaat dari berolahraga termasuk bersepeda hilang seketika ketika perut mulai bergenderang dan tumbuhnya kecenderungan melahap makanan tanpa memperhatikan nutrisinya. Seperti pada beberapa kesempatan, dijumpai para pesepeda yang disela-sela ataupun setelah gowes mampir ke warung soto. Soto memang nikmat dengan kuah hangatnya, akan tetapi kandungan lemak didalamnya yang berasal dari daging pada soto tidak dapat disepelekan. Menurut Paul Roller, salah seorang pelatih di Cross Fit Outbreak mengtakan bahwa lemak bertindak untuk memperlambat proses pencernaan dalam usus. Sehingga tidak direkomendasikan makan makanan yang mengandung lemak saat ataupun setelah berolahrga karena akan menunda pengiriman nutrisi yang dibutuhkan otot.
Kemudian masalah biaya yang dihabiskan setiap orang untuk melakukan olahraga bersepeda berbeda-beda. Pada umumnya olahraga ini dapat dikatakan murah untuk dilakukan karena tidak perlu membeli bahan bakar dan hanya membutuhkan tenaga serta niat. Cukup dengan membawa air minum secukupnya dari rumah serta menyiapkan sepeda saja maka aktivitas tersebut dapat dilakukan. Sementara bagi yang belum memiliki sepeda bisa membeli sepeda bekas dengan harga terjangkau baik di online shop maupun toko-toko sepeda bekas terdekat atau dapat juga dengan meminjam saudara. Sehingga apabila belum memiliki dana yang cukup untuk membeli masih bisa bersepeda. Akan tetapi, hal tersebut tentunya tidak berlaku bagi sebagian orang yang tidak hanya menjadikan bersepeda sebagai olahraga saja, melainkan juga sebagai ajang untuk bergaya dan pemuas gengsi, beli sepeda pun harus yang bermerk- seperti yang baru saja lewat.
Perihal gengsi, Dr. James Danandjaja mengatakan bahwa memang ini memiliki kaitan erat dengan status sosial. Seseorang yang cenderung pamer demi gengsi termasuk usaha untuk mempertahankan status sosialnya. Sebab, status sosial tersebut menghasilkan pengakuan sosial dari khalayak. Kurang lebih seperti wibawa yang membangkitkan keseganan orang lain atau dalam batasan tertentu menjadi suatu bentuk penghormatan. Sehingga dampaknya pasti akan menimbulkan perilaku negatif bagi seseorang yang terlalu mengutamakan gengsi, misalnya kecenderungan untuk memamerkan kekayaan atau status diri.
Tidak dapat dimungkiri jika sudah menyangkut gengsi dengan mampu membeli barang yang tidak mampu dibeli oleh sebagian besar orang untuk ajang pamer, kadang banyak yang lalai bahkan hingga lupa akan etika seperti video yang merekam segerombol orang yang sempat viral karena menaiki sepeda di dalam kafe. Mereka bertindak seenaknya dengan dalih takut sepeda “super mahalnya” hilang, padahal kafe tersebut menyediakan tempat dan tukang parkir serta cctv sebagai pengaman tambahan. Tentunya kejadian tersebut memancing reaksi dari warganet, salah satunya cuitan dari Faiz Yazid (@faiz_yazid) yang berbunyi “Pit Brompton larang? Salah. Pit sing paling larang ki, pitutur sing apik lan kelakuan sing becik.” Artinya bahwa sepeda Brompton itu tidak mahal karena yang mahal itu contoh yang bagus dan tingkah laku (etika) yang baik.
Sama halnya dengan pesepeda dadakan yang hanya mengikuti tren, mereka banyak yang tidak paham akan etika bersepeda di jalan raya. Misalnya saja bersepeda sambil ngobrol atau bercanda dan memenuhi jalan dengan berjajar hingga ke tengah, apalagi jika di jalan pedesaan yang terkenal sempit. Hal itu tentunya berisiko membahayakan keselamatan pesepeda itu sendiri maupun pengguna jalan lain. Kalau kata orang Jawa “lha opo dalane Mbahmu ye? Numpak pit kok sak penake dewe”. Jadi ketika bersepeda itu sebaiknya buat satu lajur di sebelah kiri, tidak saling mendahului serta hindari bercakap-cakap dengan teman. Apabila ingin ngobrol ya menepi dulu sambil istirahat atau nanti ketika sudah sampai tujuan.
Pada dasarnya, mengikuti tren itu boleh saja, asalkan tahu etika. Tetapi jangan menuruti gengsi karena tidak akan ada habisnya.
Penulis: M. Wildan Faturokhman
Ilustrator: M. Wildan Faturokhman/LPM Kentingan