Oleh: Satya Adhi
Ada sebuah plesetan dari adagium terkenal Rene Descartes: Aku mencinta maka aku ada. Bagaimana “syarat kehidupan” ini berlangsung dua, tiga dekade silam? Tapi, jangan harap menemukan kisah romantis nan sendu di sini. “This ain’t a love song,” kata Bon Jovi.
LEMBAH teknik masih sepi. Hanya sesekali terdengar suara desingan motor yang lewat. Saya duduk di sana sejak pukul sembilan pagi menghadap komputer jinjing. Sepasang mahasiswa duduk di depan saya. Si lelaki berwajah arab dan si perempuan berwajah indo pucat. Di samping mereka, terparkir Honda Vario warna merah.
Lima belas menit kemudian, datang lagi sepasang mahasiswa. Si lelaki dan perempuan berwajah Jawa, berkulit putih. Mereka datang menunggang Honda Supra X yang terlihat lebih tua dari aslinya. Sepuluh menit berbincang-bincang, mereka pergi.
Menjelang siang, si lelaki arab dan pasangannya pergi. Hampir bersamaan, datang lagi pasangan baru. Kali ini menunggang Yamaha Mio warna merah. Si lelaki berwajah oriental. Rambutnya agak gondrong, disemir agak pirang. Si perempuan agak pendek. Mengenakan kerudung cokelat dan kaos biru tegas. Keduanya duduk di belakang saya. Saya mengamati lewat pantulan bayangan di layar komputer jinjing.
Pasangan ini lebih cerewet. Beberapa kali si perempuan bersandar di bahu pasangannya saat berbincang. Keduanya menggunakan bahasa Jawa.
Tak lama, mereka pindah duduk di dekat saya. Merencanakan membeli makan.
“Pokokke intine es jeruk sik wae,” kata si perempuan.
“karo gorengan,” si lelaki menimpali.
Si lelaki berjalan menuju motornya. “Ati-ati. Ndang bali. Ora usah nggo helm wae,” tambah si perempuan.
Ia menyalakan motor. Namun tunggangannya itu tak mau menyala.
“Ha-ha,” si perempuan tertawa kecil. “Maaf ya, tertawa di atas penderitaan.”
Motor menyala. Si lelaki melesat pergi.
Lima menit kemudian si lelaki kembali sambil membawa bungkusan. “Antrene edan,” keluhnya. Mereka duduk bersama, memakan apa yang telah dibeli.
“Kudu rampung lho [tugasnya], sayang. Aku deg-degan nek hurung rampung-rampung,” kata si perempuan sambil meminum es jeruk.
Braakkk… Es jeruknya yang telah habis, dibuangnya. Melayang melewati wajah saya dan mendarat di samping bangunan. Mereka bersiap pergi. Si perempuan nampak keberatan dengan beban tas yang dibawanya.
“Kowe sebagai cowok yang baik kudune, [ngomong] ‘tak gowone’,” ujarnya sambil tersenyum bercanda. Si lelaki mengalah. Menerima tas dari si perempuan, lalu menaruhnya di motor bagian depan. Mereka melesat pergi.
TIGA dekade silam, pemandangan semacam ini tak akan mudah ditemui. “Teman saya yang bawa sepeda motor hanya dua atau tiga,” terang Henry Yustanto (53), kini dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sebelas Maret (UNS).
Tahun 1983 hingga 1988, Henry masih mahasiswa. Bersama istrinya sekarang, Chattri Sigit Widyastuti (51), mereka sama-sama menempuh studi di jurusan Sastra Indonesia UNS. Satu kelas pula.
Kondisi transportasi kala itu tak seperti sekarang. Mahasiswa masih mengandalkan kendaraan umum atau bahkan berjalan kaki. “Kalau dulu itu, setidak-tidaknya [jalan] mesti lebih dari satu orang. Karena apa, satu kos itu, saya misalnya, bertiga. Berangkat mesti bertiga. Ini (Chattri) bertiga. Umpamane ketemu, ya jadi berenam. Bareng,” jelas Henry.
Pertemuan Henry dan Chattri terbilang unik. Henry sebenarnya dua tahun lebih tua dari istrinya itu. Ia ingin masuk jurusan Arsitektur. Dua kali mencoba, ia selalu gagal. Tahun ketiga, Henry memutuskan mendaftar jurusan Sastra Inggris. “Tapi yang namanya jodoh mungkin. Jodoh dalam hal pekerjaan, jodoh dalam hal rumah tangga, dan sebagainya nggak tahu. Itu tangan Tuhan ya,” Chattri menjelaskan.
“Pak Henry itu hanya salah ngurek-ngurek menghitamkan kode itu lho. Dia maunya ke [Sastra] Inggris, yang dibulatkan itu punyanya [Sastra] Indonesia. Sehingga ketika diterima pun pada akhirnya dia masuk ke Sastra Indonesia.”
Semester satu sampai tujuh, mereka bersaing ketat dalam hal akademis. Sama sekali tak ada perasaan saling suka. Tak ada perhatian lebih yang diberikan Henry ke Chattri, juga sebaliknya. Padahal, kos mereka terbilang dekat. Henry di belakang Mesen, Chattri di Kepatihan.
Orientasi utama mahasiswa dalam bidang akademis waktu itu memang kuat. Hal ini tidak lepas dari kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) pada 1978 dan pembentukan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) pada 1979. Try Harijono, dalam Harian Kompas edisi khusus 50 Tahun Kompas (26 Juni 2015) menyebutkan, kebijakan ini merupakan rentetan panjang upaya represif rezim Orde Baru untuk membungkam pergerakan mahasiswa.
Pasca peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari), pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 028/1974 yang isinya melarang kegiatan politik di kampus. Upaya ini hanya berhasil sesaat. Tahun 1978, mulai muncul berbagai demonstrasi mahasiswa. “Puncaknya menjelang sidang umum MPR 1978, gejolak mahasiswa tak bisa lagi ditahan. Berbagai aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi dengan substansi sama, menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983,” tulis Try Harijono.
Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Upaya ini semakin menyudutkan mahasiswa yang tidak lagi didukung militer. Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di setiap perguruan tinggi dibubarkan. Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) juga dikeluarkan untuk mematikan pergerakan mahasiswa.
Sejak itu, tambah Try Harijono, “Diskusi-diskusi hangat yang semula mengulas berbagai persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan, kini mulai redup dan digantikan diskusi yang hanya berkaitan dengan bidang studi yang digeluti mahasiswa bersangkutan.”
Dampak NKK/BKK terasa sampai ke UNS, tak terkecuali mahasiswa golongan menengah seperti Chattri dan Henry. Tak ada pilihan lain selain fokus pada perkuliahan. “Kita itu selalu bersaing, bersaing dalam pelajaran,” kata Bapak dua anak ini, “bahkan semacam permusuhan. Permusuhan dalam arti mencari nilai yang baik.”
Persaingan ini diamini pula oleh Chattri. “Sampai dengan pengajuan beasiswa pun bersaing. Karena zaman dulu kan tidak banyak yang dapat dan tidak banyak yang menawarkan beasiswa,” kata Chattri.
“Saya dapat [beasiswa] Supersemar,” ujar Henry.
“Saya dapat [beasiswa] Pusat Bahasa,” istrinya menimpali.
Mereka mulai dekat ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN). Henry di Wonogiri, Chattri di Karanganyar. “Ya udah pada saat berangkat KKN, nggak tahu [bagaimana bisa dekat]. Ha-ha-ha,” kata Henry.
Kedua keluarga pertama kali bertemu saat wisuda tahun 1988. Selepas itu, Henry pulang ke Ponorogo. Chattri pun demikian. Ia kembali ke kota asalnya, Jepara.
Telepon belum banyak waktu itu, apalagi internet. Surat menjadi alat komunikasi utama keduanya. “Surat-suratnya dia [Henry] masih saya simpan rapi, semuanya,” ujar Ketua Jurusan Sastra Indonesia ini. Empat tahun saling berkirim surat, pasangan ini menikah pada 1992.
Radio dan Bioskop
Never knew that it would go so far
When you left me on that boulevard
Come again you would release my pain
And we could be lovers again.
Diah Kristina (59) masih ingat betul. Di era 1980an, lagu berjudul Boulevard yang dibawakan Dan Byrd itu sangat populer. Selain Boulevard, lagu-lagu Queen, Bon Jovi, God Bless, Gito Rollies, dan The Mercy’s merajai radio-radio kala itu.
Suatu pagi di tahun 1979, hanya ada satu mata kuliah hari itu. Diah masih mahasiswa semester tiga di jurusan Sastra Inggris UNS. Pukul 10.45 WIB, ia mendengar pengumuman audisi penyiar di salah satu radio swasta. Iseng mendaftar, Diah akhirnya diterima di radio PTPN Solo. Diah – yang kini dosen Sastra Inggris UNS – menjadi penyiar dari 1979 hingga 1983. Rehat sejenak karena menikah, ia kembali ke PTPN pada 1986 dan siaran selama satu tahun.
“Saya kebetulan diserahi siaran musik klasik. Salah satu pendengarnya itu Ibu Rektor. Sewaktu itu rektornya Profesor Kunto Wibisono. Jadi, Bu Kunto itu senang mendengarkan acara musik klasik,” kenang Diah. “Yang lain, waktu itu setiap hari Jumat ada acara Kunjungan Orang Sakit.”
Waktu itu, kios-kios rokok, toko alat tulis, dan tempat-tempat nongkrong anak muda menjual sebuah kartu yang populer di kalangan pendengar. Kartu pilihan pendengar namanya. Kartu seharga 500 hingga 1000 rupiah ini digunakan pendengar untuk berinteraksi dengan penyiar maupun pendengar lain. Mirip sms atau twitter zaman sekarang. Kartu kemudian ditulis dan dikirimkan ke redaksi. “PTPN punya lemari segini [sambil memberi isyarat setinggi pinggang] itu penuh. Isinya kotak-kotak. [Kartu untuk] pagi, siang, sore, malam,” kata Diah.
Setiap memutar satu lagu, 10 sampai 15 kartu dibacakan. Padahal, dalam satu jam bisa enam sampai delapan lagu yang diputar. Isinya beragam. “Ya, paling kirim lagu. Buat ini buat itu. Ngucapin selamat ulang tahun. Ada juga yang memberi pantun. Kata-kata yang bijak, ada juga,” tambahnya.
Radio memang menjadi sumber informasi dan hiburan utama masyarakat – termasuk mahasiswa – waktu itu. Di kota Solo sendiri, beberapa radio seperti, radio PTPN, Radio Republik Indonesia (RRI), dan SAS FM, menemui masa kejayaan mereka pada dekade 1980 hingga 1990an. Hubungan baik antara penyiar dan pendengar juga terbangun kuat.
“Bahkan, banyak, beberapa penyiar itu yang menikah dengan fansnya. Karena mereka mungkin terpikat suaranya dulu. Kalau sekarang mungkin kayak pernikahan siber gitu ya,” ujar alumnus progam master University of Sidney ini.
Selain radio, bioskop juga menjadi bagian gaya hidup anak muda Solo. Sejarawan UNS, Susanto menjelaskan, bioskop di era itu menjadi hiburan yang digandrungi. “Bioskop itu menjadi suatu hiburan yang paling utama. Itu punya level di dalam kehidupan. Jadi, kalau orang tidak menonton bioskop itu, artinya dia tidak terlibat di dalam kehidupan modern,” ungkapnya ketika saya temui di kantor Jurusan Sejarah UNS, medio November lalu.
Surya Natael, mahasiswa arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dalam penelitiannya (2010) mencatat, di tahun 1980 merebak belasan bioskop di Kota Bengawan. Antara lain, Bioskop Star di Widuran, Dhady Theatre dan Ura Patria (UP) Theatre di Pasar Pon, Galaxy Theatre di Purwosari, Solo Theatre di Sriwedari dan Nusukan Theatre di Nusukan. Selain itu, ada Regent Theatre di Jalan Veteran, Golden Theatre di Wingko, Bioskop Trisakti, President Theatre, dan Rama Theatre (sebelah Barat Panggung Jebres), serta Bioskop Kartika di Beteng.
“Waktu itu dengan majalah, koran, terutama Tempo, resensi filmnya menggiring orang untuk menonton. Misalnya Robin Hood. Wah, ini Kevin Costner, orang ingin lihat,” tambah Susanto.
Ia berkata demikian bukan tanpa alasan. Bisa dibilang, resensi-resensi yang ditulis Putu Wijaya dan Leila S. Chudori menjadi sebuah patokan, pantas tidaknya sebuah film ditonton. Bahkan, pada 29 Juni 1991, Tempo terbit dengan laporan utama bertajuk Film Amerika Dukung Monopoli? Harganya masih Rp 2.800, 00 dengan tebal 112 halaman. Resensi film Robin Hood: Prince of Thieves yang ditulis Putu Wijaya juga ada di edisi ini.
“Dunia perfilman di Indonesia kembali menghadapi riak,” tulis Putu Setia dalam editorial berjudul Sebuah Dilema. “Masuknya dua perusahaan film besar Amerika Serikat yang berada di bawah payung MPEAA (Motion Picture Export Association of America) ke sini menimbulkan berbagai reaksi.”
Dua perusahaan yang dimaksud adalah Time Warner, yang bekerjasama dengan PT Satria Perkasa Esthetika Film, dan United International Pictures, yang menjalin kongsi dengan PT Camilia Internusa Film.
Dengan hadirnya dua perusahaan itu, film-film Hollywood papan atas akan mudah dinikmati masyarakat tanah air. Sebut saja Robin Hood: Prince of Thieves yang dibintangi Kevin Costner. Film yang kala itu menjadi buah bibir masyarakat internasional, dan masih diputar di bioskop-bioskop Amerika, akan segera tayang di Indonesia. Kasus seperti Rain Man, film peraih Piala Oscar 1988 yang baru bisa dinikmati masyarakat tanah air setelah dua tahun dirilis, tak akan terjadi lagi.
Sineas dalam negeri khawatir dengan terjangan film-film Hollywood ini. Apalagi, dua perusahaan tersebut memilih kelompok lokal yang dianggap telah melakukan praktik monopoli pasar. “Tentu saja yang dimaksud adalah kelompok Subentra – importir, distributor, dan pemilik jaringan sinepleks 21, yang sebagian besar sahamnya dimiliki raja bioskop Sudwikatmono,” tulis Tempo dalam artikel berjudul Hollywood Datang, Pribumi Minggir. “Satria Estetika itu jelas-jelas anak perusahaan Subentra. Dan Camila pun kompanyon grup 21.”
Jaringan sinepleks 21 juga masuk ke Solo di tahun 1990an. Saat itu berdiri gedung bioskop megah Atrium 21 yang terletak di Solo Baru. Bioskop dengan delapan teater dan film yang berkualitas, membuatnya laris di kalangan masyarakat. Apalagi harga tiketnya murah. Hanya Rp 5.000, 00 sampai Rp 7.500, 00 sekali nonton. Namun, ketika kerusuhan Mei 1998 (bersama Studio Theatre di Singosaren) bioskop mewah tersebut dibakar massa.
Selain bioskop, Susanto mengatakan, persoalan transportasi yang dihadapi Chattri dan Henry memang hal biasa. Bukan masalah berat bagi mahasiswa. “Dari Palur sampai sini kan ada bus tingkat sampai Kartasura. Ongkosnya murah sekali, hanya 150 rupiah,” katanya.
Bus tingkat ini beroperasi sejak 1980an hingga 1997. Bus ini juga yang menjadi patokan mahasiswa untuk mencari tempat kos. “Pasti kos-kos ada di sekitar situ [tempat yang dilewati bus],” tambahnya.
Kenangan berbeda pernah dialami Diah. “Tapi teman saya ada yang mengayuh sepeda dari Kartasura sampai Solo,” kata Diah mengenang. Selain bus, sepeda memang masih banyak digunakan. Mungkin, hal-hal semacam ini yang membuat kisah cinta mahasiswa waktu itu, sulit terhapus dari memori.
“Cinta melalui mata kalau dulu, kalau sekarang cinta melalui mata pencaharian,” kata Diah. Saya hanya bisa tertawa.[]
(Foto Dhady Theatre Solo: lh5.googleusercontent.com)
Satya Adhi. Mahasiswa yang gemar berjalan kaki (sendiri). Surel: muhammadsatya31@gmail.com.