Menemukan Indonesia dalam Film India

Judul Buku     : Aku & Film India Melawan Dunia (Buku I dan II)

Penulis            : Mahfud Ikhwan

Penerbit         : EA Books

Tahun Terbit : 2017

Tebal              : viii + 150 hlm

 

 

“Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak diakui, dikonsumsi, tapi dianggap terlalu kotor untuk diperbincangkan, ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang” (Buku I: 4).

 

Aku dan Film India

Nampaknya, Denys Lombard harus bangkit dari kuburnya dan merevisi buku ketiga Nusa Jawa: Silang Budaya yang ia tulis. Indianisasi – yang ia jlentrehkan di buku itu – memang terjadi di Jawa pada ratusan, bahkan seribuan tahun silam. Tapi ini abad 21. Lombard pasti menyesal tidak menyaksikan budaya India yang menghantam Hindia-Belanda Baru dengan sungguh istikamah.

 

Sebuah desa di pesisir utara Jawa bisa jadi sampel menarik. Pada awal 1990-an, sebuah serial India tayang di TVRI. Judulnya Hyder Ali. Berkisah tentang seorang raja muslim Mysore melawan pemerintah kolonial Inggris.

 

Sejak saat itu, seisi desa menemukan harta karun budaya pop bernama India. Vijay Avtara – bocah ingusan penggembala kambing yang kemudian (terpaksa?) masuk pesantren– jadi salah satu pengais harta itu. “Saya beli kartu pos banyak-banyak,… dan meminta diputarkan lagu India kesukaan saya yang ditulis dengan ejaan yang hampir pasti ngawur karena tak benar-benar tahu” (Buku I: 77).

Suatu hari, nama Vijay Avtara akhirnya disabdakan penyiar Radio Ronggohadi. Lagu India permintaannya diputarkan. Saat itu juga Vijay sudah sah jadi jamaah Bollywood sedunia.

 

Vijay Avtara sangat mengagumi sosok Inspektur Vijay. Polisi yang “kumal sekaligus tampan, pemurah tapi juga pemarah, jagoan namun gampang menangis, kejam terhadap penjahat namun sangat memuliakan ibu, pacar, dan adik perempuannya” (ibid.: 114). Bagi Vijay, Inspektur Vijay adalah “gambaran sejati tentang India.”

 

Gambaran-gambaran semacam ini, yang tersaji utamanya lewat film dan musik India, memang jadi sajian yang keterlaluan populer di dekade 1995 hingga 2000-an awal. “Pada suatu masa, jadwal tayang total pemutaran film India di televisi bahkan bisa mencapai 5 sampai 6 kali dalam sehari semalam” (ibid.: 7). Meski sempat terkatung-katung dihantam sinema mandarin, Hollywood, dan belakangan Hallyu, film (dan serial) India masih saja jadi pilihan utama keluarga Indonesia yang didominasi kelas menengah.

 

Namun, awal 2000-an justru menjadi titik pesakitan Vijay Avtara dalam “mengibadahi” film India. Ia merantau ke Jogja, ke pesisir selatan. Kawasan urban di mana film-film picisan Hollywood lebih dikultuskan daripada sinema terlaknat berdurasi tiga jam yang dibumbui nyanyian dan tarian. Soal musik, jelas lirik Kla Project dan Dewa 19 lebih akrab terdengar daripada tarikan vokal Udit Narayan atau Kumar Sanu.

 

Ia berusaha menemukan film India ke rental-rental DVD, tapi hasilnya minim. Suatu saat Vijay menanyakan ke seorang penjaga rental DVD film, apakah mereka punya koleksi film India yang serius. “Mbak-mbak penjaga sembari tersenyum kecut (senyum kecut yang tak pernah akan saya lupakan!) balik bertanya: ‘Apa ada film India yang bagus?’ “ (ibid.: 10).

 

Vijay misuh sejak dalam pikiran. Tapi, sakit hatinya dilampiaskan dengan cara yang lebih ngintelek. Sejak Desember 2011, Vijay menuliskan catatan-catatan ihwal film India. Esai-esai personal, resensi-resensi film, hingga analisis mendalam tentang film India, terhimpun di blognya, DushmanDuniyaKa. Nama ini diambil dari judul film yang rilis pada 1996 garapan sutradara ampuh India, Mehmood. Artinya: Sang Musuh Semesta.

 

Kumpulan tulisan di blognya lalu dibukukan dalam dua buku buku yang sebenarnya adalah satu kesatuan. Judulnya mencolok mata: Aku & Film India Melawan Dunia.

 

Benar. Vijay Avtara adalah Mahfud Ikhwan yang sudah menemukan (ke)India(an).

 

 

Film India dan Kita

Di Indonesia, film Bollywood lebih mudah ditemukan di layar kaca daripada layar bioskop. Tentunya, kalau mau menemukan film India berkualitas jempolan, kita harus mematikan televisi dan beralih ke Gus Google. Film-film macam Pather Pancali (1955), Salaam Bombay! (1988), Gandhi, My Father (2007), apalagi PK (2014), nyaris mustahil ditemui di layar kaca.

 

Padahal layar kaca Indonesia berkiblat pada India. Vice.com pernah merilis laporan soal pembuatan sinetron Indonesia. Seorang penulis naskah sinetron membuat pengakuan mencengangkan.

 

“PH [Production House] itu punya satu orang India yang kerjaannya nonton film India. Dan dari situ dia kayak bikin paling banyak cuma tiga baris kalimat untuk tiap scene. Dari situ kita bikin dialog lah” (Dilema Para Penulis ‘Pabrik Naskah’ Sinetron Indonesia, vice.com, 4 Januari 2017).

 

Sinetron Indonesia nyatanya mengikuti alur cerita arus utama di film-film India. Ini juga menjelaskan kenapa serial-serial India tetap eksis di jam-jam utama televisi kita. Sayangnya, Mahfud belum menyinggung serial India di layar kaca. Ia pecinta film India, tapi apakah Mahfud juga menyukai serial India?

 

Kedekatan sosiokultural Indonesia dan India menjadi salah satu alasan utama, kenapa buku tentang film India laik diberi tabik. Indonesia dan India sama-sama bekas negara jajahan. Penduduknya sama-sama fanatik kepada agama. Persoalan ekonomi yang dihadapi juga tidak jauh berbeda. Singkatan nama di olimpiade pun beda tipis: INA dan IND.

 

Namun industri film INA dan IND jelas berbeda. “Bollywood adalah sebuah senjata rahasia kebudayaan India, yang mampu berproduksi 5 kali jumlah film-film Hollywood – yang mengantarkan India ke dunia” (Kishore Mahbubani, 2011: 202).

 

Lantas, apakah dengan ini berarti semua film India bagus? Ini pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena jawabannya sudah terpampang jelas. Industri film India punya tiga ciri utama: padat karya, massal, dan lebih berorientasi domestik dibanding ekspor. “Dalam industri macam begitu, memproduksi sebanyak dan secepat mungkin jauh lebih utama dibanding memproduksi sebagus mungkin” (Buku I: 14). Tapi tetap saja, penonton INA memuja Bollywood, sementara penonton IND tidak memuja film kita.

 

Mahfud berulang kali menyinggung ketidakmampuan film kita dalam menyajikan hal-hal yang nyatanya bisa disajikan Bollywood. Dalam tulisan 3 Idiots dan Sebuah Pertanyaan misalnya, Mahfud mengritik film Indonesia bertema kemiskinan dan pendidikan yang belum bisa lepas dari dogma “kalau mau lepas dari kemiskinan, pendidikan jalan utamanya.” Sementara Rajkumar Hirani dengan 3 Idiots(2006)nya, menampar wajah pendidikan di India dengan pernyataan, “pendidikan kita hanya menghasilkan para penghafal dan penjilat.”

 

Ulasannya tentang film dan buku juga patut dibaca insan perfilman tanah air. Masalah terbesar dari para pembuat film tahun 1980-an, kata Mahfud, adalah hal-hal teknis. “Jadi, jika melihat film-film Sjuman Djaya, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Asrul Sani, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, kita mungkin menemukan editing yang payah, pencahayaan yang ceroboh, dan dubbing yang meleat-meleot” (Buku II: 43). Tapi nama-nama tadi adalah generasi pencerita yang ampuh.

 

Sementara generasi film Indonesia sesudah Kuldesak (1998) meracik hal-hal teknis dalam perfilman dengan sangat aduhai. Tapi dari segi cerita, kerutan dahi pasti keluar dari para penonton yang masih waras akalnya. “Dugaan saya, mungkin karena terlalu asyik dengan kameranya, mereka sedikit lupa untuk membaca” (ibid.:44).

 

Survei menarik bisa dilakukan. Coba saja tanya satu per satu kepada para sutradara Indonesia, buku apa yang terakhir mereka baca. Juga bagaimana cara mereka melakukan riset sebelum membuat film. Kalau terlalu rumit, daya baca mahasiswa jurusan Film, Penyiaran, dan Ilmu Komunikasidi Indonesia barangkali bisa jadi cerminannya. Kalau tidak kuat baca sastra dan filsafat, Aku & Film India Melawan Dunia bisa jadi langkah pertama untuk menemukan (ke)Indonesiaan(an) dalam sinema kita.

 

Seperti Vijay Avtara alias Mahfud Ikhwan yang sudah menemukan “gambaran sejati tentang India. ”Penonton film INA layak bertanya, kapan kami bisa menemukan“ gambaran sejati tentang Indonesia?”[]

 

 

 

[author title=”Satya Adhi” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/05/Satya-Adhi.jpg”]Mahasiswa yang masih (atau terpaksa) gemar berjalan kaki. Domisili maya: adhii.satya@gmail.com dan @pjalankaki[/author]