Balutan Ekspresi Orang-orang Proyek

Oleh: Vera Safitri

 

“BRAAKK…” Pria itu membanting dua sak semen merek Holcim ke tanah. Debu beterbangan. Meliuk-liuk tersorot lampu. Kemudian lenyap, bercampur udara malam yang dihirup oleh puluhan orang di depannya. Sang pria lalu berkacak pinggang. Ia mendesah tanda lelah. Puluhan orang di depannya tadi malah bertepuk tangan.

 

Pria lain menyusul. Kali ini yang dibawa sebuah ember cat, lengkap dengan kuasnya. Kaos putih yang ia kenakan sudah kotor oleh cat pelbagai warna. Pria itu berjalan pelan. Kemudian berhenti di depan puluhan orang yang sama. Sang pria lalu berkacak pinggang. Ia mendesah tanda lelah. Lagi-lagi, puluhan orang tadi malah bertepuk tangan.

 

Lalu, satu persatu buruh proyek lain ikut melenggang. Ada yang membawa pipa, memakai topi proyek sebagai topeng, ada pula yang tak membawa apapun selain tangan kosong yang berlumur debu. Entah apa yang mereka bawa, ekspresi mereka semua sama: muak dan lelah.

 

Sampai di sini, jika tebakan saya benar, mungkin pembaca sedang bertanya-tanya atau malah curiga, apa yang sedang mereka lakukan?

 

Kejadiannya begini.

 

Sabtu malam, 10 Desember 2016 lalu, Muhammad Fakhri, mahasiswa Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Sebelas Maret (UNS) angkatan 2012, bersama teman-teman se-fakultasnya menghelat peragaan busana yang bertajuk  Awas, Ada Proyek! di halaman Gedung Empat FSRD UNS. Pria pembanting semen, yang rupanya bernama Dwi Putra Puguh, teman satu jurusan Fakhri, menjadi model dalam peragaan busana ini. Ia bersama 27 orang model lain yang berasal FSRD dan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo memeragakan busana bertemakan proyek di depan puluhan orang yang hadir malam itu.

 

Tak tanggung-tanggung, untuk memunculkan kesan yang sesuai dengan tema,  mereka turut menyulap halaman Gedung IV FSRD UNS tersebut menjadi kuning, hitam, dan penuh dengan material-material proyek. Jangan bayangkan material proyek yang ditampilkan di sini bakal sana dengan proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) UNS itu. Tak ada mobil molen di sini, percayalah!

 

Yang ada hanya beberapa potongan kayu, beberapa ember cat bekas, pasir, kerikil, marka penanda proyek, dan tentunya dua buah sak semen yang sempat terbanting tadi. Semuanya ditata sedemikian rupa hingga menghasilkan kesan semrawut.

 

“Kami pilih tema ini sebagai respon terhadap lingkungan sekitar. UNS kan sedang banyak proyek, harus hati-hati. Ya, tahulah ada proyek beneran, ada proyek, yah tafsirkan sendiri lah ya,” ujar  Fakhri. Saat menyebutkan kata proyek di kalimat terakhir, jari telunjuk dan jari tengahnya kompak berjinjit-jinjit. Tanda bahwa ada makna lain di baliknya.

 

Tentu pembaca paham apa yang dimaksud Fakhri, atau setidaknya sedikit mengingat jika saat ini UNS sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur kampus. Sebut saja proyek renovasi Gedung II FSRD, renovasi Gedung III Fakultas Hukum (FH), renovasi Gedung C Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam (FMIPA), dan sebuah proyek besar berharga milyaran yakni, IPAL UNS, serta wacana proyek pembangunan Museum UNS.

 

Fakhri nampaknya ingin menyampaikan sesuatu yang dulunya pernah disampaikan Ahmad Tohari dalam novelnya yang berjudul Orang-orang Proyek (Gramedia Pustaka Utama, 2007) yang kira-kira begini, “’Proyek’ pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya. Maka apa saja bisa diproyekkan” (hal. 219). Mungkin itulah sebab Fakhri mewanti-wanti agar kampusnya berhati-hati.

 

 

SALAH satu penonton, Maria Sulistiawati, mahasiswi Kriya Seni, FSRD angkatan 2016 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, meski mengaku sudah paham dengan tema yang  dijelaskan Fakhri tadi, ia masih saja merasa heran, “Ya enggak habis pikir aja gitu, aku kira ya hanya sebatas mural, grafiti. Kan biasanya itu yang dipakai buat kritik sosial kaya gini-gini,” ungkapnya sambil menunjuk-nunjuk ornamen material proyek yang ada. “Tapi ini malah fashion show, aneh aja sih, makanya pengin nonton,” lanjutnya sembari tertawa.

 

Keheranan yang dirasakan Maria harusnya dapat dimaklumi, menafsirkan busana tak semudah menafsirkan mural ataupun grafiti. Itulah sebab keduanya  menjadi senjata favorit sebagai media kritik. Namun Alfi Yusrina Farikha, mahasiswa Kriya Tekstil FSRD angkatan 2010, sekaligus salah satu desainer yang ikut berperan dalam perhelatan ini punya jawaban sendiri, “Pakaian bukan sekadar penutup tubuh. Tapi bisa menunjukan jati diri dan bahkan menunjukan status seseorang. Pakaian juga bisa membentuk karakter seseorang, demikian sebaliknya,” jelasnya.

 

Dalam perhelatan tersebut Alfi merancang empat buah busana bertema proyek yang digubah secara kreatif. Keempatnya didominasi oleh warna oranye, dengan sentuhan hijau neon dan bawahan berwarna perak. Keempat model yang memeragakan busana hasil rancangan Alfi ini kompak tampil mengenakan bandana warna hijau neon.

 

”Suasana proyek yang ditampilkan secara glamor,” ungkapnya saat ditanyai ihwal busana rancangannya tersebut.  Hal ini memicu tafsir mengenai kemewahan gaya hidup yang hanya dinikmati oleh segelintir orang yang diuntungkan oleh si proyek. Ini bertolakbelakang dengan apa yang dikenakan oleh Dwi Putra Puguh, si pembanting semen. Busana warna krem lusuh yang ia kenakan menjadi simbol, bahwa mereka tak mendapatkan kenikmatan yang sama.

 

 

ADEGAN membanting semen yang dilakukan Dwi, serasa menjadi sebuah ekspresi kemuakan pada pembangunan yang timpang. Pembangunan yang selalu tumbuh pesat di area sentral tanpa ada kemauan untuk bergerak ke pinggir. Jangankan bergerak ke pinggir, pembangunan itu bahkan masih enggan mampir ke rumah para buruh proyek yang telah mengasuhnya.  Dalam peragaan busana ini, keengganan itu diperlihatkan melalui pakaian para model yang kebanyakan sengaja dibuat lusuh dan berantakan.

 

Rupanya tak hanya Alfi, masyarakat jawa pun punya pendapat sendiri soal ini lewat sebuah peribahasa.  Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining rogo dumung ana ing busana (berharganya diri berasal dari ucapan, sedangkan berharganya raga (fisik) berasal dari cara berpakaian). Busana bisa diartikan sebagai kulit sosial. Di dalamnya terdapat pesan dan gaya hidup.

 

Karena itulah masyarakat Jawa melihat busana sebagai cermin diri. Seluruh rentang penandaan paling jelas  yang ditampilkan di luar. Maka apa yang dikenakan Dwi dan beberapa temannya pada peragaan busana malam itu menjadi jelas. Kemuakan yang mereka rasakan hanya berujung pada sebuah kelelahan dan kepasrahan hidup. Jika sudah begini, yang bisa mereka lakukan hanya mendesah tanda lelah. Sedangkan orang-orang yang menyaksikan semakin riuh bertepuk tangan.[]