Oleh: Na’imatur Rofiqoh
TANGGAL 30 Maret boleh dicatat sebagai hari bersejarah bagi Perpustakaan UNS. Bos kampus menginginkan gedung berlantai delapan seharga 65 miliar itu menjadi pusat literasi di tingkat kampus dan internasional. Tonggak ambisi menjadi pusat literasi diawali dengan acara penting Grand Opening UPT Perpustakaan UN, yang dimeriahkan acara Peluncuran Klinik & Kafe Pustaka Ilmiah, Website, Pentas Budaya, Pameran Buku, dan Pesta Kuliner Pemustaka.
Sejak pagi, sejumlah kesibukan telah tampak di lobi gedung. Kursi-kursi ditata berbaris dan berkolom rapi. Bunga melati dironce membentuk jalinan panjang untuk dipotong saat peresmian. Di dinding kanan, terpajang spanduk bertuliskan Deklarasi Budaya Literasi. Di bawahnya, terbaca Ayo Giat Membaca dan Menulis Bersama Perpustakaan UNS, Jadilah Generasi Emas Indonesia. Telinga diganggu suara gamelan sambil mengingat-ingat peraturan tidak berlebihan “harap tenang” di perpustakaan. Tetapi hari itu adalah hari istimewa. Di hari yang istimewa, semuanya boleh berbeda.
Dengan penuh pengertian, kaki melangkah ke lift menuju lantai tiga. Mata dikagetkan kabar yang disampaikan secarik kertas di dinding lift: pelayanan perpustakaan hari ini akan dihentikan pukul 12.00 sebab acara grand opening. Batin memberontak: acara yang berlangsung di lobi tidak semestinya mengganggu aktivitas utama yang wajar terjadi di perpustakaan, yakni berbuku. Tetapi kesejukan AC di ruangan membawa kembali pengertian, ini hari istimewa. Maka perpustakaan berhak istirahat sejenak dari fungsi utamanya di hari yang istimewa.
Dari lantai tiga, bersama dengan penasaran pikiran pada buku-buku yang dihibahkan Belanda, telinga tidak lagi mendengar gamelan. Konsentrasi pecah oleh suara dua perempuan: Sayang, opo kowe krungu/ Jerite atiku/… Oh, NDX! Beberapa lembar kemudian, lagu berlanjut ABG Tua Fitri Karlina, Sewu Kutho Didi Kempot, Mendem Kangen Husin Albana… Kegiatan karaoke di lobi menemani kegiatan berbuku sampai pukul 12.00 ketika petugas segera menghela pembaca dari ruangan. Rasa pengertian sudah mulai berkurang karena acara grand opening terasa benar tidak menghormati pembaca. Namun, pikiran masih berbaik sangka: barangkali hari ini kegiatan berliterasi dialihkan ke lobi.
Di lobi, udara panas terkepung manusia. Kursi-kursi penuh diduduki. Penataan ruangan yang berpusat ke pintu masuk menyulitkan elemen penting ambisi pusat literasi terlihat: buku-buku yang dijajakan di delapan stan yang berada di sekitar kursi dan teras lobi belakang. Namun, buku-buku tidak gratis. Yang gratis adalah siomay, batagor, pempek, bakso, pecel, nasi liwet, rujak, kentang rebus, lontong opor, es dawet, wedang ronde, dan es teh yang khusus disediakan untuk mahasiswa dengan tajuk Pesta Kuliner Pemustaka.
Santapan kuliner pemustaka tersedia di halaman perpustakaan. Di sinilah ratusan mahasiswa, berpeluh berdesak-desakan, mengantre tidak rapi demi kuliner idaman nirbayar. Kita mafhum, membaca dan menulis adalah kegiatan maha berat. Maka, diperlukan asupan energi dari makanan agar pencapaian membaca dan menulis terpenuhi. Tetapi, pikiran usil tetap saja menggoda: Ambisi pusat literasi wajib menghadirkan berbagai jenis makanan gratis, bukan buku-buku.
Aku tersenyum saja menanggapi polah pikir ini. Yah, siomay incaran gagal didapat lantaran sudah habis ketika antrean masih panjang. Konon, perut lapar memungkinkan seseorang berpikir lebih jernih.
Komunikasi
Meski telah diresmikan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Muhammad Natsir 11 Maret lalu, UPT Perpustakaan UNS bersi keras mengadakan peresmian internal. Pengulangan ini menyiratkan betapa penting bagi mahasiswa untuk memaknai perpustakaan UNS sebagai pusat literasi. Apa yang dilakukan birokrat kampus ini adalah pola komunikasi ini linear sederhana ala Shannon dan Weaver (Fiske, 2008: 14). Kita melihat sebuah proses komunikasi yang disampaikan oleh perpustakaan UNS sebagai komikator pada khalayak mahasiswa penerima pesan (komunikan).
Pesan “pusat literasi” dikomunikasikan melalui peristiwa penting perhentian layanan tiga jam lebih cepat yang tidak prima dan unggul, pesta makan gratis, dan pameran buku-buku berharga cukup mahal tapi berjumlah sedikit. Dengan pengertian paling sederhana literasi sebagai kesanggupan untuk membaca dan menulis, buku wajib menjadi tokoh utama acara ini. Kesanggupan baca dan tulis tak mungkin terjadi tanpa kehadiran buku-buku. Namun, keberadaan sedikit buku-buku memarginalkan posisi buku sebagai lakon penting ambisi pusat literasi. Mahasiswa yang lebih rela berdesakan demi makan gratis daripada memperhatikan buku dan membeli buku-buku memperlihatkan kegagalan komunikasi perpustakaan UNS.
Komunikasi yang dilakukan birokrat tersebut keluar dari inti Deklarasi Budaya Literasi. Komitmen untuk sanggup membaca dan menulis tidak disahkan dengan pembagian buku gratis karya-karya dosen atau mahasiswa: bukti tergagah dan nyata literasi. Bukan pembubuhan tanda tangan hadirin pada spanduk besar Deklarasi Budaya Literasi. Dari perspektif mana pun, sulit untuk menautkan kepentingan tanda tangan dengan kegiatan berliterasi.
Kegagalan komunikasi perpustakaan UNS lengkap sudah ketika Solopos 31 Maret 2016 memberitakan peresmian itu dengan judul besar-besar: Dibangun 7 Lantai, Perpustakaan UNS Tambah Megah. Berita mengabarkan perpustakaan UNS bak hotel berbintang dengan fasilitas basement, lobi, manajemen pengelolaan perpustakaan, aula, dan ruang-ruang untuk migrasi koleksi buku lama, buku hibah Belanda, dan koleksi perpustakaan fakultas. Kita paham, hotel berbintang memang berkepentingan dengan fasilitas, tapi bukan budaya literasi. Berita tidak mengabarkan penambahan serius koleksi buku-buku.
Bagi perpustakaan UNS, menjadi pusat literasi internasional (yakin?) barangkali tidak perlu berambisi memiliki koleksi 30 juta buku seperti Library of Congress di Washington DC, 22 juta buku seperti Perpustakaan Nasional China, bahkan tidak perlu berambisi menyaingi Universitas Harvard dengan koleksi 13 juta buku. Yang penting sama-sama megah, tak apa hanya dengan koleksi 40.899 buku ditambah 23.000 hibah Belanda, serta memboyong koleksi perpustakaan-perpustakaan fakultas dengan dalih integrasi. UNS Bisa!
Na’imatur Rofiqoh, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
(Ilustrasi: Sinta Oktaviani)