Lahir sebagai generasi yang tiba di zaman serba-cepat, serba-digital, dan serba-serbi lainnya yang terkesan memburu hidup untuk mencapai kata sempurna, The Art of The Good Life berhasil menjadi panduan untuk para individu agar lebih mengutamakan terma ketenteraman dengan harapan mampu menggapai fase bahagia yang kerap dipertanyakan. Sebuah seni yang dikemas oleh Rolf Dobelli dalam 52 taktik susah-susah-gampang ini sebetulnya ingin menyampaikan bahwa kunci utama dari seluruh ketenangan ada pada diri sendiri.
Dobelli tidak menyukai bacaan yang biasa-biasa saja. Setumpuk kata-kata bijak tanpa menghadirkan realita hanyalah omong kosong belaka. Percayalah, selama menikmati sajian perangkat mental ini, pembaca akan disodorkan banyak sekali pertanyaan membingungkan yang berakhir dengan tamparan—agar sadar bahwa hidup tidak mampu dilawan dengan terus terjebak dalam zona penuh kenyamanan. Kalau kamu terbiasa dengan konsep pengembangan diri yang dibalut oleh narasi penuh glorifikasi dan validasi, maka bersiaplah untuk dijejali cukup banyak konfrontasi oleh Dobelli.
Setiap esainya berdiri sendiri, tidak berkelanjutan, meskipun tetap ada beberapa bagian yang mengandung repetisi atau merujuk pada bab lainnya, tetapi mampu dipastikan bahwa tidak perlu tergesa dalam menyelesaikan keseluruhannya. Dobelli tidak merancang buku yang mampu disesap dalam sekali duduk. Saya menghabiskan lebih dari dua minggu untuk membaca, memahami, dan mencatat banyak poin penting untuk dimaknai lebih jauh. Belum lagi beberapa istilah maupun metafora luar yang apabila diterjemahkan ternyata cukup membuat kening mengernyit, terlebih karena tidak familiar dan berujung dengan pengulangan baca agar benar-benar mendapatkan intinya. Satu terminologi yang masih melekat hingga hari ini karena kerap disebut berkali-kali adalah ataraxia. Selamat menyelami isi dari The Art of The Good Life untuk mendapatkan artinya!
Buku ini tidak dirancang sebagai resep instan, apalagi guru, untuk mencapai segala bentuk kedamaian jiwa. Dobelli tidak menjanjikan apapun, begitu pula kumpulan narasi di sana. Sebaliknya, ia menyediakan bekal berupa kerangka berpikir bagi generasi ini untuk memandang dunia secara lebih objektif dengan diiringi langkah bijak dalam pengendalian diri hingga pengambilan keputusan. Perangkat intelektual, sebutan lain yang ia gunakan—dirasa jauh lebih dibutuhkan untuk hidup di abad ini.
Menyoroti taktik paling menarik, maka saya akan memilih bab ke-21 yang diperkenalkan dengan judul Bank Ingatan oleh Dobelli. Isinya lebih banyak berbicara perihal pengalaman, kenangan, dan (mungkin) beberapa pola pikir sebagian besar orang yang salah dalam mengartikan sebuah momen. Terkadang manusia terlalu gegabah untuk mengabadikan setiap detik seolah itu adalah hari terakhir kita menikmatinya hingga melupakan fakta bahwa hidup dengan momen-momen yang tidak terekam tetaplah menakjubkan. Penegasannya adalah: fokus pada masa kini, peristiwa yang dialami, seperti konsep mindfulness, daripada harus beringsut mengkhawatirkan masa depan.
Terlepas dari banyak pujian yang telah disematkan, The Art of The Good Life tetaplah sebuah buku peningkatan kualitas diri yang, lagi-lagi, berpijak pada prinsip dasar Stoikisme. Pembaruan yang dihidangkan tidaklah banyak, setidaknya mampu ditebak oleh para penggemar buku berjenis serupa, hanya saja Dobelli memang juara dalam membungkus tiap kosakata dengan tidak sederhana. Pendekatan yang dihadirkan pun terlalu berfokus pada sisi rasional tanpa aspek emosional.
Terakhir, buku ini masih dalam skala baik untuk mengantongi kategori self-improvement yang-layak-dibaca dengan konklusi aspeknya mengarah pada kutipan: kesuksesan batin sangatlah mampu diperoleh selama kita fokus pada semua yang mampu dikendalikan, bukan justru sebaliknya.
Penulis: Jasmine Aura Arinda
Editor : Salma Fitriya Nur Hanifah