Teriring doa untuk light blue jacket yang kemarin berangkat ke ibu kota. Melihat perjuangan mereka memperjuangkan nasib Uamg Kuliah Tunggal (UKT), di sini saya ingin bercerita sedikit tentang balada UKT mahasiswa UNS. Yang tidak lain adalah teman saya sendiri, satu jurusan, dan satu angkatan. Sebuah cerita nyata, apa adanya, dan bukan fiktif belaka.
Kamis malam, saya mengantar teman saya ke kosnya untuk mengambil uang receh sebagai syarat dalam acara Penerimaan Beasiswa Bank Indonesia 2016 esok pagi, yang nantinya akan ditukarkan dengan uang baru. Niatnya sih cuma mengantar. Tapi yang namanya anak kos kalau sudah ketemu dengan sesama anak kos, ujung-ujungnya ngobrol panjang dulu. Saya lupa bagaimana prolog pembicaraannya hingga kami sampai ke pembicaraan tentang UKT. Teman saya ini punya teman yang kurang beruntung, sebut saja namanya Cinta. Bapaknya Cinta ini hanya seorang penjual angkringan kecil. Sedangkan Ibunya hanya ibu rumah tangga. Cinta masih punya saudara yang juga masih sekolah (saya lupa berapa jumlah saudaranya). Setiap waktunya bayar UKT, Cinta selalu menangguhkan pembayaran, kenapa? Belum ada duit!. Akhirnya, setiap kali waktunya bayar UKT, Ibunya Cinta harus meminjam uang ke RW setempat. Itu pun hanya mendapatkan uang sekitar tiga juta, sisanya sebesar Rp 250.000, Cinta harus mencari sendiri. Pernah teman yang tadi saya antar, diminta uang oleh Cinta, “Kamu ada uang Rp 200.000 enggak?” Karena teman saya juga mahasiswa yang UKT-nya juga setinggi angkasa, ia hanya menjawab, “Maaf Cin, kalau Rp 100.000 ada, tapi kalau Rp 200.000 enggak ada.” Entah Cinta jadi meminjam atau tidak, teman saya tadi tidak menceritakannya.
Masih sampai di sini, sudah sesak dada saya. Teman saya menambahkan, setiap hari Cinta berjualan gorengan di fakultas atau dititipkan di kantin, ya semacam tahu bakso atau pisang coklat. Setiap hari lembar demi lembar hasil jualan, Cinta kumpulkan demi menyambung kuliahnya dan untuk membeli buku-buku “anti begal,” karena saking tebalnya. Untuk menyiasatinya, ia harus rela mengerjakan terlebih dahulu sebelum teman-temannya mengerjakan, karena itu adalah buku pinjaman atau kalau memang harus fotocopy, Cinta adalah orang terakhir yang memesan, karena banyaknya pertimbangan. Dulu, selepas SMA, sebenarnya Cinta ingin langsung bekerja. Namun, hati kecilnya berontak. “Aku tidak boleh terus-terusan begini. Aku harus kuliah. Aku harus jadi sarjana. Aku ingin keluargaku jadi lebih baik.”
Sekarang, aku tahu dan aku sadar mengapa teman-teman saya mau turun ke jalan, panas-panasan bahkan sampai “Gruduk Jakarta.” Saya baru ngeh, ternyata memang ada mahasiswa yang benar benar tercekik karena UKT yang menjulang tinggi. Ada orang tua teman saya yang setiap semesternya harus mengeluarkan minimal 15 – 20 juta untuk membayar kuliah anaknya. Jika orang tuanya mampu sih, fine fine aja. Tapi yang saya temui kemarin adalah teman saya sendiri dan mereka cerita tentang kondisi keluarga mereka. Nyesek dengernya. Jika saja semuanya bersikap masa bodoh, bagaimana mereka bisa kuliah dengan tenang jika UKT terus terbayang-bayang. Besar harapan saya, tuntutan-tuntutan yang disampaikan benar-benar direspon dan ditindaklanjuti. Agar teman-teman yang kurang beruntung juga mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Besar harapan kami, pemerintah mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Serta menelurkan keputusan yang tidak untuk kepentingan mereka semata, tetapi benar-benar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat Indonesia!
Nadifa Salsabila Nizar. Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS.