Dea Shofia Mahendra

Building Bridge School: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual: Di Balik Dasi, Jabatan, dan Relasi Kekuasaan

Selasa, 27 Mei 2025 — Suasana di Aula MAWA Lantai 2 sore itu tampak ramai. Pukul 15.42 WIB, diskusi bertema, “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual: di Balik Dasi, Jabatan, dan Relasi Kekuasaan” resmi dimulai. Acara yang diselenggarakan oleh BEM UNS Kementerian Kesetaraan Bersama berkolaborasi dengan BEM SV Kementrian Keseteraan Gender berujuan untuk membedah persoalan kekerasan seksual yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan karena kebanyakan pelakunya adalah oknum dengan jabatan atau kuasa tinggi.

Saat diwawancarai langsung, Ketua Pelaksana, Salsabila, menjelaskan bahwa diskusi ini diadakan bukan tanpa alasan. “Kami melihat bahwa banyak kasus kekerasan seksual justru dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan, baik di kantor, rumah, bahkan lingkungan pendidikan,” jelasnya kepada LPM Kentingan. Menurutnya, pola ini menunjukkan bahwa kekuasaan dan relasi menjadi lahan subur bagi pelecehan seksual.

Dalam sambutannya juga, Salsabila menyampaikan kegelisahannya atas kasus kekerasan seksual yang tak kunjung surut. “Kita menyaksikan sendiri, kekuasaan yang harusnya melindungi masarakat, malah menjadi pelaku. Diskusi ini harapannya dapat memunculkan social concern, sebab perubahan tidak lahir dari diam, melainkan keberanian untuk bergerak bersama,” tegasnya lantang.

Acara ini menghadirkan dua narasumber berpengalaman pada bidang kesetaraan gender dan pencegahan kekerasan seksual. Beliau adalah Prof. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si, Ketua satgas PPKS UNS dan Dra. Sri Kusuma Hapsari, M.Hum. Ph.D, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNS sekaligus Praktisi Gender dan Budaya.

Menggali Akar Kekuasaan, Gender, dan Sejarah yang Terpinggirkan.

Dr. Sri Kusuma Hapsari membuka paparannya dengan mengajak hadirin menyelami sejarah panjang gerakan perempuan di Indonesia yang kerap disalahpahami atau sengaja dibungkam. Salah satu sorotan utamanya adalah kiprah GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi progresif perempuan yang muncul pada 1960-an. GERWANI memperjuangkan hak-hak mendasar perempuan, mulai dari kepemilikan tanah, akses pada posisi manajerial, hingga kesetaraan dalam ruang kerja.

Namun, semua itu mengalami titik balik ketika Orde Baru membubarkan GERWANI dengan dalih keterkaitan ideologis dengan komunisme. Sejak saat itu, gerakan perempuan di Indonesia mengalami depolitisasi besar-besaran.

“Ketika GERWANI dibekukan karena dianggap dekat dengan ideologi PKI, bukan hanya organisasi yang dihancurkan, tapi juga semangat emansipasi perempuan direnggus,” jelasnya.

Lebih jauh lagi, pembubaran GERWANI bukan sekadar penghentian organisasi, melainkan juga bentuk pembekuan narasi dan pengerdilan perempuan secara sistematis. Orde Baru kemudian menggantikan ruang perjuangan perempuan dengan konsep organisasi istri.  Perempuan tidak lagi dilihat sebagai individu otonom, melainkan sebagai pendamping suami, ibu rumah tangga, dan pelengkap simbolik belaka.

Dr. Sri menyoroti fakta historis bahwa dahulu di banyak wilayah di Jawa, kepemilikan tanah menjadi hak eksklusif laki-laki. Namun sayangnya, GERWANI yang seharusnya hadir untuk menyingkirkan persepsi tersebut, justru tidak didukung pada zamannya.

“Perempuan hanya punya rumah, tapi tidak punya tanah. Rumah itu berdiri di atas tanah milik laki-laki. Mereka bisa tinggal, tapi tak bisa memiliki,” jelas Dr. Sri di hadapan peserta diskusi.

Realita Zaman Sekarang : Budaya Patriarkis dalam Ilusi Kesadaran

Saat ini muncul pernyataan, “Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya hanya memasak di dapur dan mengurus rumah.” Doktrinasi peran gender seperti ini dimulai dari bangku sekolah dasar. Ilustrasi dalam buku pelajaran, lagu anak-anak, hingga drama kelas mengajarkan narasi bahwa perempuan memasak di dapur dan laki-laki bekerja mencari nafkah.

“Kita sejak kecil diajarkan bahwa ibu masak di dapur dan ayah ke kantor. Hal seperti ini sudah jadi alam bawah sadar. Paradigma sosial saat ini adalah perempuan berada pada ranah administratif dan keuangan, sedangkan keamanan dan manajerial itu adalah tugas laki-laki. Padahal tak selamanya demikian,” ujarnya.

Dampak dari hal tersebut adalah tertanamnya cara berpikir dari generasi-generasi mendatang yang memaknai peran gender bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai takdir yang tak bisa diubah. Laki-laki belajar untuk memimpin, perempuan belajar untuk melayani. Dengan kata lain, perempuan tidak lagi dilihat sebagai aktor utama dalam kehidupan publik, melainkan sebagai bagian dari struktur pendukung, sebagai ibu, istri, pelayan rumah tangga.

Dalam sorotan tajamnya, Dr. Sri Kusuma Hapsari mengungkap bahwa pasca-Orde Baru, sistem sosial Indonesia bukan hanya gagal mendorong kesetaraan gender, tetapi secara aktif menarik perempuan mundur. Berbeda dengan prinsip sosialisme yang menjamin akses setara atas ruang dan peran publik, Indonesia yang bergerak dalam sistem kapitalisme justru mempersempit posisi perempuan.

“Kapitalisme membentuk penghargaan baru terhadap perempuan, bukan dari intelektualitas atau kontribusinya di masyarakat, tapi dari kemampuannya melayani dan mereproduksi,” tegasnya.

Penampilan Menjadi Standar, Pencapaian Tak Lagi Didengar.

Fenomena budaya populer yang terjadi saat ini adalah mengabadikan foto tubuh perempuan sebagai objek visual utama. Di tengah era digital, perempuan dinilai bukan dari kemampuannya, tetapi dari bagaimana dia tampil cantik dan menawan di hadapan orang lain, terlebih lagi dalam potret kamera.

“Perempuan sekarang nggak perlu pintar, yang penting cantik dulu. Cantik sudah menjadi hal yang diagungkan saat ini. Lebih banyak mana sekarang, yang selfie menunjukkan kecantikan atau menunjukkan prestasi?” Ungkapnya heran.

Lebih lengkap lagi, budaya body goals, dan tren “aesthetic” di media sosial membuat banyak perempuan, terutama remaja dan dewasa muda, merasa terpaksa mengikuti standar kecantikan yang sempit dan sering kali tidak realistis. Seakan-akan tubuh perempuan sudah menjadi proyek konsumsi, bukan ruang kendali diri.

“Padahal, prestasi itu bisa dibanggakan sampai akhir hayat. Tapi sekarang, kita justru menanamkan nilai bahwa validasi datang dari penampilan, bukan pencapaian,” tambahnya.

Menurutnya, fenomena ini bukan hanya memengaruhi harga diri perempuan, tetapi juga membuka celah bagi kekerasan seksual, terutama dalam bentuk verbal, visual, dan siber.

Membongkar Relasi Vertikal dalam Kekerasan Seksual

Dalam dunia kerja, kampus, bahkan rumah tangga, banyak relasi dibangun atas dasar ketimpangan kuasa. Dosen dan mahasiswa, atasan dan bawahan. Direktur dan pegawai, atasan dan bawahan. Semua kerap terjebak dalam model hierarkis yang merugikan pihak bawahan, terutama perempuan.

“Relasi kuasa itu sangat erat hubungannya dengan anggapan bahwa hubungan antara atasan dan bawahan itu vertikal atau atas dan bawah, bukan horizontal atau setara,” jelasnya.

Relasi vertikal ini membentuk sebuah persepsi bahwa bawahan dianggap tidak setara. Bahkan dalam banyak kasus, mereka merasa tak berdaya menolak keinginan atasan. Dalam konteks kekerasan seksual, relasi inilah yang membuka ruang pemaksaan, ancaman, dan manipulasi yang sulit dilawan secara terbuka.

Lebih jauh lagi, dalam budaya patriarkis, hubungan pria dengan pria sering dianggap setara (horizontal), sementara pria dengan wanita langsung diasumsikan vertikal. Pria memimpin, perempuan mengikuti.

“Analoginya begini, atasan adalah sapu, bawahan hanya lidi. Kalau lidi nggak bisa diatur, dia dibuang,” ujar Dr. Sri, memberikan perumpamaan yang menyoroti betapa tidak adilnya nilai-nilai yang diwariskan kepada kita sejak lama.

Tak hanya fisik, kekuasaan juga dipertahankan lewat retorika. Permainan silat lidah, dominasi argumen, bahkan penguasaan emosi dijadikan alat untuk mematahkan perlawanan perempuan. Karena secara biologis kekuatan otot perempuan memang berbeda, maka strategi yang mereka pakai pun harus lebih cermat dan taktis.

Lebih mengejutkan lagi, pelaku kekerasan seksual sering kali dilakukan bukan orang asing, justru mereka adalah orang terdekat seperti rekan kerja, dosen pembimbing, senior organisasi, bahkan pasangan.

“Karena terlalu dekat, kita lupa untuk tetap menjaga diri. Kita mengendurkan pertahanan dan akhirnya melemah,” ungkap Dr. Sri, menjelaskan betapa kekerasan seksual bisa terjadi dalam kedekatan yang dibungkus kepercayaan.

Kampus dan Kekerasan Seksual yang Nyata

Dalam pemaparan sesi kedua, Ketua Satgas PPKS UNS, Prof. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, menekankan bahwa kekerasan seksual tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan akibat sistem dan budaya yang melegitimasi ketimpangan kuasa.

“Kekerasan seksual terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa atau gender yang merendahkan tubuh dan fungsi reproduksi seseorang serta mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis.” (Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024)

Bentuk kekerasan yang diungkap tak hanya fisik, tetapi juga verbal, non-fisik, dan digital. Hal ini makin kompleks ketika dikaitkan dengan fenomena budaya diam di lingkungan kampus. Prof. Ismi menyebut, Fenomena passive bystanders atau saksi enggan melapor karena takut, tidak tahu harus bagaimana, atau karena kedekatan dengan pelaku,  menjadi hambatan serius dalam penanganan kasus.”

Data Satgas PPK UNS menunjukkan bahwa sejak 2022 hingga April 2025, terdapat 57 laporan kasus kekerasan, dengan bentuk paling dominan adalah kekerasan seksual dan pelaku mayoritas berasal dari lingkungan kampus sendiri. “Korban kehilangan kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal, tegasnya.

Lebih jauh, beliau mengungkap dampak budaya diam adalah memberikan pelaku keberanian untuk mengulang perbuatan, memerkuat siklus kekerasan, dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem kampus. Untuk itu, UNS membentuk Satgas PPK, dibawahi langsung oleh rektorat yang bekerja atas prinsip non-diskriminasi, akuntabilitas, keadilan restoratif, dan pemulihan hak korban.

Setiap perguruan tinggi, memang wajib membentuk satgas PPKS untuk menangani kasus kekerasan sekual di kampus. Sejak Oktober peraturan tentang PPKS, diperluas menjadi PPK seperti perundungan, fisik, psikis, dan lain sebagainya (No. 7 2025). Setiap korban yang melapor dan saksi yang mengungkap akan dijamin haknya. Mereka akan mendapatkan pendampingan, pemulihan serta perlindungan secara lansgung agar terjaga keamanan dan kenyamanannya.

Pada akhir sesi diskusi, Prof. Ismi mengajak seluruh elemen kampus untuk bersatu menghapus kekerasan. “Mari bersama-sama menciptakan ruang yang aman dan nyaman, terbebas dari kekerasan seksual. Kita harus saling jaga, satu suara, lawan kekerasan, dan tidak takut melapor.” (AA)

Nama Penulis: Akmal Alghiffari

Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah