Sebagaimana aku tidak memilih agama, aku pun tidak pernah memilih menjadi perempuan. Ia ada begitu saja tanpa bisa kutolak. Inilah barang kali yang disebut’ “kodrat”, sesuatu yang ada di dunia tanpa kita bisa menawarnya. –Neng Dara Affiah, 2008.
Perempuan dalam penciptaannya tak pernah bisa memberikan interupsi pada Tuhan untuk memilih berganti menjadi laki-laki. Pun saat perempuan tercipta untuk pertama kali yang konon katanya berasal dari tulang rusuk Adam , tidak bisa mengusulkan diambil dari jantung atau pun darah saja. Semua adalah “kodrat” sang Khaliq. Begitu ujar Neng Dara Affiah dan saya pun sependapat dengannya. Jelas!
Dalam perbincangan mengenai perempuan , masyarakat kita sering keliru menempatkan perempuan dalam seks dan jender. Sejatinya seks dan jender itu sangat berbeda jauh. Seks berbicara tentang perempuan secara fakta biologis, realitas objektif berkenaan dengan organ seksual dan fungsi biologis (perempuan dapat hamil, melahirkan, menyusui). Sedang jender adalah konstruksi sosial-budaya, realitas subyektif, sesuai lokasi ruang dan waktu ( perempuan itu suka boneka, warna pink, lemah, emosional, pasif, dan menerima perlakun “di-“ ).
Anak perempuan dididik dan dibentuk menjadi “perempuan”. Boleh menangis-merengek, diharuskan sopan dan lemah-lembut, dll. Anak laki-laki dikonstruksi menjadi “laki-laki”. Tidak boleh menangis, harus tegar dan kuat. Sementara baik anak perempuan dan laki-laki tidak boleh menjadi selain laki-laki dan perempuan. Tidak boleh “berubah” menjadi minoritas seksual, misalnya.
Padahal baik minoritas seksual, perempuan dan laki-laki memiliki potensi sama. Untuk dapat menangis dan tegar di satu sisi. Lemah dan kuat bersamaan. Rasional dan emosional. Konstruksi yang melahirkan stereotipi merupakan fakta sosial yang memenjarakan, melahirkan bias dan ketidakadilan.
Bias dan ketidakadilan dari konstruksi perempuan di struktur patiarki melahirkan pemberian tugas dan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mempunyai hak dan kewajiban diruang publik sedang perempuan mendapat jatah hak dan kewajibna di ruang domestik. Ruang domestik “diejawantahkan” sebagai inferior. Akibat budaya tersebut semua kebijakan ,tata politik tidak mengapresiasi kerja ruang domestik.
Komodifikasi Tubuh Perempuan
Media massa tidak luput menganak-tirikan perempuan. Demi kepentingan bisnis, media memungkinkan untuk menjadi ajang display perempuan yang dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan besar meraih pangsa pasar. Perempuan divisualisasikan ke dalam bentuk fisik yang sarat dengan tubuhnya; kulit putih, seksi, dada montok. Wajah cantik putih sebagai komoditas produk kecantikan sedang peran jender perempuan sebagai ibu rumah tangga sebagai komoditas produk susu bayi atau alat-alat rumah tangga. Tubuh dan konstruksi jender dijadikan sebagai komoditas, dicipta dalam supra-realitas, hiper-realitas, untuk menerkam konsumen.
Pun saat berbicara mengenai bahasa, foto atau gambar yang menceritakan tentang perempuan , media massa sering melakukan “kekerasan” terhadap perempuan. Media massa menggunakan bahasa atau gamabar yang secara ideologis mengandung makna yang merendahkan, menghakimi, dan bahkan menghina perempuan. Contoh dalam pemberitaan kasus pelecehan seksual sering ditulis seperti ini, 1) Bulan direnggut kegadisannya oleh Bejo. 2) Imah digagahi majikannya. 3) Janda cantik x pimpin perampokan.
Ketidakadilan yang diterima perempun dalam pemperitaan yang tidak fair serta tidak berimbang lainnya terjadi pada kasus koruptor perempuan, misalnya. Media justru memberitakan merk tas, baju, kacamata yang dipakai si koruptor hingga mengaburkan kasus korupsi itu sendiri. Parahnya pernah terjadi kasus pemberitaan perempuan koruptor yang tidak bisa mengenakan baju tahanannya karena ukuran payudaranya yang kebesaran. Petingkah memberitakan ukuran payudara seorang perempuan dalam kasus korupsi? Tapi inilah kenyataan yang terjadi. Pelbagai bahasa yang digunakan media yang memaparkan perempuan telah ikut berpartisipasi untuk menyudutkan perempuan.
Ketidakadilan yang dialami perempuan di media tidak luput dari kuasa patriarki di media massa. Otoritas , kuasa, dan kontrol laki-laki atas media terasa lebih dominan karena laki-laki lebih dahulu memasuki wilayah tersebut. Dalam wilayah profesional , perempuan menempati posisi sesuai stereotipinya. Perempuan sebagai sekretaris, pembawa berita, sebagai model produk, dan bahan berita. Selain itu alasan perempuan sebagai objek media karena laki-laki lebih dominan sebagai yang memiliki ide berita, dan perempuan serta minoritas seksual sebagi objek berita, objek seks, objek sensasi.
Permasalahan perempuan tidak akan berlarut-larut bila ada pemahaman setara atas hirarki jender. Untuk itu dibutuhkan jurnalis dan institusi media yang mempunyai sensitifitas tinggi dalam permasalahan perempuan dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif jender. Perlu penyadaran bersama bahwa bahasa media tidak hanya dibaca oleh jenis jender tertentu, tetapi dihikmati oleh berbagai jenis jender. Perempuan yang membaca berita perkosaan seperti sensasi akan merasa dilecehkan. Kejahatan adalah kejahatan. Takaran kejahatan perkosaan setara dengan kejahatan lainnya. Bahasa adil jender diraih dengan “tidak menyematkan” jenis jender pada pola pemberitaan—dengan cukup inisial nama. Atau “menyematkan” gelar jender secara setara, seperti “bapak-ibu”, bukan “bapak-mbak”, bukan “ibu-ibu dan perjaka”, bukan “om-om dan abg”. Penyematan gelar jender secara tidak setara akan melahirkan sensasi. Padahal sensasi bagi media, belum tentu sensasi bagi subyek yang diberitakan. Pelecehan tidak dominan dirasakan oleh perempuan, tapi bisa juga mencapai jenis jender lain, seperti laki-laki dan minoritas seksual. Langkah afirmatif diambil, ketika start, langkah awal, jenis jender tertentu lebih dahulu dari yang lain. Memberikan kesempatan kepada perempuan dan minoritas seksual untuk ikut terlibat dalam proses ekspresi ide dan bahasa. Perspektif perempuan dan minoritas seksual perlu didengar dan diperlihatkan. Karena keduanya telah “tidak terlihat” dalam media. Keduanya telah mengalami diskriminasi sepanjang peradaban. Perlu menjadi subyek dalam media, baik wilayah otoritas, kuasa, kontrol dan profesionalitas. (Anna Rachman)