Pertunjukan The First Chamber of Dance Quartet memesonakan mata pemuda Ahmad Wahib. Gerakan-gerakannya yang halus nan lembut, musik klasik yang mengalun menggairahkan, tarian balet yang mengesankan, terlebih dia yang membawa imajinasi Wahib pada seseorang yang pernah singgah dalam hidup dan hatinya. “Seorang penarinya yang bernama Janice Groman mirip benar rupanya dengan seseorang yang pernah kucintai,” tulis Wahib pada 2 Juni 1969 (2013: 212).
Delapan bulan kemudian, 8 Februari 1970, pada sebuah malam yang senyap tanpa gairah, lelaki yang begitu terpesona oleh pertunjukan balet seniman-seniman Amerika itu menulis dengan sendu:
F. Sisca… maafkan aku kurang jantan. Aku tak pandai menebak dan tidak sungguh-sungguh menebak hati manusia walaupun aku ingin menebak dan tepat pula. Aku tahu setelah semuanya terlambat dan setelah aku lumpuh merasa tidak bisa berbuat… Tapi aku berjanji, suatu waktu kelak, bila aku telah mampu berdiri sendiri sebagai manusia utuh, aku akan datang menjenguk dalam suatu kunjungan yang telanjang dari seorang manusia (Wahib, 2013: 328).
Betapa manis sekaligus menyesakkan kata-kata yang keluar dari hati seorang Ahmad Wahib, lelaki yang telah menguras hampir seluruh tenaga, pikiran dan jiwanya untuk Islam, soal-soal kemasyarakatan, kebangsaan, dan Tuhan itu ketika berhadapan dengan cinta. Aku tak dapat menahan senyum, merasakan ikut miris, bahkan sendu ketika sampai pada lembar-lembar terakhir buku Pergolakan Pemikiran Islam. Ternyata ia pun tak berdaya menyoal asmara.
Aku pun tergelitik untuk bertanya-tanya: pergolakan asmara macam apa yang dialami oleh seorang Wahib? Bagaimana ia memikirkan, kemudian memutuskan apa yang akan terjadi pada jalan cintanya? Tentu kita tak dapat mengharapkancerita semacam roman picisandari seorang aktivis dengan latar sosio-kultural yang menarik ini. Tahun-tahun yang dihabiskannya di pesantren dan Asrama Mahasiswa Realino Yogyakarta, juga lingkup pergaulannya yang luas mulai dari tokoh agama (Islam maupun non-Islam), ormas Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), juga Partai Sosialis Indonesia (PSI) sangat memungkinkannya menjalin hubungan dengan orang-orang yang sangat berbeda dengannya, termasuk dengan yang berbeda agama.
Sayangnya, dengan amat sedikitnya data yang dapat diperoleh dari buku Pergolakan Pemikiran Islam, kita tak tahu dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi dengan kisah percintaan Wahib. Dengan luputnya H.A. Mukti Ali dalam pengantar yang ditulisnya untuk catatan harian Wahib ini,serta tak adanya testimoni orang-orang dekat Wahib mengenai tutur-tindaknya dalam kehidupan sehari-hari layaknya untuk Soe Hok-Gie dalam Soe Hok-Gie…Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (2009), saat ini kita hanya bisa sampai pada dugaan-dugaan, mengapa, atau apa yang sebenarnya bergolak dalam pikiran Wahib tentang kehidupan cintanya?
Untuk menelusuri jejak cinta pemuda Ahmad Wahib, kita dapat memulai dengan pertanyaan: siapakah perempuan yang mirip dengan Janice Groman, penari balet yang di usia mudanya itu mengingatkan Wahib pada sebuah lukisan Picasso? Siapakah sebenarnya F. Sisca? Namanya jelas tidak Islami… nama Katolik. Aku hanya menebak-nebak, dan ada kemungkinan tebakan ini tepat, bahwa perempuan mirip Janice Groman dan atau F. Sisca, dari latar waktu ketika Wahib masih hidup, deskripsi wajah, terutama namanya, adalah perempuan yang tidak berkeyakinan sama dengannya. Apakah ini berarti Wahib pernah menjalin cinta beda agama? Dengan latar belakang pergaulan di lingkungan Asrama Mahasiswa Realino dan lingkungan Yogyakarta yang sangat heterogen, susah untuk tidak membenarkan dugaan ini. Wahib pernah mengalami pergolakan asmara beda agama. Dan bagaimana pergolakan hati dan pikiran Wahib, terkait dengan pemikiran Islam, toleransi, kebebasan berpikir dan berprinsip, saat dihadapakan dengan pergolakan asmara beda agama? Ini pertanyaan yang sering luput dikaji dari sosok Wahib.
Lalu, apa yang terjadi pada kisah percintaan antara dua manusia yang berbeda agama zaman sekarang? Bagaimana bahasan persoalan asmara beda agama ini kemudian menjadi penting dalam kaitannya dengan merawat toleransi atas kemajemukan sehari-hari, dan lebih jauh, merintis kembali kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia yang kita kehendaki penuh cinta kasih? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan kita jawab nanti, seiring kita menilik kembali masa lalu sejenak, menurut sejarah, supaya tak salah arah.
Perbedaan agama hanyalah salah satu fragmen kecil yang menyusun bangunan sejarah panjang percintaan dua manusia yang berbeda (rasatau etnis, agama) yang sampai saat ini belum bisa dikatakan menemui titik temu. Dan sebagaimana Wahib yang akhirnya harus melepas perempuan mirip Janice Groman dan atau F. Sisca ini, begitu pula dengan para pendahulunya yang hidup pada masa jauh sebelum negara ini merdeka. Setidaknya, sejak zaman kolonial perkawinan campuran bukanlah perkara yang mudah untuk diniscayakan selesai.
Gagalnya Toleransi Cinta
Penduduk Indonesia yang sangat beragam ini mempunyai kisah pergolakan asmara yang panjang, yang masih samar-samar kita dapatkan kisahnya sampai hari ini. Kita mungkin bisa memulai dari zaman pertemuan penduduk Indonesia dengan kolonialisme Belanda, yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial budaya di Indonesia, khususnya melalui kehadiran negara modern dan undang-undang perkawinan yang sudah dibuat sejak zaman kolonialisme Belanda, atau saat keindonesiaan mulai membentuk menjadi negara modern.
Terlepas dari praanggapan nilai universalisme Islam atas manusia yang menguasai wilayah-wilayah di Indonesia sebelum kolonialisme Eropa, kisah asmara penduduk Indonesia barangkali mulanya dibatasi oleh etnis atau ras, disebabkan oleh prasangka rasial yang melingkupi penduduk kolonial Belanda di Hindia pada abad ke-20. Prasangka rasial ini, tentu saja, terkait juga dengan bagaimana struktur dominasi kekuasaan harus dikendalikan oleh penguasa kolonial. “Bagaimanapun juga, orang Eropa seharusnya berdiri di puncak hierarki biologi spesies dan harus dilindungi dari percampuran dengan, atau pencemaran oleh, ras-ras inferior,” kata Danilyn Rutherford, dalam desertasi yang tak diterbitkan oleh Jurusan Antropologi Universitas Cornell, 1995, dengan judul European Identity, the Idea of Colonization, and New Guinea as Empty Space (Gouda, 2007: 273). Idiom ras inferior ini sudah akrab dalam kehidupan kita, sampai hari ini. Pengukuhan kekuasaan yang menempatkan orang di atas semua ras ini adalah kebijakan pasti meski tidak tertulis dalam undang-undang. Dan dari kebijakan inilah persoalan asmara kolonialisme mendapatkan pijakannya.
Untuk memberikan ilustrasi yang dekat dengan kita, hal ini dapat dilihat dalam novel karangan Abdoel Moeis, Salah Asuhan (1928). Hanafi, lelaki pribumi asal Solok, Sumatra Barat, mati-matian mendapatkan nama Cristiaan Han dari besluit pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya diakui haknya sebagaimana bangsa Eropa agar pantas bersanding dengan Corrie, kekasihnya. Sayang, perkawinannya dengan perempuan itu pun akhirnya kandas karena “hanya seorang dua saja di antara bangsa Eropa yang menyatakan tak ada keberatannya tentang kawin campuran itu” (Moeis, 1995: 219). Besluit pemerintah tak mempan menembus kuasa budaya puncak hierarki biologi spesies. Dan bagi bangsanya sendiri, “meskipun tidak menghinakan, tapi mereka itu [warga pribumi] pun rata-rata tidak membenarkannya, disebutkannya sebagai kesalahan yang amat besar”. Pernikahan Hanafi dan Corrie, karena berbeda ras dan terlepas dari kepentingan adat, adalah kesalahan atau bahkan dosa yang amat besar bagi budaya asmara masyarakat pribumi dan terutama orang Eropa.
Bagi perempuan Belanda pun, dengan menikahi lelaki pribumi, itu berarti ia telah “mempertaruhkan nilai-nilai tinggi mereka sebagai perempuan Eropa” (Gouda, 2007: 298). Perempuan Belanda diperlukan untuk senantiasa menempati tempatnya sama seperti halnya boneka cantik yang menjadi pajangan di sebuah toko, memperlihatkan keunggulan moral (biologis) bangsa kulit putih Belanda dalam aspek kehidupan sehari-hari. Maria Duchâteau yang menikah secara Islam dengan Sutan Sjahrir dipandang melanggar visualitas moral saat berjalan-jalan dengan suaminya di kota Medan pada 1932. Mereka tidak bisa menerima hal ini, maka Maria Duchâteau dan Sutan Sjahrir dipisahkan secara paksa, Maria Duchâteau dikirim pihak berwajib kembali ke Belanda hanya dalam waktu lima minggu setelah pernikahan mereka. Dan seorang janda berkebangsaan Belanda,Everdina Broering, yang menikah dengan Dr. Soetomo bahkan dikucilkan dari pergaulan sesama bangsa Eropa karena menikah dengan orang pribumi Indonesia.
Meskipun begitu, “beberapa penduduk Belanda berpendapat bahwa orang Eropa di wilayah khatulistiwa harus menikah dengan orang pribumi, sehingga memberikan sumbangan bagi dunia ras campuran Jawa” (Gouda, 2007: 269). Hal ini dikaitkan dengan anggapan bahwa seks antara seorang lelaki dari ras yang “lebih tinggi” dengan perempuan dari ras “lebih rendah”, terkadang dapat melahirkan anak yang lebih superior dari ibunya. Faktor biologis inilah yang menyebabkan kisah asmara perempuan pribumi dengan lelaki Eropa tampak lebih mudah daripada sebaliknya. Meski perempuan Belanda maupun pribumi hampir tidak memiliki hak dalam hal perkawinan dan perceraian, setidaknya, merupakan suatu kehormatan bagi perempuan pribumi jika ia diambil sebagai ‘nyai’ oleh orang Eropa dan telah sama klasifikasinya dengan bangsa Eropa karena suaminya—tentu dengan segala resiko penghakiman secara moral. Namun, bagi penduduk pribumi lain, sebagaimana Hanafi, atau Dr. Abdul Rivai, atau Sutan Sjahrir, mereka dipandang “tidak suci, tercemar hubungannya dengan orang kulit putih kafir, pemakan babi dan peminum jenever [atau gin]” (Gouda, 2007: 298).
Anak yang dilahirkan oleh perempuan-perempuan pribumi sebagai hasil hubungannya dengan lelaki Eropa, sebagaimana anggapan di atas, memiliki derajat yang lebih tinggi daripada ibunya, yang ber-ras pribumi rendah secara biologis. Pun, meski dalam lingkup keluarga perkawinan campur ini dapat berlangsung sentosa, hukum kolonial tetap tidak ramah terhadap pelaku perkawinan campuran. Tragisme seperti ini terlihat dengan jelas dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Nyai Ontosoroh, gundik dari lelaki Eropa bernama Robert Mellema, tidak diakui hubungan darahnya dengan Annelies, putri kandungnya sendiri, dalam persidangan atas kasus percintaan Annelies dengan seorang bangsawan pribumi bernama Mingke. Tragisme yang berkelindan dengan tragisme yang lain: tercerainya dua sejoli yang saling mencintai, Mingke dan Annelies tak dapat bersatu dikarenakan “kesombongan [ras] bangsa”, demikian istilah yang digunakan oleh ayah Corrie dalam menjelaskan hal perkawinan campuran pada anaknya.
Di negeri Belanda, kisah asmara orang-orang Indonesia pun sama pahitnya. Pada kurun 1600 sampai 1950, orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda merupakan “pasangan yang diinginkan oleh gadis-gadis Belanda.” Tapi “jarang yang berakhir bahagia” (Poeze, 2008: 38). Abdul Rivai, seorang dokter dan wartawan Indonesia pertama yang melanjutkan pendidikan dokternya di Belanda pada 1899, dicap “kafir” dan diputuskan hubungan kekeluargaannya oleh orangtuanya. Kesalahannya, ia jatuh hati pada seorang janda muda Belanda, yang tentu saja beda agama, yang kemudian dinikahinya. Bagi penduduk pribumi, menikah dengan orang Eropa berarti telah menodai kemurnian agama dan diri sebagai orang Jawa. Wong jowo sing kelangan Jawane—orang Jawa yang kehilangan Jawanya.
Di sini kita melihat bagaimana kuasa pengetahuan superioritas berbasis biologis yang dipraktikkan orang Belanda—barangkali juga didukung oleh keunggulan ilmu pengetahuan dan militer mereka—mengarah pada pemurnian ras manusia, pendasaran yang sekarang sudah tercabik-cabik sejak kolonialisme runtuh pada pertengahan abad ke-20. Toleransi dalam asmara, bahkan sesuci apa pun cinta itu hadir, harus menghadapi pemurnian ras yang keras dan kejam.
Namun, selain pemurnian ras yang dibawa oleh kolonialisme, kita menghadapi semacam ekslusivisme etnis, untuk tidak mengatakan rasisme berbasis etnis, yang juga menjalar dalam kehidupan berasmara di Indonesia sebelum kemerdekaan. Seringkali, meski tidak jamak, kita mendengarkan kisah asmara yang dihalangi akibat perbedaan suku bangsa berbasis etnis. Namun, perlahan kuasa etnis dalam asmara semakin kalah dan memudar, terutama sejak Indonesia berdiri tegak. Kekalahan kuasa etnis sebagai penentu jalan cinta seseorang terekam dengan apik dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920), dan semakin kalah sejak para pemuda Indonesia memproklamirkan Sumpah Pemuda pada 1928. Para pemuda angkatan 28 ini menanggalkan kesukuan mereka dan berani menikah dengan pasangan yang mereka cintai betapa pun berbeda etnis atau suku. Kesetiaan berbasis etnisitas beralih pada kesetiaan berbasis kebangsaan yang modern bernama Indonesia. Ini seperti yang terjadi pada kakek bintang film Dian Sastrowardoyo, Sunario Sastrowardoyo (penasehat Kongres Sumpah Pemuda II) yang beragama Islam akhirnya menikah dengan Dina Maranta Pantauw, perempuan Minahasa beragama Protestan yang ia temui pada saat Kongres Pemuda II 1928. Perkawinan ini awet, mereka hanya terpisahkan oleh maut (Adam, 2008: 41). Kekuatan rasa persatuan berbasis kebangsaan modern yang diciptakan pada masa itu ternyata mampu mengalahkan tidak hanya kuasa etnis atau ras, namun juga agama. Namun, selayaknya yin dan yang, kisah cinta tapi beda dengan akhir bahagia pun selalu berdampingan dengan kisah-kisah serupa yang berakhir sebaliknya.
Kisah pergolakan percintaan yang dibatasi oleh perbedaan agama masih terus berlanjut sampai sekarang, disebabkan oleh motif kepentingan—baik dari pemuka agama mau pun dalam soal etnis—yang berkembang sejak kemerdekaan Indonesia. Ideologi pun akhirnya menjadi konflik yang paling kentara. Semangat pemurnian—entah itu berbasis ras atau etnis, kelas sosial, dan agama—menjadi kuasa ampuh yang terus menghantui toleransi dalam asmara.
Dalam isu pergolakan asmara paling mutakhir di Indonesia, toleransi terhadap percintaan dalam segala jenis perbedaan tampak masih menyedihkan. Film layar lebar menjadi fiksi keras yang dapat dikatakan paling jujur dalam mengungkapkan realita cinta yang mau tak mau harus dihadapi pemuda-pemudi masa kini. Kita tentu tak dapat melupakan kisah kasih antara Fahri (Fedi Nuril), Aisha (Rianti Cartwright), dan Maria (Carissa Puteri) yang mengharukan dalam Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008). Fahri, mahasiswa Islam yang taat dari Indonesia yang kuliah di Al-Azhar itu, harus menghadapi pergolakan asmara dengan dua perempuan yang saling bertolak belakang tapi mempunyai kesamaan yang memesonakan: yang seorang adalah muslimah yang kaffah dan yang lain perempuan penganut Kristen Koptik yang taat. Film-film dengan tema serupa yang diproduksi setelahnya pun menandakan semakin pentingnya isu percintaan dalam keragaman ini: cin(T)a (Sammaria Simanjuntak, 2009), May (Viva Westi, 2008), 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (Benni Setiawan, 2010), “?” Tanda Tanya (Hanung Bramantyo, 2011), dan Cinta Tapi Beda (Hanung Bramantyo & Hestu Saputra, 2012).
Produksi film-film dengan tema yang hampir selalu sama, yakni cinta, perbedaan agama, dan teologi bertuhan, tak mungkin lepas dari masalah krusial yang sesungguhnya sedang melanda negeri ini: krisis kerukunan dalam kehidupan keberagaman dan keberagamaan. Penutupan banyak gereja secara paksa, pelarangan berbagai aliran, cap sesat pada kegiatan keagamaan di luar enam yang diresmikan, dan diskriminasi dan kekerasan yang menimpa kaum-kaum minoritas menjadi bukti yang tak bisa lagi ditutup-tutupi. Dan dari tragedi itu, pencintalah yang menjadi korban paling mengharukan bahkan sering mengalami tragisme berkepanjangan, khususnya perempuan tentu saja.
Sayangnya, meski telah berhasil menjalankan fungsinya sebagai media propaganda atas isu-isu penting keberagaman, semua film itu hampir selalu berakhir dengan apa yang semestinya memang terjadi: setelah krisis asmara beda agama tidak bisa didamaikan, salah satu tokoh utama akan memeluk salah satu agama (kebanyakan Islam), atau kedua pencinta itu berpisah “dalam bahagia” dengan pilihan Tuhannya masing-masing. Cinta kasih kalah, toleransi tak terjadi. Belum ada akhir cerita yang dengan gamblang memperlihatkan kesungguhan toleransi terhadap cinta beda agama: kedua pasangan itu direstui oleh segenap semesta di sekelilingnya untuk menjalin asmara meski keyakinan mereka tetap berbeda.
Keadaan sosio-kultural di Indonesia yang hingga kini masih cukup erat memegang nilai-nilai agama dan adat istiadat menyebabkan persoalan cinta beda agama tak pernah menjadi persoalan yang sederhana. Tanpa perbedaan pun, cinta tidak sekalipun menjadi entitas yang merdeka. Asmara adalah selalu minoritas paling lemah, yang hanya hendak dijalani berdua, tak hendak mendua, apalagi melibatkan satu komunitas iman atau etnis, yang semakin menciutkan kuasanya dalam kehidupan masyarakat. Ketika dua orang menikah, maka sesungguhnya perkawinan tak hanya terjadi di antara dua orang yang berkasih-cinta itu, melainkan juga antara dua keluarga besar dengan segala kemajemukan yang ada di dalamnya: adat-istiadat keluarga, sistem sosial, tata krama, kepentingan ekonomi, sosial, atau politik… Dan apabila perkawinan ini terjadi di antara dua kekasih yang berbeda agama, persoalan bisa menjadi lebih keruh dan tajam. Tak hanya kedua keluarga, perkawinan beda agama juga bakal melibatkan aturan pemerintah Indonesia yang “melarang” perkawinan beda agama dan, tentu saja, hal yang lebih besar dan (semacam) tak bisa diganggu gugat lagi: Tuhan. Ya, seakan melibatkan perbedaan Tuhan yang telah menciptakan manusia di alam semesta ini.
Membayangkan persoalan pelik yang harus dihadapi di jalan cinta beda agama, kurasa kita bisa memahami perasaan Wahib ketika menulis kalimat-kalimat perpisahan kepada F. Sisca, perempuan yang menyisakan kesan begitu mendalam di hatinya itu. Aku bayangkan tangannya bergetar, hatinya terharu dan teriris, dan mungkin matanya menitikkan air mata ketika ujung pena yang dipegangnya menuliskan kalimat pilu: “Teruslah melangkah dan aku pun akan berusaha untuk melangkah walau ke arah lain” (Wahib, 2013: 328). Asmara beda agama harus berakahir menuju dua arah yang berbeda, betapapun bisa jadi asmara mereka bersatu dalam hati.
Namun, alangkah tidak bijaksana jika kita menilai Wahib sehipokrit itu. Keputusan yang datang dari seorang pemikir seperti dirinya tentu telah melalui berbagai pertimbangan yang tidak mudah. Ia pastilah memikirkan dampak yang akan terjadi, jika percintaannya dengan F. Sisca diteruskan, pada keluarga santrinya, dan keluarga si perempuan—yang dapat diprediksi adalah penganut Katolik yang taat itu. Lingkungan sosio-kultural mereka pun hampir dapat dipastikan tak akan tinggal diam karena wacana perkawinan beda agama saat itu belum berakhir pada muara toleransi asmara beda agama. Belum lagi konsekuensi lebih besar yang harus dihadapi oleh Wahib dengan dirinya sebagai aktivis HMI dan sedang berikhtiar dalam pemikiran pembaharuan Islam. Alih-alih cuma sesat, vonis kafir tak mungkin tidak akan mampir padanya jika menjalin cinta dengan perempuan yang berbeda agama. Situasi sosial-politik yang tengah berkecamuk pada tahun-tahun itu pun tak dapat dia abaikan begitu saja. Ah, simalakama.
Maka, meski Janice Groman seketika mengingatkan Wahib akan perempuan itu, meski dalam catatan-catatan lain ia menulis tak sanggup melupakannya, meski ia takut kehilangan dia yang dicintai, toh pada akhirnya salah satu pemuda paling liberal dan begitu toleran pada masanya itu pun, dengan menyesal harus kita akui, tak boleh bertoleransi dalam cinta. Pesan toleransi dengan cinta yang ingin disampaikan pada film-film bertema keberagaman di atas pun masih menemui kegagalan. Persoalan supersensitif mengenai cinta dan agama seringkali tak kunjung selesai karena orang-orang Indonesia cenderung tidak mau menghadapi persoalan ini sebagaimana adanya. Hampir selalu tinggal dua pilihan yang harus dihadapi oleh para pencinta yang terperangkap dalam asmara beda agama: cinta atau Tuhan?
Padahal, terlepas dari cinta atau Tuhan yang senantiasa dijadikan pilihan paripurna, dalam Islam sendiri, pernikahan campur ini diperbolehkan jika dilakukan oleh lelaki muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Hal ini tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5. Nabi Muhammad pun pernah menikah dengan perempuan berasal dari Mesir yang beragama Nasrani, Maria Qibtiyah. Dan hampir semua para sahabat Nabi Muhammad memperbolehkan pernikahan beda agama. Namun, fatwa MUI pada 1 Juni 1980, keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1989, dan instruksi yang disebarluaskannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 yang menjadi pedoman pengadilan agama di seluruh Indonesia, melarang dengan keras dilakukannya pernikahan campuran. Peraturan yang bertentangan dengan Q.S. Al-Maidah ayat 5 dan yang mengabaikan sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri pernah melakukan perkawinan campuran ini, dan realitas pernikahan beda agama yang sangat mencolok dalam kehidupan asmara para sahabatnya, dilatar belakangi oleh gerakan misi dan penginjilan di akhir tahun 1960-an, pascaperistiwa G30S yang semakin progresif dan meningkatkan ketegangan antara Islam-Kristen yang telah bermula sejak tahun 1950-an. Motif perebutan umat dan ketakutan akan kuantitas pemeluk yang semakin berkurang di kalangan Islam berdampak pada gejala kristenfobia yang menjangkiti kaum elit Islam. Akibatnya, lagi-lagi para pencintalah yang harus menanggung duka nestapa. “Demi kepentingan masyarakat Islam (mashâlih al-mursalah)” (Suhadi, 2007: 130) dan adanya realitas bahwa seringkali si suami yang beragama Islamlah yang justru berpindah agama Kristen maupun Katolik, para pencinta ini dilarang hak-hak asasi mencintanya.
Meski pada akhirnya fatwa MUI tersebut tidak terlalu dihiraukan dan jumlah perkawinan campur semakin bertambah, sampai saat ini, perdebatan dan polemik pernikahan beda agama terus berlanjut, dan jarang sekali menyinggung pernikahan beda agama yang dijalani Nabi Muhammad. Juga, jarang sekali melibatkan pendapat para sahabat Muhammad yang sangat jelas setuju terhadap pernikahan beda agama.
Pun, yang sering diperdebatkan dalam nikah beda agama bukanlah persoalan nikah itu sendiri, melainkan di luar kesahan nikahnya, terutama masalahdampak yang ditimbulkannya, seperti konversi iman yang ditakutkan oleh elit Islam sampai saat ini. Dalam pernikahan yang dilakukan oleh Muhammad dan Maria Qibtiyah, tak ada indikasi bahwa Nabi memaksakan Maria untuk berpindah agama terlebih dahulu sebelum melakukan akad nikah, meski pada akhirnya Maria Qibtiyah memeluk Islam, dan ini merupakan persoalan yang bukan lagi tentang nikahnya. Pernikahan itu sendiri sah, meski dilakukan dalam keadaan kedua pasangan berlainan keyakinan. Lagipula, dalam akad nikah Islam, tidak ada kata-kata yang harus menyebut Allah atau agama yang dianutnya untuk menjadikan pernikahan itu sah. Dengan demikian, sebenarnya cinta dan Tuhan bukanlah sebuah vonis mati bagi para pencinta. Mereka dapat hidup berdampingan dalam perdamaian, lalu memungkinkan toleransi cinta ada. Inilah yang diam-diam sedang terjadi pada generasi pencinta masa kini.
Percobaan Toleransi Cinta
Pikiran terbuka—dan cenderung liberal—yang semakin berkembang dalam dinamika masyarakat Indonesia yang kini tengah menuju ke arah kosmopolitan-urban-heterogen seiring dengan meningkatnya pendidikan dan ekonomi ini membawa kita pada satu kenyataan pasti tentang cinta beda agama di Indonesia: jumlahnya akan semakin bertambah, dan kita akan tak punya ruang lagi untuk berpura-pura menutup mata bahwa persoalan ini tak ada, atau akan dianggap sebagai gejolak anak muda yang belum dewasa.
Di sela-sela adegan film Cin(T)a, terselip empat scene kisah nyata tentang cinta beda agama. Salah satunya adalah pasangan Kristen-Muslim yang telah menikah selama 23 tahun dan dikaruniai tiga orang putra. Dalam empat detik awal di scene sepanjang 18 detik itu, keluarga tersebut hanya mengucapkan satu kalimat pendek, “Terima kasih Tuhan atas cintanya!” Sisanya, mereka saling mencium dengan bahagia. Ini barangkali hanya dianggap cerita fiktif, tapi kita memang susah mendapatkan kisah-kisah asmara beda agama yang berhasil diekspos kepada public. Kita masih belum memberi ruang yang besar untuk kisah semacam ini. Kita masih takut pada keberhasilan asmara beda agama.
Melihat hal ini, maka sebenarnya perkawinan beda agama selalu mempunyai kesempatan untuk berakhir bahagia, penuh cinta kasih, toleransi sepenuh hati. Dalam sebuah perkawinan beda agama yang direstui, tanpa disadari, pembinaan toleransi antarumat beragama benar telah terjalin dalam lingkungan paling awal di mana seharusnya sikap toleransi itu ditanamkan: keluarga, meski tentu saja perkawinan beda agama bukanlah satu-satunya jalan. Anak-anak yang lahir dari sebuah perkawinan beda agama akan memahami konsep perbedaan sedari awal. Dan ketika bukan teori, melainkan pengalaman yang mengajarkan, suatu pelajaran akan lebih mudah dipahami dan diamalkan.
Biasanya, anak-anak yang lahir dari perkawinan beda agama akan dibebaskan oleh orang tuanya untuk mempelajari beberapa agama sebelum mereka mantap memilih salah satunya. “Dulu aku belajar Islam, Kristen, Hindu, sama Budha dulu sampai umur 17 tahun sebelum milih Kristen,” kata seorang teman—yang orang tuanya pasangan beda agama, dalam acara “Workshop Pers Kampus: Meliput Isu Keberagaman” yang kuikuti Juni 2014. Dan marilah kita berprasangka baik, bahwa agama yang dipilih setelah ia mempelajari yang beberapa, dalam usia yang tepat, adalah yang benar-benar bisa menunjukkan kebenaran yang dibenarkan pula oleh hatinya. Dengan demikian, kalimat yang menyatakan bahwa tingkat toleransi seseorang berbanding lurus dengan keberimanannya dapat kita percayai kebenarannya, karena memang tidak kita halangi perkembangannya.
Dari cermin sebuah keluarga yang dapat hidup bahagia dalam perbedaan agama, seseorang yang tengah bersinggungan dengan kisah yang sama, di manapun posisinya, akan dapat melihat bahwa dalam sebuah perbedaan paling krusial yang dapat terjadi di antara dua manusia—perbedaan keyakinan atas Tuhan—mereka tetap dapat hidup berdampingan dalam bahagia. Perasaan seperti ini akan mudah menular, dari pembicaraan dekat dua orang sahabat, media sosial, interaksi sosial dengan lingkungan sekitar, terus menular… Lalu kita pun dapat mengangankan indahnya masa depan toleransi keberagaman dalam keberagamaan di Indonesia terwujud: negeri ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia yang dapat dengan sepenuh hati mengetahui, memahami, menghargai—bertoleransi.
Barangkali beginilah caranya agar toleransi antarumat beragama di Indonesia dapat terjalin melalui jalan cinta beda agama. Meski ini tidak akan dapat dimaklumi oleh kultur Indonesia sebagai arus moral utama yang dibenarkan, perkawinan beda agama, dengan melihat dampak positif yang mungkin dapat ditimbulkannya, tentu saja dapat dimaklumi dengan catatan mereka yang melakukan perkawinan beda agama memang benar-benar jatuh cinta, tidak dengan latar belakang kepentingan yang lain. Dan sudah seharusnyalah kita dapat menerima pilihan para pencinta itu dengan hati yang terbuka dan lapang, karena sebagaimana yang diajarkan oleh semua agama dan kepercayaan, kita tidak punya hak secuil pun untuk menyakiti hati manusia.
Namun, mewujudkan kata-kata ke dalam tindakan nyata seringkali membutuhkan usaha yang maha berat. Ketika hati sudah menghayati betapa keduanya, iman dan toleransi, dapat bersandingan dalam kebahagiaan, adalah sejarah yang berlaku tak ramah, meniscayakan kegagalan toleransi cinta. Bagaimanapun, dalam kebanyakan kasus, cinta adalah minoritas yang sering mengalami tragisme yang paling tragis. Cinta sering cuma dirasakan satu orang, atau bertepuk sebelah tangan, beruntung yang berbalas. Juga mungkin yang terlibat cinta segitiga, segi empat, dan seterusnya! Betapa minoritasnya asmara! Dan yang membikin tragisme ini naif, rasa mencinta tak memperbolehkan keterlibatan banyak orang. Dalam cinta, manusia harus menanggung nasib masing-masing. Sungguh minoritas, betapapun boleh jadi semua orang merasakan cinta!
Ya, perkara cinta dan iman, bagaimanapun kedua hal ini dituliskan dengan berbagai cara dan kemungkinan niscayanya, tetap saja bukan merupakan sesuatu yang sederhana, sebagaimana mengejawantahkan setiap degup jantung dan wajah yang memerah tiba-tiba karena bertemu sang kekasih ke dalam kata-kata. Siapa yang berani menganggap cinta adalah mayoritas, bukan minoritas kerdil yang mendekam dalam hati? Di sini saya ingin kembali pada akar iman dan cinta.
Cinta dan Iman: Benih yang Sama
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi seraya berkata, “Ya Nabi, aku ingin masuk Islam. Tetapi berilah aku waktu satu minggu untuk memikirkannya.” Jawab Nabi, “Tidak. Kuberi kau waktu satu bulan.” Iman berkenaan dengan hati. Dan “hati manusia terletak jauh dalam dada dan sepenuhnya dalam kekuasaannya. Kita tak mungkin menarik sang hati tersebut ke luar untuk diukur dan diatur, karena bila sudah demikian, dia bukan lagi bernama hati. Dan agama [sebagai salah satu manifestasi dari iman] terletak di hati” kata Wahib dalam satu catatan penghayatan religiusnya (2013: 203). Oleh sebab itulah maka “iman adalah masalah yang sangat personal dan privat” (Soroush, 2002: 204) sampai Nabi memberikan waktu yang cukup panjang bagi orang itu untuk benar-benar merenungkan pilihan imannya, tanpa memaksakan apalagi menerornya.
Di dalam iman terdapat pedoman bagi manusia untuk menjalani hidup, bahkan yang diharap-harapkan dapat menerangi jalan di akhirat kelak. Diterimanya sebuah iman dalam diri seseorang adalah tidak ketika ia begitu saja mengatakan bahwa ia beriman, melainkan ketika hati telah dengan rela untuk menerima kebenaran menurut agama atau kepercayaan yang akan dianutnya. Iman yang berasal dari hati adalah iman yang ridha, hanif, dan iman seperti itulah yang menggerakkan tubuh untuk melaksanakan kegiatan keimanan dan membuat mereka “mengenal dirinya dan secara tegas mengatakan kepada teman perbincangannya, ‘Bagaimana kami bisa memaksa kalian, sedangkan kalian enggan?’” (Soroush, 2002: 206). Inilah yang memungkinkan sikap toleransi penuh kasih lahir.
“Toleransi adalah menyangkut kaum beriman, bukan keimanan,” kata pemikir kontemporer Iran Abdul Karim Soroush (2002: 201) dalam esai berjudul “Apakah Iman Bertentangan dengan Toleransi?” Kita mengapresiasi sebab-sebab di balik mengapa orang lain tidak memilih Islam sebagai agamanya, atau mengapa seseorang menerima atau menolak suatu pandangan yang ditawarkan kepadanya, bukan menerima kebenaran yang mereka yakini sebagai kebenaran yang juga kita yakini. Oleh karena itu, “toleransi agama tidak ada hubungannya dengan merelatifkan kebenaran, melepaskan iman, menghindari kepastian, dan berkehendak bebas, atau mempersamakan hal yang benar dengan hal yang salah [dengan keyakinannya]” (Soroush, 2002: 203).
Wahib pun mempunyai gagasan serupa dengan mendefinisikan toleransi beragama sebagai “a) menghormati sesama manusiadalam keseluruhan adanya. Setiap manusia lain harus dipandang dalam kemanusiaannya yang utuh; dan b) memandang kehidupan rohani orang lain sebagai hak pribadinya yang tidak dapat diganggu gugat atau dikendalikan dari luar” (Wahib, 2013: 179). Lalu, bagaimanakah toleransi jika berhadapan dengan cinta beda agama?
“Iman dan cinta berasal dari biji yang sama,” kata Soroush (2002: 204). Maka wajarlah bila kita melihat seorang beriman seperti seorang pencinta: kita melihat betapa wajah-wajah itu syahdu dalam ritual keagamaannya karena kecintaan mereka pada apa yang mereka imani. Cinta membuat pencinta merasakan sakit yang sama ketika musibah menimpa yang dicinta. “Cinta itu kudus dan syahdu. Penderitaan dan kesulitan yang dia alami kurasakan sebagai penderitaan dan kesulitanku sendiri,” kata Wahib (2013: 324).Maka, sebagaimana cinta dan iman yang lahir dari biji yang sama, yakni hati, tak akan mungkin seseorang yang benar-benar beriman dan mencintai sanggup membunuh salah satunya demi eksistensi yang lain. Begitulah bentuk toleransi ketika agama (atau Tuhan) dan cinta (dalam bentuk ikatan dua manusia) saling bersinggungan.
Cinta tidak menghendaki berpalingnya iman kecuali dengan kerelaan yang sempurna, begitu pula iman tak ingin cinta terampas haknya karena dirinya. Maka toleransi cinta beda agama seharusnya berarti merelakan iman yang berbeda dan cinta saling bersanding dengan penuh kedamaian.
Maka, benarlah jika banyak yang mengamini kredo Soe Hok-Gie (2008: 215) yang berbunyi demikian: “Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.” Cinta, dulu, kini dan selamanya, selalu berdiri di atas segalanya, khususnya bagi kalangan anak muda atau siapapun yang disintuh asmara. Ia mampu melampaui batas-batas agama, ras, etnis, golongan, mendamaikan segala perbedaan. Ia menjelma kekuatan yang lebih dari cukup untuk melawan segala hambatan, termasuk mendobrak tabu agama dan masyarakat, menjadikan cinta sebagai pemenang. “Cinta adalah pemberontakan, atau tidak sama sekali,” kata Albert Camus (2009: 443). Dan cinta, yang definisinya melampaui segala kata-kata bagi yang benar-benar mengalaminya, adalah wujud dari sebentuk rasa.
Akhirnya, bukanlah segudang teori pemikiran tentang toleransi yang dapat menjadikan seorang manusia Indonesia mempunyai rasa tepa selira, namun keberanian makhluk manusia untuk telanjang menghadapi perbedaan yang ada, seperti di hadapan yang dicintainya: penuh kesadaran, penuh kejujuran, ketulusan, penerimaan. Pada akhirnya, toleransi bukanlah pemikiran, melainkan tindakan penerimaan. Dan seperti yang dialami oleh para pencinta, tindakan penerimaan yang paling tulus, tanpa setitik pun prasangka, adalah cinta. Ketika kita menoleransi cinta, aku yakin, dalam waktu yang sama kita pun dengan sesungguh hati telah menoleransi segala jenis perbedaan. Ketika disapa oleh cinta yang sejati, sebagaimana saat manusia disentuh Tuhan dengan iman, seorang manusia pasti dapat bertoleransi tanpa kompromi. (Na’imatur Rofiqoh)
Esai ini berhasil menjuarai Sayembara Ahmad Wahib 2014.
Daftar Pustaka:
Adam, Asvi Warman. “Kebangsaan Sunario.” Tempo, 27 Oktober – 2 November 2008: 41.
Camus, Albert. Cinta dan Pemberontakan dalam A.M. Kirch. Anatomi Cinta: Risalah Jalan Cinta, Arti Cinta & Kekuatan Cinta. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
Gouda, Dr. Frances. Dutch Culture Overseas Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Jakarta: Serambi, 2007.
Hok-Gie, Soe. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, 2008.
Moeis, Abdoel. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Poeze, Harry A. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: KPG Bekerjasama dengan KITLV, 2008.
Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.
Suhadi. Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: LP3ES, 2013.