Menjadi seorang jurnalis televisi, apalagi seorang presenter berita nampaknya menjadi profesi idaman sebagian besar mahasiswa. Bisa jalan-jalan ke luar negeri, bertemu banyak tokoh nasional, dan menjadi populer di layar televisi menjadi sebuah iming-iming tersendiri. Namun, itu semua adalah hal-hal yang tampak di depan kamera. Bagaimana dengan hal-hal yang jarang kita amati?

Djati Darma misalnya, presenter berita SCTV ini pernah dinyatakan hilang selama 17 jam. Peristiwa tersebut terjadi kala ia bertugas meliput bencana tsunami di kepulauan Mentawai. Anehnya, ia sendiri – yang waktu itu bertugas bersama salah satu rekan juru kamera SCTV – tidak merasa hilang. Lain halnya dengan Senandung Nacita. Presenter berita yang terkenal cantik, ceria, dan supel ini sempat pingsan usai on air program berita Liputan 6 SCTV. Penyebabnya ternyata karena pencahayaan di dalam ruang studio yang sangat terang, sehingga membuat ia tak sadarkan diri. Presenter berita senior, Retno Pinasti tidak luput dari duka dunia jurnalisme televisi. Wanita yang pernah menjadi juara lomba membaca berita ketika duduk di bangku kuliah itu, sempat beberapa kali salah mengucapkan teks berita. Kalimat seekor beruang diucapkan menjadi seorang beruang, merupakan salah satu blunder yang ia buat.
Belum lagi jika wilayah liputan yang dituju merupakan daerah bencana atau daerah kerusuhan. Daerah bencana banjir, erupsi gunung berapi, tawuran pelajar, bahkan peperangan, menjadi medan yang cukup liar untuk jurnalis. Mungkin masih teringat peristiwa tenggelamnya KM Levina awal tahun 2007 lalu. Salah satu juru kamera SCTV, Muhammad Guntur, meninggal saat bertugas. Menurut keterangan rekannya, di saat-saat akhir Guntur bersikeras memegang kameranya yang berisi materi liputan. Kisah ini sekaligus menerangkan kepada kita bahwa semakin baik gambar didapat, semakin besar pula resiko yang harus ditanggung.
Itulah sekilas pengalaman yang dibagi oleh tiga presenter berita SCTV Djati Darma, Senandung Nacita, serta Retno Pinasti. Pastinya lebih banyak lagi pengalaman menarik dan berharga yang mereka bagi kepada para mahasiswa dalam SCTV Goes to Campus 2015, Rabu (25/3). “Siapa yang mau jadi presenter berita?” tanya Eno, panggilan Retno Pinasti kepada peserta talkshow. Kontan sebagian besar peserta yang berada di ruang auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengangkat tangan mereka. “Wah, kita banyak saingan nih kayaknya,” timpal Djati. Tetapi, usai mereka bertiga berbagi pengalaman mengenai hal-hal yang kurang mengenakkan, jumlah mahasiswa yang mengangkat tangan berkurang drastis. “Nggak papa, ngurang-ngurangin saingan,” ujar Djati sambil tersenyum riang.
Meski demikian, kerja seorang jurnalis televisi patut diacungi jempol. Tidak hanya presenter berita yang ada di depan kamera. Orang-orang di belakang layar yang jarang kita lihatpun, memiliki andil yang besar dalam jurnalisme pertelevisian. Para broadcaster ini memiliki andil yang tidak kecil terhadap tayangan berita yang sampai ke mata kita.
Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV, Nurjaman Mochtar mengutarakan tiga tugas seorang broadcaster. Melalui cuplikan tayangan kegiatan penyiaran yang cukup gaduh di belakang layar, tugas pertama seorang broadcaster coba diungkapkan Nurjaman. “Tugas pertama broadcaster adalah memanjangkan yang pendek dan memendekkan yang panjang,” kata Nurjaman. Ketika kata-kata drop telah keluar dan sampai di telinga presenter melalui earphone-nya,ini berarti durasi siaran telah habis. Namun materi yang harus dibawakan masih banyak. Sementara ketika kata-kata “terus” yang terdengar, presenter harus memutar otak karena materi berita yang telah habis, namun durasi siaran yang masih panjang. Inilah maksud dari memanjangkan yang pendek dan memendekkan yang panjang. “Jangan mikir yang lain-lain, ya,” tambah Nurjaman diiringi gelak tawa peserta.
Pernah menonton berbagai informasi disajikan menarik melalui ilustrasi grafik di sebuah tayangan berita? Studio yang seolah-olah terendam air saat menyiarkan berita banjir atau jalur penerbangan pesawat Air Asia yang seolah-olah muncul di layar televisi merupakan beberapa contohnya. “Tugas kedua broadcaster adalah menyederhanakan yang sulit,” kata Nurjaman. Ketika sebuah berita – terutama yang membutuhkan penalaran mendalam – hanya dibacakan oleh sang presenter, hal ini akan menyulitkan para pemirsa. Seorang broadcaster harus mampu menyederhanakan berbagai data yang ia peroleh agar mampu dipahami pemirsa.
Bagaimana bila seorang pemimpin tertinggi di negeri ini menangis? Tercatat Presiden SBY dan Jokowi pernah menangis ketika penayangan Liputan 6. Kenapa hal ini bisa terjadi? Inilah tugas ketiga seorang broadcaster. “Membuat menangis yang tidak menangis,” ujar Nurjaman mencoba mencairkan suasana. SBY menitihkan air mata kala Almarhumah Een, seorang difabel yang mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan mengunjungi kediaman presiden. Begitu pula ketika Een mengisi kuliah umum di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Para peserta kuliah umum, termasuk deretan profesor di kursi depan tak kuasa menahan air mata. Sementara Jokowi dibuat luluh ketika teman masa kecilnya didatangkan oleh tim Indonesia Baru. Teringat akan temannya yang selalu memberi boncengan sepeda untuk berangkat sekolah. Serta kehidupan Jokowi dulu yang berasal dari bantaran sungai di kota Solo. Melalui tayangan tersebut, Nurjaman sebenarnya ingin menyampaikan bahwa “membuat yang tidak menarik menjadi menarik” adalah tugas ketiga seorang broadcaster.
Meski terdengar memiliki tanggung jawab yang cukup besar, para mahasiswa nampaknya sangat antusias dengan dunia pertelevisian. SCTV Goes to Campus layaknya oase di tengah kehausan para mahasiswa akan pengetahuan tentang dunia broadcasting. Acara yang digelar pada tanggal 24-25 Maret 2015 tersebut memberikan coaching clinic terhadap berbagai bidang yang berkaitan dengan jurnalisme televisi. Sebut saja kelas public speaking, citizen journalism, dan beauty class. Terlebih lagi kompetisi presenter berita yang membawa Eri Dwi Cahyono, mahasiswa Fisip UNS, menjadi pemenang, menjadi wadah para calon presenter berita masa depan. Jadi, siapkah “Meraih Mimpi Dunia TV”? (Satya, Fika)