
Judul : Ekonomi Kerbau Bingung
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Penerbit Buku Kompas (PBK)
Tebal : 172 Halaman
Terbit : 2006
Menulis merupakan kegiatan yang penting. Lewat kegiatan tulis-menulis kita dapat belajar untuk menuangkan segala sesuatu dalam pikiran kita yang mungkin sangat sulit diutarakan dalam bentuk lisan. Lewat menulis, kita juga dapat belajar mengenal sastra, suatu bentuk yang telah berjasa mengabadikan segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah umat manusia di seluruh dunia. Seperti yang di tulis oleh Pramoedya Ananta Toer, “…Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”, tulis-menulis menjadi kegiatan yang penting nan indah. Namun apa jadinya bila kegiatan yang penting nan indah tersebut jatuh kepada seorang wartawan bernama Sindhunata? Sindhunata berhasil membuat kegiatan tulis menulis menjadi kegiatan yang mulia. Melalui bukunya yang berjudul Ekonomi Kerbau Bingung, Sindhunata berhasil mewartakan segala macam bentuk ketidakadilan yang masih terjadi di negeri tercinta ini.
Seperti halnya dengan mendengar berita-berita tentang ketidakadilan atau tentang hukum yang masih seperti mata pisau di berbagai macam media, mungkin perasaan yang sama akan mucul ketika anda membaca buku Ekonomi Kerbau Bingung; geram, marah dan mungkin kesal karena kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ekonomi Kerbau Bingung adalah sebuah buku yang berisi kumpulan feature karya Sindhunata yang dimuat pada Harian Kompas antara tahun 1978 sampai 1993.
Hukum di Indonesia masih berpaling dari rakyat kecil, dimana hukum amat tegas jika berurusan dengan rakyat kecil tetapi mendadak berubah menjadi sahabat yang penuh rasa “solidaritas” jika berurusan dengan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kepentingan tertentu. Hal itulah yang ingin diungkapan Sindhunata pada bab satu buku Ekonomi Kerbau Bingung. Contohnya adalah kisah Sarijo, seorang buruh pemetik buah melinjo dan sawo yang disiksa oleh oknum Polri karena dituduh mencuri sepeda anaknya tanpa bukti yang kuat bahkan asal tuduh.
Pada bab dua dan tiga, buku ini membahas mengenai pembangunan yang tidak merata di kota-kota besar, tidak merata karena manfaat dari pembangunan hanya dapat dirasakan oleh orang-orang menengah keatas dan orang kecil hanya bisa merasakan “efek samping”-nya saja, seperti kisah Sriyatun dan warga Kampung Jatibunder lainnya yang harus menyembunyikan rasa malu bahkan rasa jijiknya karena mereka buang air di tepi Kali Malang yang hanya menyediakan tujuh jamban bambu tanpa batasan gender untuk ribuan warga, dan kotoran warga tersebut menuju aliran Kali Malang yang juga digunakan untuk mandi.
Kerasnya kehidupan tidak membuat kaum marjinal menyerah bahkan bisa jadi bahan tertawaan buat mereka. Mereka tetap berusah sebisa mungkin, mengakali dan melawan segala keterbatasan agar dapat tetap bertahan. Pada bab empat, terdapat feature-feature tentang usaha-usaha kaum marjinal agar dapat tetap bertahan hidup. Seperti kisah Mbok Amat, seorang wanita berusia enam puluh tahun yang sehari-harinya harus melawan reumatik dan rang, binatang air yang merusak telapak tangan dan kaki, untuk mendapatkan batu kali di Kali Serang. Kemiskinan dapat dijadikan bahan tertawa oleh wanita yang biasa memikul batu kali seberat 25 kg di punggungnya itu. Menurutnya, ia sudah terbiasa dengan kehidupan dimana apa yang tidak cukup itu selalu bisa dicukup-cukupkan.
Ada hal yang berbeda pada bab terakhir buku ini. Jika pada empat bab sebelumnya berisi kumpulan feature berisi kisah-kisah yang berbeda, pada bab lima dikhususkan untuk feature yang mengisahkan Arjo, si Buntung, yang mengalami pengalaman pahit selama berada di Ibukota. Pada bab ini semakin mengental rasa kemanusiaan Sindhunata yang rela mengurusi segala keperluan-keperluan Arjo yang tidak punya sanak saudara di Jakarta, untuk mengambil hak-haknya.
Membaca feature-feature Sindhunata pada buku ini, membuktikan bahwa Sindhunata adalah seorang wartawan yang sangat total dalam mewartakan berita, menggali informasi secara serius dan bersungguh-sungguh dari berbagai narasumber sehingga menghasilkan detail yang memberikan kesan tersendiri terhadap pembaca. Sebagai seorang wartawan, Sindhunata berprinsip bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya harus berani menentukan pilihan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Kata-kata tersebut terbukti dalam isi buku ini. Dalam buku ini, Sindhunata berhasil mewartakan berbagai macam berita menjadi kisah yang lebih hidup, kisah-kisah yang menimbulkan berbagai macam perasaan, entah itu perasaan marah, benci, empati atau minimal rasa bersyukur bahwa kejadian buruk yang menimpa orang-orang malang tersebut tidak terjadi pada diri dan keluarga kita. Laporan-laporannya dalam buku ini dapat menghipnotis para pembacanya untuk tergerak memberikan bantuan dan membentuk persepsi para pembaca bahwa keadilan masih jauh dari rakyat kecil, sama seperti saat ini, belum ada yang berubah. (Fajar Andi)