Foto: Muhammad Zuhri/LPM Kentingan

Bocah-Bocah Penghambur Gabah

Oleh: Adhy Nugroho

 

“Hayu…Hayuuu..” orang-orang di depannya menahan tawa. Dua bocah perempuan  lanjut menembang, “Rahayu sak teruse. Nini towok-nini towok…” suara tumbukan lesung mengiringi, kemudian tujuh bocah perempuan mulai bergerak.

 

KETUJUH BOCAH itu membentuk formasi menyamping 3-1-3,  bergerak ke kanan dan ke kiri dengan kedua telapak tangan di perut menghadap ke depan. Sebuah selendang melilit pinggang mereka. Ada yang berwarna oranye, biru, dan ungu. Namun hiasan kepala mereka semua sama, berupa tiga janur yang berbentuk seperti penjor dengan bagian atas melingkar, berbentuk bintang, dan burung. Mereka mengenakan pakaian tari dengan  bawahan batik.

 

Seorang bocah penari yang berada di tengah bergerak ke kanan ke kiri, matanya melirik-lirik. Sepertinya ia ingin berkata “Kamu geser sedikit dong!” kepada teman-teman di sampingnya. Saat itu, posisi ketujuh bocah penari tadi memang tak begitu simetris.

 

Sementara di belakangnya, lima bocah laki-laki berpakaian hitam setengah badan dengan bawahan batik dan kepala ditutupi blangkon sedang memukul-mukul  lesung dengan alu hingga menghasilkan ritme gemlothekan. Ada yang memukul bagian dalam lesung, lainnya memukul bagian luar, dan yang memukul bagian ujung berperan sebagai pembimbing birama dengan suara “dug” yang keras. Mereka tak peduli pada bocah yang melirik-lirik, juga tak peduli pada formasi yang tak begitu simetris.

 

Di depan panggung, duduk para pria dan wanita yang usianya lebih tua. Mereka adalah Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Wakil Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta, Kepala Prodi Etnomusikologi ISI Surakarta, mahasiswa ISI dan sisanya adalah masyarakat umum.

 

Rupanya bocah-bocah tadi adalah personel Sri Katon Mudo. Sebuah komunitas pecinta klothekan lesung asal Plesungan, Gondongrejo, Karanganyar. “Yang nabuh dan yang nari mayoritas anak muda semua” Adi Marga (21) Pengurus Sri Katon Mudo, saat menjelaskan arti dari nama tersebut.

 

Ceritanya, Jumat malam, 16 Desember 2016 lalu, “Sri Katon Mudo” yang terdiri dari bocah-bocah usia sekira delapan sampai duabelas tahun berkesempatan unjuk gigi sebagai penampil pertama pada acara All Etno #13. Acara ini merupakan pertunjukan musik etnis tahunan dari Program Studi Etnomusikologi ISI Surakarta. All etno #13 kali ini menggagas tema Ragam Dalam Kesatuan. Acara tersebut diselenggarakan sampai tanggal 17 Desember 2016.

 

 

KEMUDIAN sinden menembangkan lagu Lir-Ilir. Penabuh lesung menambah tempo ketukan jadi lebih cepat. Para penari berjalan maju,  kemudian mengambil bakul di depan mereka yang sebelumnya hanya terlihat seperti properti hiasan. Dari dalam bakul itu para penari mengambil dan menghambur-hamburkan gabah. Beberapa kali juga terdengar “klinciing…”—suara  uang receh yang jatuh. Ternyata di dalamnya tak hanya ada gabah.

 

“Itu menggambarkan kemakmuran masyarakat kalau panennya bagus,” ujar Adi Marga saat menjelaskan maksud dari adegan menghamburkan gabah dan uang receh.

 

Adegan simbolik yang mengimpikan kemakmuran ini sebenarnya juga pernah ditampilkan dalam pameran seni rupa Wakul Ngglimpang yang diadakan di Bentara Budaya Yogyakarta, 8-14 Januari 2006. Jika bocah-bocah “Sri Katon Mudo” mengimpikan kemakmuran dengan penggambaran bakul yang berisi beras dan uang receh, pameran seni rupa “Wakul Ngglimpang”, menampilkan sebaliknya. Bakul-bakul yang dibawa kosong mlompong. Malah ada satu adegan yang memperlihatkan betapa mereka sangat mengidamkan beras. “Seorang ibu, Mbok Madiyo Giyem, menerima sebuah cobek dari tanah. Lalu Mbok Giyem membanting cobek itu keras-keras sampai pecah berantakan, dan berhamburanlah butir-butir beras, jagung, kacang dan kedelai. Kemudian dengan kata-kata ini, Mbok Giyem membuka pameran. “Wakule Ngglimpang mergo kabeh sing dipangan larang (Bakulnya tergelimpang karena semua yang dimakan mahal),” (Sindhunata, 2006)

 

Kemakmuran dapat dilihat dari ketersediaan dan keterjangauan pangan bagi masyarakatnya. Soal ini, Presiden Soekarno pun sudah pernah menyadarinya. Pada 27 April 1952, ia pernah menyebut pangan sebagai soal “Hidup dan mati bangsa kita di kemudian hari.” (Zen RS, 2008) Karena nasi menjadi poros pangan bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Dan bocah-bocah “Sri Katon Mudo” serta Mbok Giyem sepertinya sepakat menyimbolkannya dengan beras dan bakul.

 

Sementara itu gabah-gabah sudah berhamburan di atas panggung, Juga beberapa uang receh. Sejenak suasana jadi diam dan hening. Kemudian, sinden pun menembangkan lagu Caping Gunung karya Alm. Gesang. Para penari menuju panggung samping untuk keluar. Penonton memberikan tepuk tangan seraya tirai panggung diturunkan.[]  [Penyunting : Vera Safitri]