Foto Ilustrasi: Panji Satrio/LPM Kentingan

Banyak KAM(M)I di Kampus Kita

 

Oleh: Irfan Sholeh Fauzi

 

Seorang mahasiswa marah-marah. Ujungnya, KAMMI mengakui keterlibatan mereka di Pemilu UNS.

 

MULANYA, GELARAN Debat Calon Presiden-Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS 2017 berlangsung biasa-biasa saja. Ada dua pasangan calon (paslon) yang berdebat, ada akhi wa ukhti pendukung masing-masing paslon, dan seperti biasa, ada masjid Nurul Huda di dekat perhelatan debat.

 

Jumat sore itu, 6 Oktober 2017, disaksikan jemaat Tuhan yang lalu lalang memburu pahala, seorang lelaki gondrong maju meraih pengeras suara. Ia bersiap berkoar dalam sesi tanya jawab debat yang mungkin sudah dinantinya sejak lama.

 

Lelaki gondrong tadi adalah Ramaditya Rahardian. Mahasiswa S-1 transfer program studi Administrasi Negara, FISIP, UNS. Perlahan ia meraih pengeras suara. Lalu tanpa dosa melontarkan tuduhan.

 

“Semua pasangan calon dalam Pemilu kali ini tidak independen. Saya punya bukti bahwa pasangan calon berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus. Baik itu KAMMI [Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia], HMI [Himpunan Mahasiswa Islam], maupun GMNI [Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia],” tuduh Ramaditya.

 

Ia juga meminta semua paslon menandatangani pakta integritas. Pakta tersebut adalah bukti dan pengakuan bahwa mereka bukan anggota organisasi ekstra kampus. Sontak, sore itu pentas debat jadi tak biasa lagi.

 

Capres nomor urut dua yang maju lewat jalur independen, Aldhi Ardiansyah, mengawali jawaban secara normatif. Baru setelah itu mengaku kalau sempat terjun di salah satu organisasi ekstra. “Dulu memang saya ikut KAMMI.” Kini, ia mengaku sudah bukan bagian dari mereka. Wapresnya, Ramzy Aprialzy, juga mengaku independen.

 

Giliran capres nomor urut satu, Gilang Ridho Ananda, yang meraih pengeras suara. Katanya, ia bukan pengurus organisasi ekstra. Hanya anggota. Tapi Ramaditya berteriak keras dari belakang hadirin, kembali menantang mereka menandatangani pakta integritas.

 

Emosi Gilang sedikit terpancing. Dengan suara meninggi ia mengatakan dengan jelas. “Kami memang anggota KAMMI! Tapi kami tidak ditunjuk oleh KAMMI!” Wapresnya, Faith Silmi, berusaha menenangkan Gilang. Lalu Faith giliran berujar. “KPU [Komisi Pemilihan Umum] tidak pernah melarang mahasiswa yang menjadi anggota organisasi ekstra kampus untuk mengikuti Pemilu. KPU tidak pernah mempermasalahkan itu.”

 

Ramaditya kembali menantang semua paslon menandatangani pakta integritas. Gilang segera merebut pengeras suara dari Faith, lalu berujar lantang.

 

“Kami maju secara profesional, tanpa ada suruhan, tanpa ada dukungan dari KAMMI. Bahkan kami menolak pernyataan sikap dari KAMMI yang mendukung kami.”

 

Faith menanggapi. “Kalau hari ini teman-teman tidak mau mencoblos kami karena kami anak KAMMI, silakan!”

 

Dan yang terjadi terjadilah. Faith memang menyilakan “teman-teman” tak usah mencoblosnya. Tapi 65,88 persen suara Pemilu UNS 2017, berhasil mengantar Gilang-Faith ke tampuk kekuasaan BEM UNS 2018.

 

Mahasiswa program studi lmu Komunikasi itu benar. KPU tidak pernah melarang anggota organisasi ekstra kampus mengikuti Pemilu. Tapi pernyataan Gilang ihwal tidak adanya penunjukan paslon dari KAMMI patut dipertanyakan. Pasalnya, Nurdin Hidayatullah, Ketua Komisariat KAMMI UNS periode 2016/2017, menyatakan adanya rapat internal KAMMI untuk menunjuk Gilang-Faith sebagai paslon capres-cawapres BEM UNS.

 

“Ya, dia dicalonkan dari KAMMI,” ungkap Nurdin saat diubungi via WhatsApp. Lebih lanjut, Nurdin mengatakan bahwa rapat untuk memajukan Gilang-Faith itu dihadiri pimpinan KAMMI.

 

Selain itu, anggota KAMMI yang maju sebagai capres-cawapres BEM bukan barang baru di UNS. Seturut ingatan Nurdin, setidaknya sedari 2015 KAMMI selalu menempati dua posisi sentral itu. Dan selama itu pula, kata Nurdin, selalu ada rapat internal KAMMI untuk menunjuk capres-cawapres BEM.

 

Bisa jadi, ini adalah ejawantah maksud Amin Sudarsono dalam Ijtihad Membangun Basis Gerakan (2010). Dalam buku yang disebut Ketua Umum KAMMI Pusat, Rijaul Imam sebagai “Risalah pergerakan KAMMI” itu, Amin menginstruksikan KAMMI untuk memainkan peran dalam politik kampus. “[KAMMI harus] mempertegas posisinya serta lebih cerdas memainkan perannya dalam hal keterlibatan pada tataran kebijakan kampus,” tulis Amin.

 

 

SAYA MENEMUI Arief Dharma di sekretariat KPU, di lantai dua gedung Porsima. Ketua KPU 2017 itu mengenakan jaket hitam yang senada dengan celananya. Di kanannya ada komputer jinjing. Untuk persiapan semisal ada data-data yang saya minta, katanya kelak.

 

Buku Pendidikan Agama Islam bersampul kuning-hijau tak jauh dari jangkauan. Dia tak mengatakan apa pun terkait buku itu. Memang tidak terlalu penting untuk dijelaskan ketimbang dua kantong kresek penuh berisi rambutan. “Ya, ini sambil dimakan.” Berkat langgam suaranya, saya jadi teringat Aa Gym si pendakwah Firman Tuhan.

 

Arief mengamini pernyataan Faith. KPU tidak pernah melarang anggota organisasi ekstra mengikuti Pemilu. “Yang jelas kita sesuai UU [Undang-Undang] dari DEMA,” tegasnya.

 

Tahun ini DEMA memang merevisi UU Pemilu 2016. Untuk persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pemilu yang sudah direvisi, hanya ada syarat tambahan surat keterangan sehat dari dokter. Selebihnya sama. Dan memang tidak menyoal organisasi ekstra.

 

Meski UU DEMA tidak melarang, ada Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Nomor 26 Tahun 2002 yang menyoal pelarangan organisasi ekstra masuk kampus. Pelarangan ini dimaksudkan agar suasana kampus tetap kondusif dan jauh dari benturan kepentingan-kepentingan politik.

 

Juga Peraturan Rektor Nomor 828 Tahun 2007 tentang Tata Tertib Kehidupan  Mahasiswa. Di situ, mahasiswa dilarang menjadikan kampus sebagai ajang pertarungan kelompok, kepentingan politik, juga kepentingan kelompok lainnya.

 

Saya meminta tanggapan Arief terkait SK Dirjen Dikti dan Peraturan Rektor ini. Bagaimana KPU, selain sesuai dengan UU DEMA, juga menjaga agar SK Dikti dan Peraturan Rektor tersebut tidak kecolongan. Bisa jadi partai mahasiswa serta capres-cawapres ditunggangi kelompok tertentu.

 

“Mas Dharma pernah membaca [SK Dikti 2002, red],” katanya. “Kalau implementasi di kampus jelas. Mahasiswa harus terbebas dari politik praktis.”

 

Arief masih melanjutkan jawaban. “Terkait kegiatan di kampus, Mas Dharma juga paham. Jadi, [organisasi ekstra] tidak bisa menyelenggarakan kegiatan di kampus.”

 

Di akhir, dia menegaskan. “Amanah tidak salah memilih pundak. Harusnya orang tersebutlah yang memiliki totalitas, dedikasi yang tinggi. Intinya beramanah dan bertanggung jawab.” Saya makin teringat Aa Gym.

 

Terkait SK Dikti dan Pertaturan Rektor termaksud, respon Roki Hanif, Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), lain lagi. Baginya terlalu naif menyatakan kampus harus steril dari ajang pertarungan politik praktis. Di mana pun di Indonesia, menurutnya, kampus pasti jadi ajang pertarungan politik praktis.

 

Sudah pula menjadi rahasia umum kalau ideologi organisasi ekstra yang berkuasa membawa corak yang mendominasi organisasi intra. Ia mengataka kalau tidak ada organisasi ekstra, organisasi intra malah akan mati.  “[Kalau tidak ada organisasi ekstra], itu kepentingan apa yang dibawa coba? Enggak ada corongnya dari luar.”

 

Sebelum pertanyaan itu dilontarkan, Roki sudah membuat perngakuan. “Saya kader dari KAMMI.”

 

“Lalu kepentingannya mau dibawa ke mana?” Tanya saya penasaran.

 

“Kalau mau dibawa ke mana kepentingannya ehm.. ya kurang tahu juga,” jawab lelaki yang sempat aktif di BEM FK selama dua tahun ini.

 

Roki juga mengenal Arief. Keduanya bertemu di Daurah Marhalah, salah satu agenda kaderisasi KAMMI pada 2016 silam. “Secara personal sudah kenal [Arief Dharma] dari lama. Ya itu enaknya.”

 

Terkait keterlibatan anggota organisasi ekstra dalam pemilu, Roki mengamini hal ini. Kata Roki, tahun lalu masing-masing calon didukung organisasi ekstra. Capres-cawapres usungan Partai Kemaki, Wildan Wahyu Nugroho-Mohamad Iqbal didukung KAMMI. Usungan Partai Daun Muda, Putra Ardi-Govinda Pramudya Tama didukung Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tahun ini pun demikian. paslon satu, didukung KAMMI. Paslon dua, menurut Roki, didukung PMII dan GMNI.

 

Melalui pesan singkat dari Lisa Elfana, ketua GMNI, yang tersebar di media sosial. Disana, GMNI secara tegas menyatakan sikap dukungan terhadap pasangan calon nomor urut dua saat itu.

 

“Dengan ini kami menyatakan dukungan, pasangan calon nomor 2 yaitu, calon presiden: M. Aldhi Adriansyah – Fakultas Hukum 2014, calon wakil presiden: Ramzy Aprialzy – Fakultas Teknik 2015”

 

 

GILANG-FAITH  bersumpah dengan nama Tuhan. Di dalam kampanye dialogis di FISIP, mereka sempat tidak mengakui kalau mereka anggota organisasi ekstra. Alibinya, salah menangkap maksud pertanyaan. Baru kemudian dalam akun Instagram @1senyumkita Gilang-Faith menerbitkan klarifikasi. “kami ‘hanya’ sebagai anggota KAMMI,” begitu kata mereka.

 

Tapi Arief, meski tidak eksplisit mengatakan “tidak,” terkesan mengelak ketika ditanya keikutsertaannya di organisasi ekstra. Apa mengikuti organisasi ekstra dan terlibat dalam perpolitikan kampus merupakan aib?

 

Sigid Tri Handoko, ketua DEMA UNS, pasti akan buru-buru membantah dugaan itu. “Mau ikut organisasi ekstra atau tidak, sebenarnya tidak melanggar apapun dalam pemilu.” Sekali lagi, Faith “benar.”

 

Karena kalau ini aib, akan banyak anggota BEM dan DEMA yang menanggungnya. Termasuk Sigid yang merupakan anggota KAMMI. Pelarangan organisasi ekstra, menurut Sigid, justru akan membatasi kebebasan berorganisasi. “Malah membatasi teman-teman yang pengin ber-organisasi lebih,” katanya.

Saya teringat petikan wawancara Ulil Absar dengan tirto.id. Kepada Sigid, saya kemudian menanyakan apakah sikap KAMMI dan PMII yang selalu berseberangan ini bertaut dengan hubungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Nahdlatul Ulama (NU).

 

Menurutnya bukan demikian. “Wajar konflik dengan teman-teman [organisasi ekstra lain, red] yang ingin berkuasa,” ujarnya. “Tapi coba di universitas lain. Yang memegang jabatan struktural anak-anak GMNI, PMII sama KAMMI jadi satu.” Tak jelas universitas apa yang dimaksud Sigid.

 

Perebutan kuasa organisasi intra oleh organisasi ekstra juga diamini Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Darsono. Jika hal ini dibiarkan, ungkap Darsono, akan ada risiko konflik horizontal antar mahasiswa. “Pasti ada risiko itu, maka kami berusaha menghindarkan risiko itu,” ujarnya.

 

September 2017 lalu, Darsono menyebut ada pertemuan antara rektorat dan organisasi ekstra. Pertemuan itu jelas bukan tanpa sebab. Rektorat telah memindai adanya hegemoni dari pihak tertentu, dan kekhawatiran organisasi intra dikooptasi dan disusupi kepentingan-kepentingan organisasi ekstra. “Itu juga enggak sehat kan ya?” tanyanya retorik. “Maka harus ada ekualitas, supaya bareng-bareng. Itu spiritnya.”

 

Sekira satu bulan selepas pertemuan September, Pemilu UNS digelar. Ketua DEMA. Ketua Panwaslu. Ketua KPU. Capres-Cawapres terpilih. Semua berasal dari organisasi ekstra yang sama. Soal ini, Darsono hanya berkomentar singkat. “Saya kira harus diperbaiki ke depan.”

 

Ramaditya yang marah-marah di debat capres-cawapres, akhirnya cuma menemui kesal. Ia gagal mengulang kesuksesan pada 2015. Saat itu, Ramaditya masih mahasiswa Universitas Padjajaran. Ia lalu bertingkah serupa. Berambisi melepas keterlibatan organisasi ekstra kampus dalam perpolitikan mahasiswa.

 

Tahun depan Ramaditya (harusnya) sudah lulus. Debat capres-cawapres BEM UNS selanjutnya, mungkin jadi biasa-biasa saja. Ada dua pasangan calon (paslon) yang berdebat, ada akhi wa ukhti pendukung masing-masing paslon, dan seperti biasa, ada masjid Nurul Huda di dekat perhelatan debat. Semuanya disaksikan Tuhan yang diminta pahalanya oleh jemaat yang lalu lalang.[]

 

Edisi Khusus III/Desember/2017 Organisasi Ekstra Kampus (Belum) Mampus

Editorial   : Seruan Aksi untuk Fahri

Laporan 1 : Organisasi Ekstra Kampus Enggan Mampus

Laporan 2 : Banyak KAM(M)I di Kampus Kita

Laporan 3:  “Kalau Mau Jadi Rektor, Masuk HMI Saja!”

Opini        : Masuk Itu Enak

Opini        : Mahasiswa-mahasiswi Kurang Apresiasi