Beberapa pekan yang lalu, Indonesia diramaikan dengan tajuk “Jokowi: The King of Lip Service” yang terpampang jelas di laman Instagram BEM UI, @bemui_official. Kritikan mengenai kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga turut dilontarkan oleh BEM UNNES lewat akun @bemkmunnes yang bertajuk “Indonesian Political Troll”. Sekilas, bangsa Indonesia tampaknya sudah sah disebut sebagai bangsa yang merdeka dalam mengemukakan pendapat. Hal ini dilihat dari banyaknya mahasiswa yang berani mengemukakan kritik terhadap pemerintah. Sayangnya, realitas justru berbanding terbalik dengan ekspektasi. Kritik para mahasiswa tersebut kini dijegal dan dibungkam oleh buzzer pemerintah. Kejadian ini sungguh bertolak belakang dengan seruan Presiden Jokowi agar masyarakat bebas memberikan kritik terhadap kinerja pemerintah.
Presiden RI Jokowi kembali menjadi sorotan terkait pernyataannya yang meminta masyarakat untuk aktif mengkritik pemerintah. Dilansir dari laman CNN Indonesia, permintaan itu Jokowi sampaikan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada Senin (8/2) silam. Pada kesempatan tersebut, Jokowi mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik. Pernyataan ini juga diperkuat dengan pernyataan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, yang mengatakan pemerintah membutuhkan kritik yang pedas dan keras dari pers.
“Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun dengan lebih terarah dan lebih benar,” ucap Pramono dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 2021, dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Kabinet (9/2) lalu.
Pernyataan yang diutarakan oleh Presiden Jokowi dan Pramono Anung ini tidak problematik seandainya tidak ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE) yang membuat kejadian ini terasa ironis. Bukan berita baru bahwa UU ITE sudah menyandung kebebasan berpendapat beberapa masyarakat Indonesia. Kita bisa mundur sejenak dan melihat represi digital yang menimpa akun Instagram BEM UNNES. Kritik UNNES terhadap kepemimpinan Jokowi, Ma’ruf Amin, dan Puan Maharani yang diutarakan lewat media sosial justru berbuntut dinonaktifkannya akun Instagram BEM UNNES oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tidak hanya BEM UNNES, BEM UI juga mengalami hal yang serupa. Dilansir dari Kompas.com, selain mendapatkan panggilan dari rektor, akun media sosial dan Whatsapp milik empat aktivis BEM UI juga mendapat serangan digital usai mengkritik Jokowi. “Pada tanggal 27 dan 28 Juni 2021, telah terjadi peretasan akun media sosial kepada beberapa pengurus BEM UI 2021,” ujar Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra (28/6). Kejadian-kejadian yang menimpa aktivis BEM tersebut tentunya membuat masyarakat Indonesia lebih memilih bungkam ketimbang memberanikan diri untuk menyatakan pendapat dan kritiknya demi Indonesia yang lebih baik.
Pernyataan dari Jokowi ini juga makin membingungkan bila kita menilik pernyataan Ketua Partai PDIP, Megawati Soekarnoputri, saat menanggapi kelakuan milenial yang dianggap ‘tidak memberikan kontribusi apa pun pada negara’. Dilansir dari CNN Indonesia, Megawati menganggap bahwa generasi milenial hanya suka berbuat keributan dan menyelenggarakan demo yang berpotensi mengakibatkan kerusuhan.
“Kalau saya lihat sekarang anak muda sopan santunnya sudah tidak ada. Kalau di medsos itu, presiden sendiri dijelek-jelekin. Saya sampai berpikir, kita ini sebenarnya negara apa sih. Media kita membangun sebuah masyarakat yang tidak punya keutuhan pribadi. Saya bilang, jangan sukanya menghina di belakang karena itu bukan merupakan sikap ksatria,” ujar Megawati. Hal ini justru bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk dikritik, sebab demo merupakan salah satu bentuk aksi masyarakat untuk mengaspirasikan pendapatnya di ruang publik. Selain itu, pendapat Megawati tentang mengkritik di media sosial termasuk ke dalam sikap yang tidak ksatria juga kurang relevan. Pasalnya, media sosial juga termasuk dalam lingkup ruang publik dan sejauh yang kita tahu, pendapat yang dilontarkan di ruang publik bukanlah pendapat sembunyi-sembunyi seperti yang dipikirkan oleh Megawati.
Untuk lebih lengkapnya, mari kita buka kembali Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Pasal tersebut menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas negara”.
Bila ditilik dari pasal tersebut, kebebasan berpendapat di Indonesia tentu masih belum sepenuhnya terwujud. Sekarang ini, kritik dan saran yang diutarakan oleh masyarakat di media apa pun kerap diintervensi terlebih dahulu. Intervensi itu tak jarang dilakukan oleh para buzzer pemerintah yang sering kali menyerang warganet. Imbasnya, tidak ada kritik dan saran yang bahkan cukup membantu pemerintah untuk mengetahui apa yang salah dari bangsa ini.
Hal tersebut dibuktikan oleh cuitan Kwik Kian Gie di Twitter per 6 Februari 2021 lalu. Ahli ekonomi sekaligus politikus itu tengah memberikan kritik terkait kondisi terkini utang pemerintah ketika akun Twitternya diserang. Parahnya, buzzer menyerang akun Twitter Kwik Kian Gie hingga menyeret kehidupan pribadi ekonom senior tersebut.
“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah,” tulis Kwik Kian Gie.
Pernyataan dari Presiden Jokowi dan kenyataan di lapangan tentunya sangat bertentangan dan terkesan inkonsisten. Di satu sisi, pemerintah berusaha membuat image seolah masyarakat Indonesia di luar sana yang hendak mengkritik pemerintah sudah bisa mengungkapkan pendapatnya dengan nyaman. Namun, di sisi lain banyak hukum yang dibuat untuk menjerat orang-orang yang berusaha mengungkapkan pendapatnya sendiri. Tidak hanya UU ITE saja, peraturan lain seperti Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Situs Internet Bermuatan Negatif, UU Penyadapan, dan UU Penyiaran juga kerap menjadi penyandung berbagai kritik dan pendapat yang dilayangkan oleh masyarakat Indonesia selama ini.
Sudah seharusnya pemerintah lebih memerhatikan kebebasan mengemukakan pendapat yang sesungguhnya, bukan sekadar koar-koar antipati demi menjaga image tetap sempurna. Semoga saja, ucapan ingin dikritik yang diutarakan Jokowi tidak sebatas lip service semata. Namun, ucapan tersebut direalisasikan demi kelangsungan keadilan dan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera di kemudian hari. Semoga saja.
Penulis: Jasmine Putri Lintang Sagara Dewi
Editor: Diana Kurniawati