Animal Farm dan Mimpi Kesetaraan

 

Judul               : Animal Farm

Penulis            : George Orwell

Hal                  : 142 hal

ISBN                : 978-602-291-282-8

Cetakan         : Cetakan ke-2 ( Oktober 2016)

Penerbit         : Bentang Pustaka

 

 

TAK ADA yang mengira, jika sebuah fabel dapat membuat publik terhenyak di tengah masa-masa berdarah Perang Dunia ke II. Fabel, yang biasanya sekadar jadi pengantar tidur atau jadi sarana latihan membaca anak, nyatanya bisa jadi karya yang fenomenal di tangan Eric Arthur Blair atau yang kita lebih mengenalnya sebagai George Orwell. Memang fabel ini bukan fabel biasa. Kisah yang diceritakan amat satir dalam balutan cerita ringan dan riang. Dan konon,  fabel satir inilah yang membawa nama Orwell naik ke kancah sastra dunia.

 

Kesatiran George Orwell berawal dari pidato babi tua bernama Major, yang berkata, “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, tidak bertelur, ia terlalu lemah menarik bajak, ia tidak bisa lari cepat untuk menangkap terwelu. Namun, ia adalah penguasa atas semua binatang.” Ujar Major, seekor babi tua di peternakan milik Jones (hlm. 6). Semua anggota peternakan yakni Biri-biri, Sapi, Ayam, Keledai hingga Tikus-tikus kecil penganggupun mendengarkannya dengan khusyu.

 

Major lantas melanjutkan, “Tidakkah ini satu penjelasan yang terang benderang, Kamerad, bahwa semua kejahatan dalam hidup kita muncul dari tirani manusia ? Cukup dengan menyingkirkan manusia dan hasil kerja kita akan menjadi milik kita.” (hal. 8) Dan jalan untuk menumbangkan manusia adalah melalui jalan pemberontakan kata Major. Ia menambahkan bahwa seluruh binatang adalah setara. Hal inilah yang paling ditekankan oleh Major tua bahwa semua binatang adalah setara baik yang lemah, kuat, pintar atau biasa-biasa saja semuanya adalah saudara. Sehingga mereka tidak boleh saling menindas dan membunuh.

 

 

Mendengar pidato yang disampaikan oleh si babi tua Major, pembaca mestinya akan merasa tidak asing dengan kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut si babi. Dan memang seharusnya pembaca akan sampai pada bayangan dua pria asal Jerman dan Perancis yang pernah menuliskan hal serupa, mereka ialah Karl Marx dan Engels dalam manifesto komunis tahun 1848. Yang mana kisah mereka dan manifesto komunis sudah berkeliaran di buku diktat-diktat kuliah sosial dan buku-buku yang berlabel “kiri” hingga kini.

 

 

Novel satir bikinan Orwell ini sengaja dibungkus dalam wujud fabel, agar dapat dipahami dengan mudah dan menarik. Dalam novel, para binatang diandaikan sebagai para buruh versi Marx, yang sengsara, penuh kerja keras, diperbudak, dipaksa bekerja dan disembelih secara keji oleh manusia. Sedangkan manusialah yang jadi kaum borjuisnya, yang mengambil banyak tanpa memberi lebih.

 

 

Melalui novel ini, Orwell menciptakan allogeri menarik dengan menyamakan prinsip Marxisme dengan “binatangisme” yang diperjuangkan oleh para binatang. Keduanya sama-sama memiliki prinsip untuk menjauh dari cara kehidupan para borjuis.

 

 

 

Mimpi Kesetaraan

Karya ini juga merupakan salah satu karya yang paling menggusarkan. Dengan jalan ceritanya yang penuh metafora namun sederhana, membuat para pembaca seakan memahami apa yang sebenarnya Orwell kritik. Kepemipinan yang semakin diktator dan totaliter , sudah jauh dari mimpi kesetaraan. Inilah yang ia kritik. Orwell melalui karya ini menunjukan pada kita bagaimana sebuah kepimpinan totaliter, dengan propagandanya mampu mengubah dan mengontrol prinsip rakyat melalui cara-cara yang halus namun menyesatkan dan jauh dari impian yang terdahulu.

 

 

Novel ini rasanya masih memiliki relevansi dengan kehidupan pemimpin di dunia saat ini. Dimana para pemimpin lambat laun bisa saja jadi seorang diktator dan totaliter, yang berjuang untuk dirinya sendiri dan kelompoknya. Meskipun di awal kebanyakan dari mereka akan memberikan janji manis perubahan dan kemakmuran bagi rakyat. Maka, tak salah ungkapan bahwa “Kekuasaan itu ibarat  mata pedang yang bisa menghancurkanmu bila kau tak bisa menjaganya baik-baik.”

 

 

Kisah ini sekaligus mengingatkan kita pada seorang sastrawan Perancis, Voltaire, yang mengatakan, “Mereka yang mengatakan bahwa manusia adalah sama, telah mengucapkan kebenaran yang paling agung bila yang mereka maksudkan ialah bahwa semua manusia punya hak sama untuk kebebasan, untuk memiliki barang mereka sendiri dan untuk perlindungan hukum” (dikutip dari Voltaire dan Pencerahan Perancis: Kehidupan dan Karya-Karyanya Yang Mengguncang Dunia, 2014). Sebuah pernyataan dingin Voltaire tentang kesamarataan. Sulit mengelak bahwa hukum dibuat oleh mereka yang kuat. Inilah yang menjadi kenyataan menyedihkan para binatang yang merindukan kesamarataan di peternakan binatang tempat mereka hidup tersebut. Kesedihan yang sama juga dirasakan para buruh yang diperjuangkan Marx ratusan tahun lalu. Dan sangat mungkin masih dirasakan hingga kini.[]

 


 

[author title=”R. Syeh Adni” image=”https://i1.wp.com/saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/08/R.-Syeh-Adni.jpg?w=618″]Seseorang yang suka menghabiskan waktu untuk membaca. Ingin menjadi penulis yang baik dan ingin menjadikan tulisannya bermanfaat bagi sesama. Surel: rasy_ad@yahoo.co.id.[/author]