Foto: Alifia Nur Aziza/ LPM Kentingan

Telusur Gajah Bersama Gang-gangan dalam Kemeriahan Acara Patjar Merah

Festival kecil literasi dan pasar buku nusantara menyambangi Solo pada awal Juli. Kemeriahan tanpa sorak sorai yang berlebih, Patjar Merah bersinar dengan serangkaian acara yang membuka cakrawala. Dengan tumpukan buku memenuhi area Ndalem Djojokoesoeman, pasar keliling satu ini tak kunjung menemui jam tutup. Sepertinya Patjar Merah memiliki magnet yang membuat para Patjar Boekoe–sebutan akrab para pengunjung Patjar Merah–betah berlama-lama. 

Cerita Bersama Gang-Gangan

Saya sempat beberapa kali sowan untuk sekadar menilik resep puisi Joko Pinurbo, menikmati sajian film pendek sarat makna milik Payung Dara, dan menelusuri Gajahan sembari menjenguk berbagai wujud gajah bersama Gang-gangan. 

Tak seperti kedua acara yang saya kunjungi di awal dengan duduk dan mendengarkan, Gang-gangan membawa saya berjalan kaki dan bercerita. Kamis, (6/7) pukul setengah empat sore, entah bagaimana saya sudah berdiri di tengah-tengah beberapa orang asing di latar Ndalem Djojokoesoeman. Sejujurnya saya terlambat datang dengan cukup tergesa-gesa, tetapi kedatangan saya disambut oleh mereka.

Dengan rombongan yang berjumlah kecil—sekitar sepuluh orang—bisa dibilang perjalanan hari itu tak jauh berbeda dengan jalan-jalan bersama sekumpulan kawan. Berbekal denah yang telah disediakan, kami berjalan mengikuti rute sembari membuat legenda, menandai letak gajah-gajah yang kami temui.

Awalnya, saya menduga Gang-gangan sama dengan komunitas walking tour pada umumnya. Namun, setelah mulai berjalan, saya menyadari memang tidak tampak seperti sebuah ‘tour’, bisa dibilang pure berjalan-jalan sambil mengarsipkan apa saja yang menarik mata melalui tangkapan kamera. 

Sepanjang berjalan, saya sangat tertarik dengan bangunan-bangunan tua. Bahkan mungkin yang sudah rusak di beberapa bagiannya. Tentu, saya tidak lupa untuk memotret gajah-gajah sebagai tindak lanjut dari tema jalan-jalan kami hari itu, yaitu “Mencari Gajah”. Jangan salah, gajah yang kami temui memiliki wujud yang bermacam-macam, mulai dari patung, desain lampu, ukiran di jalan, hingga gambar dalam spanduk.

Di tengah perjalanan, kami sesekali mengobrol, mulai dari hal-hal yang terdengar sepele sampai yang cukup informatif. Saya masih ingat dengan pertanyaan, “Kenapa orang Jawa bisa nunjukin arah dengan ngalor, ngidul, ngulon, dan ngetan?” Risna yang tinggal di Yogyakarta menjawab, “Kalau untuk orang Jogja, kita pakai Gunung Merapi sebagai patokan, karena orang Jogja pasti tahu Gunung Merapi ada di arah mana. Kalau kita pakai kanan sama kiri, itu kan beda-beda sesuai dengan sekarang menghadap kemana,” ujarnya.

Beranjak dari topik yang informatif, kami sempat pula membicarakan tanaman pletekan yang memiliki buah berwarna coklat kering yang dapat meletup ketika terkena air. Tanaman yang cukup membawa kembali ke kenangan masa kecil bagi beberapa dari kami. Beberapa lainnya justru baru mengenal saat itu.

Selain obrolan-obrolan tadi, kami juga beberapa kali mengobrol dengan orang lokal yang menceritakan tentang daerahnya. Sempat salah satu warga memberitahu bahwa daerahnya dulu pernah menjadi gerbang masuk Keraton Solo. 

“Bisa buat jadi narasumber pun juga dia kan saksi gitu. Dia yang lebih tahu perubahan yang terjadi di situ dan dia yang paling berhak bercerita soal kampungnya, alih alih kami yang menceritakan kampung dia. Jadi ya sebisa mungkin kalau ada warga lokal akan selalu kami ajak atau kami yang diajak,” jelas Risna mengenai agenda jalan-jalan mereka yang lebih menyenangkan ketika ada orang lokal yang ikut bergabung.

Saya pun banyak berbincang dengan beberapa orang dalam rombongan. Ada yang satu kampus dengan saya, ada yang menyempatkan waktunya dari luar kota untuk agenda Gang-gangan hari itu, serta panitia Patjar Merah yang ikut mendampingi kami. Topiknya pun beragam, entah itu yang berkaitan dengan perjalanan kami maupun yang sifatnya lebih pribadi.

Tidak hanya berhenti untuk beristirahat dan mengobrol, kami juga sempat mencicipi makanan yang cukup terkenal di Gajahan. Crepes Gajahan dan Sosis Solo. Makanan ringan yang cukup membangkitkan energi kami untuk lanjut berjalan. Tak terasa, jam sudah menunjukkan waktu menjelang maghrib, sehingga kami memutuskan untuk memotong rute. Hari itu kami menempuh perjalanan hingga 6900 meter. Entah mau disebut sebagai perjalanan yang jauh atau tidak, yang pasti saya sudah cukup puas dengan tangkapan Gajahan di dalam  memori baru tentangnya.

Terbentuknya Gang-gangan

Shinta Dewi dan Anisa Sari Asih memiliki satu hobi sederhana, jalan-jalan sambil mengabadikan momen. Kerap kali mereka membagikan potret-potret ketika main ke Jogja di instagram story. Tak cukup puas dengan pengarsipan yang berakhir pribadi setelah 24 jam, mereka akhirnya membuka sebuah akun baru, khusus sebagai arsip main.

Arsip yang mereka miliki seakan membuka ingatan di masa lalu ketika kembali ke tempat yang sama, dengan lukisan tempat yang berbeda. Sebut saja rumah-rumah cantik yang baru satu atau dua bulan yang lalu mereka lewati, tiba-tiba sudah berubah menjadi mini market. Sepele, tetapi cukup menyentil ingatan mereka kala itu.

“Sebenarnya perubahan itu nggak selalu hitungannya 50 tahun yang lalu atau waktu zaman kerajaan atau zaman penjajahan gitu, kayak sebenarnya di era sosmed kayak sekarang itu kita nggak nyadar kalau kita banyak menangkap, tapi tuh sebenarnya yang kita tangkap itu belum tentu di satu bulan ke depan itu masih ada gitu, memang secepat itu,” ucap Shinta.

Risna Anggaresa yang ikut bergabung setelah lama dibujuk oleh kedua temannya, menuturkan, “Ya udahlah, sesuatu yang terlihat main-main ini siapa tau bisa jadi sesuatu yang menarik,” Pada tahun 2021, terbentuklah akun Gang-gangan yang datang dengan visi misi yang terus berkembang untuk mengarsipkan berbagai tempat yang dilewati ketika jalan-jalan.

Dengan banyaknya orang dengan hobi yang sama, Gang-gangan mulai membuka ruang untuk jalan-jalan bersama. Pada akhirnya, akun yang awalnya sebagai arsip main Shinta dan kawan-kawan, kini berubah menjadi galeri bagi siapa saja yang hendak membagikan potret di sekitar tempat tinggalnya. Pun dengan berbagai cerita yang mereka punya.

“Nah kita tuh pengennya memang ini jadi aktivitas kolektif, makanya kita tuh sebenarnya jarang banget memunculkan wajah kita di Instagram Gang-gangan, kebanyakan tuh ya udah cerita teman teman karena menurut kita sebenarnya itu aktivitas yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Jadi akun ini sebenarnya punya semua orang,” terang Shinta.

Dinamika Berjalan di Gang

Gang-gangan tidak mendefinisikan dirinya sebagai sebuah komunitas walking tour. Meskipun begitu, perspektif orang yang beragam membuat mereka kini lebih berhati-hati dalam membuka penelusuran bersama para peminatnya. Tak lagi hanya sekadar main, tetapi mereka juga perlu survei sebelum membawa rombongan. Bagaimanapun, orang-orang di setiap gang yang mereka lewati, belum tentu terbuka dengan kegiatan mereka.

Pernah Gang-gangan dianggap sebagai sebuah “wisata kemiskinan”, meskipun kenyataannya gang yang mereka lewati merupakan kawasan elit. Shinta mengungkapkan, “Mereka memarjinalkan bahwa semua orang yang  di gang itu miskin dan kumuh, padahal sebenernya kalau masuk ke gang kalian bahkan melihat masih ada kamar mandi komunal, masih ada tanaman obat, bahkan warganya mandiri,” 

Risna juga bercerita bahwa salah satu temannya sempat harus berkali-kali survei di salah satu kampung di tempat tinggalnya karena merasa keberadaan mereka mungkin saja kurang diterima. Pandangan orang awam akan jauh dengan pandangan orang-orang yang ikut jalan bersama Gang-gangan. Namun, akhirnya mereka menyesuaikan diri. Membenahi mana saja yang perlu dibenahi.

“Sekarang kami cukup membatasi diri, jadi kami lebih sering kalau di Jogja tuh di kampung-kampung yang minimal ada temanku,” ujar Risna. Tak berhenti disitu, Gang-gangan juga semakin berhati-hati dalam memilah tangkapan kamera yang akan dijadikan konten di Instagram. Pada akhirnya Gang-gangan meneruskan peribahasa, “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.”

Harapan Kecil Gang-Gangan

Jalan kaki menjadi aktivitas yang mudah untuk dilakukan banyak orang, sehingga tanpa Gang-gangan diharapkan kegiatan tersebut dapat terus berjalan. Tak dapat dipungkiri, kita pasti jarang memperhatikan tempat-tempat yang sangat dekat dengan tempat tinggal kita. Bahkan justru orang jauh yang malah meliriknya sebagai tempat yang unik dan patut untuk diperhatikan.

Pengalaman saya berjalan bersama Gang-gangan hari itu sesederhana saya menikmati jalan kaki dan lebih peka terhadap sekitar. Gang-gangan bisa menjadi sebuah ruang untuk berbagi cerita di setiap sudut gang yang dilewati. Perjalanan hari itu ternyata menjadi penelusuran terbuka terakhir Gang-gangan di tahun ini. Selain karena alasan kesibukan masing-masing dari pemegang akun, Gang-gangan juga hendak memusatkan diri pada tujuan pengarsipan. 

“Kita akhirnya akan menguatkan si arsip itu. Jadi kita akan mengunjungi foto-foto kami yang dari awal, kita mau ke titik itu lagi, membandingkan keadaan berubah atau enggak. Nanti tugasnya jalan kaki ke gang-gang biar temen-temen lainnya,” tutup Shinta

Bagi kamu yang hobinya jalan kaki dan dokumentasi, bagikan ceritamu di Gang-gangan bersama teman-teman di gang tempat tinggalmu. Siapa tahu, dalam beberapa bulan kedepan, kamu bisa melihat perubahan kondisi tempat yang dulu kamu lewati. 

 

Penulis : Alifia Nur Aziza

Editor : Diah Puspaningrum