ALF Goes to UNS yang diselenggarakan di Ruang Seminar NHIC UNS pada Senin (4/5). (Foto: Citra)

Apresiasi Sastra melalui ASEAN Literary Festival (ALF)

lpmkentingan.com-Muara Foundation kembali menyelenggarakan ASEAN Literary Festival (ALF) untuk kedua kalinya di Indonesia. Bekerja sama dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan UNS, ALF Goes to UNS diselenggarakan di Ruang Seminar Nurul Huda Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada Senin (4/5). Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian acara ALF Goes to Solo yang diselenggarakan di tempat tertentu di kota Solo.

ALF Goes to UNS memiliki rangkaian acara yaitu Perkenalan ALF, Diskusi Sastra ASEAN, dan Workshop Menulis Fiksi. Pada sesi perkenalan ALF, Communication Manager ALF Rey Rahman Indira, memberikan pengantar mengenai ALF. ALF merupakan salah satu acara festival tentang kesusasteraan dalam ruang lingkup ASEAN. ALF terdiri dari berbagai penulis negara se-Asia Tenggara, yang mana terdapat 20 negara ASEAN dan 40 penulis Indonesia tergabung dalam ALF tersebut. Namun, ternyata tidak hanya negara ASEAN saja yang terlibat, tetapi juga negara Asia lain seperti China dan Jepang. Bahkan, negara luar Asia, seperti Australia, juga turut bergabung dan berpartisipasi dalam ALF.

Dengan mengusung tema “Berguru pada Kata”, acara ini bertujuan untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, baik dari kalangan anak-anak, remaja, maupun dewasa. Sehingga memotivasi mereka untuk tidak hanya membeli keperluan sekunder saja, tetapi juga menyisihkan uang untuk membeli buku. Selain itu, ALF Goes to UNS juga memberi kesempatan pada peserta untuk bertemu langsung dengan para penulis hebat, salah satunya Okky Mardasari.

Pada sesi Diskusi Sastra ASEAN, Okky Mardasari, pemenang Khatulistiwa Literary Award (KLA), mengemukakan tentang perdebatan yang terjadi antara makna sastra itu sendiri. Menurutnya, tidak ada kesepakatan mengenai sastra. Pada hakikatnya, segala sesuatu yang disebut karya pasti memiliki nilai, baik karya populer maupun karya sastra tingkat tinggi.

“Setiap karya sastra memang memiliki perbedaan, dilihat dari substansinya. Sebuah karya sastra tidak hanya bersifat mainstream di masyarakat yang hanya mengundang nilai jual tinggi dan mengikuti selera publik. Sebuah karya sastra yang berkualitas harus counter discourse, mampu memantik pertanyaan mengenai kondisi masyarakat, menimbulkan wacana untuk berpikir dan membuat kita kritis terhadap situasi,”tuturnya.

Pada sesi terakhir, yaitu Workshop Penulisan Fiksi, Okky Mardasari menjelaskan langkah-langkah yang tepat dalam menulis sebuah karya fiksi, apa saja elemen-elemen yang perlu diperhatikan, dan bagaimana ide harus diolah dengan baik sehingga menghasilkan karya yang berkualitas pula. Jelasnya, kini banyak sekali anak muda yang muncul dengan karya yang luar biasa. Dengan adanya hal tersebut, diharapkan mampu memotivasi dan mengobarkan semangat menulis kepada pemuda Indonesia lainnya untuk menciptakan karya yang berkualitas. “Salah satu upaya yang kita bangun adalah untuk membuat penulis-penulis berkualitas di Indonesia menjadi lebih hidup. Berkarya tidak hanya sekedar tentang uang, tetapi untuk memberikan makna”, ujar penulis novel Maryam tersebut. (Citra)