Tindakan represif aparat kepada warga pada penggusuran Kentingan Baru tahun 2018. Foto oleh: Jastrian Renskriyo

Mengapa Tindakan Represif Seolah Lebih Efektif dalam Penyelesaian Konflik Agraria?

Debu-debu material terombang-ambing tertiup udara panas berpacu dengan pekikan warga Kentingan Baru kala itu, 2018 silam. Satu persatu keluh bercampur peluh menetes beriringan dengan amarah dan tangis warga. Setiap kata yang terlontar menjatuhkan tanya yang menyembur segerombol orang berseragam di hadapan mereka. Mengapa aparat harus menghancurkan tempat tinggal kami? Haruskah kami diperlakukan seperti ini?

Sejauh mata memandang, konflik agraria bagaikan tak lengkap jika tidak diwarnai penggusuran secara represif. Akan ada babak di mana terjadi pertarungan hebat antara aparat keamanan dan warga. Entah dengan adu mulut saja atau sembari main tangan juga. Tindakan seperti ini membentuk pola yang bermuara pada satu tindakan yang sama: represif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), represif berarti menekan, mengekang, menahan, atau menindas. Entah akan dielak dengan cara apa, tindakan-tindakan yang dilakukan aparat menjadi wujud nyata dari apa yang dimaksud dengan represif itu sendiri.

Lantas, apakah tindakan-tindakan represif harus mewarnai penyelesaian konflik agraria di Indonesia?

Polemik Kentingan Baru Terpatri di Kota Surakarta

Meski dikenal begitu baik karena tempat wisata dan biaya hidup yang begitu murah, Kota Surakarta terselip kisah-kisah tak terjamah. Barangkali ada yang menganga mulutnya ketika mengetahui ternyata ada konflik agraria di tengah hangatnya Kota Surakarta. Layaknya duri pada sekuntum bunga yang indah, Kota Surakarta bak menyimpan luka di balik keindahannya.

Konflik agraria yang berlokasi di dekat Universitas Sebelas Maret Surakarta ini merupakan persoalan lama yang tak kunjung menemui titik terang. Jamin bersama warga lainnya pada tahun 2018 harus terpaksa menerima penggusuran meski mengantongi izin dari Slamet Suryanto yang saat itu menjabat untuk bertempat tinggal di sana. Pada tahun 2004, Kentingan Baru bahkan sempat dijadikan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang mana berarti secara administratif sempat diakui oleh pemerintah.

 Namun, di tahun 2018, ratusan aparat datang secara tiba-tiba meratakan tanah Kentingan Baru. Sementara warga yang bertempat tinggal di sana diketahui mencapai ratusan Kartu Keluarga (KK). Proses penggusuran pun diwarnai protes dari warga hingga terjadi tindakan-tindakan represif dari aparat kepada warga. Aksi dorong mendorong hingga pukulan-pukulan terjadi kala itu. 

Dalam beberapa kesempatan, seperti audiensi, pertemuan dengan kawan persma, hingga unjuk rasa, banyak warga yang menceritakan bagaimana dunia mereka berakhir hari itu. Rumah-rumah mereka rata dengan tanah, barang-barang semua habis tak bersisa. Reruntuhan bangunan yang masih tertinggal menjadi saksi bisu peristiwa penggusuran lahan yang dihuni ratusan orang itu. Isak tangis mereka yang memenuhi ruang audiensi menjadi saksi nyata bahwa trauma hari itu masih tertanam dalam ingatan mereka.

Warga menggelar tempat ibadah sementara di jalan K.H Masykur, depan kampung Kentingan Baru, Rabu (19/12/2018). – Septia Rani/LPM Kentingan

Ketika Perintah Jadi Tameng Menindas yang Lemah

Seorang aparat kepolisian tampak menyeret tubuh pria dengan menarik bajunya secara paksa. (Diunggah pada 6 Desember 2018 oleh akun IG Kabar Djoeang)

Konflik agraria mengakar pada permasalahan-permasalahan yang lahir dari ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber agraria yang tidak lain adalah Sumber Daya Alam (SDA). Melansir dari laporan litbang Kompas, angka kasus konflik agraria semakin bertambah dari tahun 2021. Dilaporkan, pada tahun 2021 kasus konflik agraria di Indonesia mencapai 207 kasus. Jumlah tersebut terus meningkat di mana di tahun 2022 menjadi sebanyak 212 kasus, tahun 2023 sebanyak 241 kasus, dan di tahun 2024 melonjak menjadi 295 kasus. 

Berita-berita mengenai pertikaian yang terjadi antara aparat dan masyarakat telah banyak mencuat. Seolah langkah-langkah represif lebih aktif ketimbang langkah-langkah kooperatif. Upaya penertiban yang dilakukan pada akhirnya akan melahirkan kericuhan yang merugikan masyarakat. Seperti yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng) pada tahun 2023, kericuhan berlangsung hingga terjadi penembakan yang menewaskan seorang warga dan melukai dua lainnya. Hal yang sama juga sempat terjadi pada konflik Wadas, di mana seorang warga berusia 21 tahun ditembak mati oleh polisi, sementara puluhan lainnya ditangkap. Proyek Rempang Eco City juga tak absen pada tindakan-tindakan represif. Bahkan, Kentingan Baru pun adalah satu dari sekian banyaknya konflik agraria yang diwarnai tindakan represif.

Perjalanan konflik agraria biasanya melibatkan banyak peraturan hingga menjadi sebuah konflik yang kompleks. Hal yang menjadi ironi adalah masyarakat selalu menjadi yang paling lemah dibandingkan dengan pemerintah maupun pihak swasta. Kasus seperti ini biasanya akan melibatkan aparat dalam penyelesaiannya. Sayangnya, keterlibatan aparat negara dalam kasus seperti ini biasanya lebih berpihak pada yang berkuasa. Aparat akan menodongkan tameng ke arah masyarakat dan berdiri melindungi kepentingan pemerintah maupun swasta. Sementara masyarakat yang lemah hanya bisa berdiri di kaki sendiri melawan aparat yang berdiri di atas surat perintah.

Aparat memegang kerah warga dalam penggusuran Kentingan Baru tahun 2018. Foto oleh: Jastrian Renskriyo.

Sampai Kapan Represif Menjadi Sesuatu yang Normal?

Dalam pergerakan aparat, saya tentu tidak akan mengelak jika itu telah dilakukan atas surat perintah bertanda tangan resmi. Beberapa masyarakat yang tak melawan barangkali sudah dibekali uang kompensasi. Namun, apakah rasa resah yang dirasakan masyarakat atas ketidakpastian hidupnya adalah hal yang tidak pantas dihadiahi rasa aman? Apakah tindakan represif adalah solusi yang paling efektif dalam upaya penyelesaian konflik agraria? 

Barangkali kita semua lupa bahwa sebagai manusia juga cenderung menerapkan teori territoriality untuk bertahan hidup. Perilaku mempertahankan suatu wilayah (teritori) dari gangguan atau ancaman individu lain tentu menjadi suatu yang wajar. Apabila tanah yang menjadi saksi hidup kita tiba-tiba dirampas, menjadi suatu hal yang pasti jika kita bergerak untuk mempertahankan. Sebagai masyarakat yang tinggal dan menetap lama di sana, siapa yang rela jika tiba-tiba diminta angkat kaki?

Jika boleh memberikan pendapat, aparat dan pemerintah perlu memiliki bekal yang cukup untuk menghidupkan rasa aman bagi masyarakat yang terdampak. Lebih-lebih dibekali rasa sabar dan pengelolaan emosi  yang maksimal agar tak tersulut amarah sekecil apapun. Barang tentu kita sebagai manusia memang memiliki batas kesabarannya masing-masing. Namun, sudah menjadi risiko yang harus ditanggung aparat untuk memiliki kemampuan sabar yang lebih dari itu. Bukankah salah satu tugas yang diemban adalah mengayomi masyarakat?

Rasa aman yang lahir dari tindakan kooperatif memberikan suasana yang jauh lebih positif dibandingkan tindakan represif. Sekecil apapun tindakan represif yang diterima akan menjadi pukulan keras yang hidup dalam sela-sela ingatan warga Kentingan Baru dan masyarakat terdampak konflik agraria lainnya. 

 

Penulis: Rohmah Tri Nosita

Editor: Tiara Nur A’isah