Oleh: Satya Adhi
Judul Buku : Simulakra Sepakbola
Penulis : Zen RS
Penerbit : Indie Book Corner
Tahun Terbit : 2016
Jumlah Halaman : 262
PRIIITTT! Zen RS menyentuh bola dengan tangan di kotak 16. Wasit meniup peluit tanda pelanggaran terjadi. Tapi Zen berkilah. “Kini, saya hanya bisa bermain sepakbola dengan tangan yang mengetikkan huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat – menuliskan sepakbola” (hlm. 17).
Sungguh Zen telah berkhianat. Padahal sepakbola telah mengantarkannya dari kekanak-kanakan menuju kedewasaan. Dalam tulisan Kebahagiaan Sepakbola Agustusan, Zen berkisah tentang sepakbola yang menjadi ritual penting di kampungnya. Berkat turnamen sepakbola antarkampung, Zen kecil bisa duduk sejajar dengan para pemuda dan orang dewasa, juga menghadiri rapat-rapat Karang Taruna.
Puncaknya, kata Zen, “yang tak mungkin terlupakan, saya untuk pertama kali menerima undangan perkawinan juga tak lama setelah jadi “pemuda desa” berkat sepakbola itu” (hlm. 24). Saat itu Zen masih berusia 13 tahun dan sepakbola telah mengantarkannya mengenal cinta dalam perkawinan.
Tapi tak apalah. Pengkhianatan Zen terhadap kakinya bisa dimaafkan oleh pembaca. Simak bagaimana lihainya ia memainkan bola dengan tangan di esai Bertukar Tangkap dengan Lepas. Sebuah pelacakan Zen ihwal keterbatasan bahasa Indonesia dalam menampung istilah-istilah sepakbola.
Yang menarik, esai ini berangkat dari referensi-referensi non-sepakbola yang ia olah menjadi esai sepakbola. Di awal ia mengutip Jean Paul Sartre, lalu mengisahkan pidato H. Agus Salim di Volksraad (Dewan Rakyat Hindia). Tiba-tiba di pertengahan esai Zen menggunakan konsep “pencomotan” dan “penerjemahan” dari Takashi Shiraishi. Eh, tahu-tahu ada Raden Minke dari tetralogi Pulau Buru hadir setelahnya. Tidak kalah kurang ajarnya, di akhir tulisan Zen menyangkutpautkan James Joyce, Vladimir Nabokov, Albert Camus, sampai George Orwell dengan sepakbola.
Rasa Zen sebagai manusia yang pernah mengimpikan diri menjadi pemain sepakbola sangat terasa di buku ini. Dibagi dalam empat babak – Jejak, Dunia Simulasi, Koloni Bola, dan Narasi Kaki-Kaki – 25 tulisan plus satu mukadimah Zen terasa sangat personal. Ia kerap menggunakan ke-saya-an dalam menulis. Membikin buku ini tak sekadar kumpulan tulisan, tapi rekaman kehidupan Zen sebagai pemain sepakbola (kaki dan tangan).
Di reportase personal Malam Terang di GBK, Zen tidak hanya mengidentifikasi dirinya sebagai mantan pemain, pembaca buku, dan penulis. Kali ini Zen turun sebagai aktivis. Berjuang menyebarkan 1700 zine PLAK! di pertandingan leg kedua semifinal piala AFF 2010 antara Indonesia dengan Filipina. Yang jadi puncak kebahagiaan bukan gol Christian Gonzales, tapi terbentangnya spanduk hitam berpahat “PSSI Sarang Korupsi” di tengah lautan manusia di Gelora Bung Karno.
Zen sadar, sepakbola yang tidak selesai dibahas selama 2 x 45 menit membuat beragam hal bisa masuk ke lapangan hijau. Mengulasnya pun harus sporty. Dan Simulakra Sepakbola sukses membuat pikiran pembaca berpeluh-peluh sehat. Meloncat dari sejarah ke politik. Lalu lanjut ke filsafat, sastra, kajian media, hingga musik. Tapi tenang, Zen memilih gaya penulisan populer yang memikat. Jadi pembaca tidak akan ngos-ngosan.
Tak Semudah Bermain dengan Kaki
Bermain sepakbola dengan tangan butuh kelihaian tersendiri. Kalau pengkhianatan Zen RS terhadap kakinya bisa dibilang berhasil, tidak demikian dengan Iswandi Syahputra. Dalam buku Pemuja Sepakbola: Kuasa Media atas Budaya (KPG, 2016), Iswandi coba mengutak-atik pertahanan otak pembaca lewat pendekatan Cultural Studies dalam membahas sepakbola.
Sayangnya, Cultural Studies yang diklaim Iswandi dalam menulis buku ini tidak terasa lezat. Alih-alih menggunakan berbagai konsep sejarah, politik, filsafat, sastra, kajian media, dan sebagainya, Iswandi justru terkurung dalam konsep Gold, Glory, Goal yang ia utarakan di awal buku. Seolah-olah buku ini adalah hasil penelitian yang menggunakan teori tertentu.
Dari gaya bahasa, Pemuja Sepakbola: Kuasa Media atas Budaya, belum bisa selincah Simulakra Sepabola. Iswandi lebih banyak menggunakan gaya penulisan ilmiah yang agak sulit dipahami pembaca awam.
Padahal Pemuja Sepakbola: Kuasa Media atas Budaya sudah berpeluh-peluh menuliskan endorsement orang-orang terkenal di sampul belakang bukunya. Ada Budiman Sudjatmiko, politisi PDIP yang juga fans Real Madrid dan Erick Thohir, mantan Presiden Inter Milan yang berkata “Buku ini menawarkan jalan lain bagi fans mencintai sepak bola. Sayang jika dilewatkan.”
Sementara Simakra Sepakbola cukup memberikan sebuah kalimat lugas yang memaksa mata pembaca berhenti di sampul belakangnya. “Jika pornografi mulai dianggap lebih sensual dibandingkan seks, maka bisakah tayangan sepakbola kini dianggap lebih sporty dari sepakbola itu sendiri?”
Kalimat itu dinukil dari esai yang juga menjadi judul buku ini, Simulakra Sepakbola. Di situ pembaca akan sadar, tanpa tayangan sepakbola, sepakbola tidak akan berubah menjadi budaya populer cum agama sipil seperti sekarang ini. Zen menggunakan konsep Simulakra-nya Jean Baudrillard untuk menjelaskan hal ini. Sebuah ruang di mana gambaran sebuah objek – tayangan sepakbola misalnya – mampu menggantikan kedudukan objek tulennya – dalam hal ini sepakbola.
Zen sebagai penikmat sepakbola di stadion menuliskan, “Yang bisa dinikmati pemirsa adalah sepakbola yang disodorkan oleh kamera dan umumnya kamera selalu menyorot mereka-mereka yang ada di dekat bola,” lanjutnya, “apa yang dilakukan Phillip Lahm (fullback kanan) saat Arjen Robben (flank kiri) mengambil tendangan pojok biasanya tak tampil di televisi” (hlm. 56). Pernahkah pembaca memikirkan hal ini?
Priiittt! Wasit kembali meniup peluit. Kali ini tanda peringatan kepada pembaca untuk berhati-hati jika membaca Simulakra Sepakbola. Buku ini bisa lebih sporty dari tayangan sepakbola – yang lebih sporty dari sepakbola itu sendiri. Simulakra Sepakbola telah menjelma simulakra.[]
Satya Adhi. Mahasiswa yang gemar berjalan kaki (sendiri). Surel: muhammadsatya31@gmail.com.