Kota Solo kini ramai dilihat wisatawan, tampak bersih, tertata, dan berkilau di mata publik. Namun, di balik layar itu, tersimpan kenyataan pahit yang jarang terlihat: nasib warga Kentingan Baru yang tersisa tetap diabaikan. Rumah-rumah reyot, ketidakpastian hukum, dan intimidasi dari oknum maupun aparat menjadi bagian keseharian mereka. Sementara pemerintah, dari masa ke masa, seolah lupa bahwa keberadaan mereka bukan sekadar angka atau statistik, tapi manusia yang hidup di tanah itu.
Fafifu, istilah yang kini melekat pada janji-janji pemerintah, menjadi metafora yang tepat: manis di mulut saat diucapkan, tetapi kosong isinya. Janji demi janji tentang penataan, perlindungan, dan solusi hunian bagi warga Kentingan Baru tak pernah ditepati. Mereka terus menunggu, tetapi hanya disuguhi retorika tanpa tindakan nyata. Bersandingan dengan itu, Main Tonjok muncul sebagai wujud kekerasan aparat dan oknum yang langsung menindas warga di lapangan. Dua gaya ini janji kosong dan kekerasan sewenang-wenang kini menjadi simbol bagaimana nasib warga Kentingan Baru diinjak dari berbagai sisi.
Kentingan Baru masih berdiri hari ini, bukan karena perlindungan negara, melainkan karena kegigihan warganya mempertahankan hidup di atas puing-puing yang dulu digilas eskavator. Rumah-rumah yang pernah dirobohkan kini dibangun kembali seadanya: dari kayu, terpal, dan spanduk bekas, bukan semen atau bata.
Sejak tragedi penggusuran besar-besaran 2018, luka warga Kentingan Baru tak pernah sembuh. Mereka hidup di tengah ketidakpastian hukum dan ketakutan sosial yang tak kunjung reda. Operasi yang dulu digadang-gadang sebagai penataan kawasan ternyata tak jelas arah maupun dasarnya. Di balik penggusuran itu, oknum mafia tanah sejak awal mengklaim lahan melalui surat-surat yang meragukan, yang kemudian menjadi senjata untuk menindas warga yang bahkan tidak tahu mereka sedang “bersalah.”
Ironisnya, di atas tanah yang dulu mereka pertahankan dengan air mata, kini muncul bangunan-bangunan komersial: warung makan, bengkel, hingga shosolo
VeLidywroom motor. Entah siapa yang memberi izin, yang jelas bukan warga yang dulu disebut “mengganggu tata ruang.” Pemerintah menutup mata, seolah lupa bahwa di tanah itu pernah ada manusia yang digusur tanpa keadilan.
Bertahun-tahun warga Kentingan Baru berjuang mencari kepastian hukum. Mereka mengadu ke Pemkot Solo, menggugat ke pengadilan, dan berkali-kali meminta audiensi. Dari masa ke masa sejak 2000 hingga 2025 janji demi janji dari para wali kota berganti wajah, tanpa perubahan nyata bagi warga. Penyelesaian yang dijanjikan selalu tertunda, sementara pengabaian terus berlanjut.
Pemerintah Kota Solo harus berhenti bersembunyi di balik jargon penataan ruang dan pembangunan. Apa yang terjadi di Kentingan Baru bukan penataan, melainkan penyingkiran. Mereka yang tidak bersalah justru ditonjok oleh kebijakan sewenang-wenang dan praktik mafia tanah yang dibiarkan berkeliaran tanpa sanksi.
Negara seharusnya hadir bukan sebagai penggusur, tapi pelindung. Bila pemerintah masih membiarkan warga Kentingan Baru hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, maka pembangunan yang mereka banggakan tak lebih dari monumen kemunafikan.
Penulis: Redaksi LPM Kentingan

