Reporter: Eka Indrayani, Penulis: Ririn Setyowati
Sejak 19 tahun setelah reformasi pecah, organisasi pergerakan mahasiswa di luar kampus masih mencoba eksis. Mereka enggan move on dari sejarah.
“MASIH LAMA, NDAK?” ucap Hardono seraya menilik kembali jarum jam. Ia terlihat agak resah. “Saya ada janji ketemuan.”
Jebolan Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS itu mengaku sibuk. Selain menjadi Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Hardono juga menggeluti bisnis sana-sini. Pencapaian ini tak lepas dari pengalamannya berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ia pun tak lupa apa yang menjadi tujuan HMI selama ini. “Mencetak aktor di dunia pemerintahan untuk bangsa dan negara.”
“Yang diajarkan HMI macam-macam. Soal kepemimpinan kita diajarkan mengelola orang, menggerakkan orang, mengatasi konflik. Kan, kayak gitu enggak ada di dalam kelas,” ujar Hardono penuh semangat. “Biar peka sosial, politik dan ekonomi. Makannya, diskusi. Juga belajar Al-Quran dan hadis.”
Apalagi, jika ia mulai mengenang sulitnya memperjuangkan identitas HMI di UNS. “Saat itu suasana belajar dinamis sekali.” Terutama, setelah Fakultas Keguruan dengan Ilmu Pendidikan resmi digabung menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pada tahun 1982. Hardono benar-benar melihat konfik antar organisasi ekstra. “Ramai! Padahal, [fakultas] Ilmu Pendidikan banyak HMI-nya. Nah, [fakultas] Keguruan itu banyak GMNI dan PMKRI.”
“Pertarungan politik kampus dulu kental sekali. Mahasiswa kritis dan aktif,” kemudian nadanya menurun. Kekecewaan akan datangnya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1970-an hingga 1990-an awal tak dapat ia sembunyikan.
“Organisasi ekstra mengalami koma. Mahasiswa kerjanya jadi cuma mengejar IPK [Indeks Prestasi Kumulatif] dan jadi kutu buku.”
Tapi itu dulu. Hardono yakin mahasiswa saat ini tak akan bertabiat seperti itu lagi. Apalagi bagi mereka yang bersedia masuk organisasi pergerakan di luar kampus. “Memang tidak mesti HMI. Yang penting, mahasiswah ikut dulu organisasi ekstra.”
Namun saat ditanyai lika-liku kebangkitan HMI – khususnya di UNS – pasca NKK/BKK, Hardono ternyata tidak tahu pasti.
“Begitu lulus, saya sudah memulai bisnis.”
HMI mulai menancapkan ideologinya di Surakarta sekitar tahun 1960-an. Anggotanya kurang lebih mencapai 100.000 orang. UNS pun terkena gaungnya. Enam belas tahun selepasnya, sejarah HMI dan UNS sama-sama dimulai. Ketua Bidang Kajian Keilmuwan HMI Komisariat Fakultas Hukum (FH) UNS periode 2015/2016, Hikmah Bima Odityo samar-samar mengenang memori itu. “Sekira tahun 1976, HMI langsung ada di UNS.”
Alasannya, memang kalangan pelajar dari keluarga-keluarga Islam tradisional selepas revolusi kemerdekaan tidak memiliki pilihan lain kecuali bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan HMI. Keputusan Kongres Al-Islam pada 1949 juga merekomendasikan PII dan HMI sebagai satu-satunya organisasi pelajar/mahasiswa Muslim (Yudi Latif: 468-469).
HMI memiliki banyak komisariat. “Tiap-tiap fakultas di Universitas Sebelas Maret (UNS) seharusnya ada komisariatnya,” lanjut Bimo. Namun, itu dulu sebelum HMI mengalami masa sepi kader di tahun 2011-2015.
Kini tinggal lima komisariat yang masih bertahan. “Masing-masing tersebar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Hukum (FH), Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), dan Fakultas Pertanian (FP),” jelas Bimo mengingat-mengingat.
Ia kemudian menjelaskan manuver yang dilakukan HMI untuk menggaet sivitas akademika. Salah satunya dengan mendirikan lembaga keprofesian. “Kalau di FH sendiri namanya Lembaga Konsultasi Badan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI).”
Lembaga tersebut memfasilitasi mahasiswa FH untuk belajar tentang advokasi di luar jam kuliah. Bimo lebih senang menyebutnya, “wadah trainning advokasi.” Selain LKBHMI, fakultas kedokteran pun memiliki lembaga keprofesian serupa. Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), namanya. Sama-sama mengusung konsep trainning keprofesian dan tak lupa memasukkan nilai-nilai Islam.
Manuver belum cukup. Ibnu Attoillah, ketua HMI komisariat FEB, mengaku pernah mengisi Achievement Motivation Trainning (AMT). “Di situ saya mengenalkan HMI.” Saat ditanya apakah menjelaskan HMI kepada mahasiswa baru dalam acara tersebut merupakan keharusan atau tidak, Ibnu langsung menolak. “Hanya kalau ditanya [tentang HMI] saja baru saya jelaskan.”
HMI BUKANNYA tak punya rival. Dalam ranah nasional di masa Sukarno, pasca afinitas HMI dengan Partai Masyumi meningkat, dibarengi dengan jumlah mahasiswa tradisional yang semakin banyak, mahasiswa Islam tradisionalis dalam kubu HMI semakin tersisih. Hal tersebut memotivasi pimpinan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) untuk membangun organisasi khusus bagi mahasiswa Islam tradisional.
Kegelisahan tersebut yang akhirnya menjadi cikal diadakannya Kongres Nasional IPNU di Kaliurang, Yogyakarta, pada 14-16 Maret 1960. Tiga belas anggota IPNU ditunjuk untuk membentuk organisasi dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 17 April 1960.
Sejak keputusan itu, anak-anak ulama dan pemuka agama dari kalangan tradisional cenderung bergabung dengan PMII, sedangkan anak-anak “orang biasa” cenderung bergabung dengan HMI.
Walau dapat berkeanggotaan ganda, pihak HMI saat itu merespon ketus pendirian PMII. Bagi HMI, pendirian PMII merupakan pengkhianatan terhadap umat Islam yang telah bersepakat pada 1949 untuk mengakui PII dan HMI sebagai satu-satunya organisasi pelajar atau mahasiswa Muslim. Namun dibawah kepemimpinan Subchan, Yudi Latif menyebutnya sebagai jembatan antara dua tradisi intelektual. Hubungan PMII dan HMI cenderung lebih harmonis di sekitar pertengahan 1960-an (Yudi Latif, 2012: 471-477).
Di UNS, pertarungan PMII dan organisasi ekstra lain memang tak begitu kentara. Terakhir, PMII secara tidak resmi melalui partainya, Daun Muda, mengusung Govinda Pramudya Tama sebagai Calon Presiden BEM UNS 2016. Usahanya gagal. Kemudian pada tahun 2017, PMII mengajukan calon anggota legislatif sebanyak tujuh orang melalui partai tersebut.
Ketua PMII Komisariat UNS, Waskita Cahya Subekti mengaku tak tahu persis waktu masuknya PMII ke wilayah UNS. Yang ia ingat, pada tahun 1997-an PMII telah memiliki kader di Solo. Saat itu memang belum ada PMII komisariat UNS.
Dengan nada bicara pelan dan lambat dibeberapa perkataan, Waskita justru makin terlihat santai. Baginya, anggota PMII boleh jadi apa saja. “Yang penting tiga nilai PMII harus dibawa. Toleransi, seimbang, adil.” Tidak ada paksaan.
Selain PMII, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menjadi kawan sekaligus lawan para organisasi ekstra pada masanya. Yudi Latif (2012: 477) mengamini adanya pertarungan sengit antara GMNI dan HMI. Kedua organisasi melakukan pelbagai upaya untuk mendominasi forum-forum, dewan-dewan, dan senat-senat mahasiswa.
GMNI secara nasional – terutama dalam politik kampus – pernah benar-benar mengungguli HMI. Saat itu tahun 1960, pasca Masyumi – partai yang memiliki koneksi kuat dengan HMI – dinyatakan terlarang oleh Sukarno. GMNI kemudian mendominasi forum-forum mahasiswa dan sejumlah besar Dewan Mahasiswa dan Senat Fakultas. Mengalahkan organisasi-organisasi mahasiswa lain, terutama HMI dan kelompok-kelompok mahasiswa yang terorganisasi dalam lembaga-lembaga intrakampus (Yudi Latif, 2012: 478).
“Tapi kiprah GMNI di UNS naik turun,” aku Ketua GMNI Solo, Edo Johan, mengawali cerita.
Semua organisasi esktra mengakui NKK/BKK sebagai momok. HMI dan GMNI sama-sama surut. Aktivisme mahasiswa saat itu dikebiri. Tapi GMNI tak ingin pasrah. Kekangan pemerintah justru ingin membuat mereka bangkit di kampus. Tahun 1980-an, kiprah itu mulai terlihat. “GMNI punya komisariat di seluruh fakultas,” lagi-lagi Edo setuju atas kemiripan HMI dan GMNI.
Namun NKK/BKK semakin mengukung pergerakan mahasiswa di dalam maupun luar kampus. GMNI geram, organisasinya tak bisa diam begitu saja. Alhasil, perubahan strategi pergerakan GMNI dicetuskan. Edo masih ingat betul, “namanya Gerakan Paradigma Baru.”
Gerakan itu menuntut GMNI untuk abai dengan perpolitikan kampus. Lebih baik, “GMNI langsung turun ke simpul-simpul masyarakat.” Edo mengingat-ingat kembali cerita yang pernah ia dapatkan. Yang paling diingat adalah bantuan advokasi bagi warga waduk Kedungombo dan penolakan atas privatisasi pantai Parang Gubito.
Dampaknya, di sepanjang tahun 1980-an, “GMNI dalam kampus mulai hilang.” Barulah di era reformasi, GMNI bersama organisasi ekstra yang lain bangkit kembali. Demonstrasi jadi hal yang lumrah bahkan wajib. “Saat itu, enggak ikut demo, ya, dikucilkan,” Edo terkekeh. Memang ia belum menjadi mahasiswa pada masa itu. Ia hanya tahu dari tutur para alumni. Namun ia dapat ikut merasakannya.
Pasca 1998, GMNI UNS kemudian memiliki basis yang semakin kuat walau belum bisa menjangkau seluruh fakultas di UNS. “Tapi paling kuat di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Hukum (FH), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Fakultas Ekonomi dan bisnis (FEB) serta Fakultas Teknik (FT).” Edo dapat menjamin kegiatan-kegiatan GMNI pada masa itu berjalan dengan baik. Termasuk bersaing dengan HMI dalam politik kampus.
Sayangnya, kejayaan itu tak berlangsung lama. Satu persatu komisariat lemah. Edo mengira, penyebabnya adalah rendahnya keaktifan anggota dan gagalnya kaderisasi. Lagipula, “selera mahasiswa saat itu sudah berubah. Lebih modern.” Alhasil, di akhir 1990-an menuju tahun 2000 basis GMNI hanya tersisa di FKIP, FH dan FISIP.
Itu saja keanggotaannya semakin lama semakin menipis. Mau tidak mau, ketiga komisariat harus digabung menjadi satu. Penggabungan juga tak berdampak positif. GMNI kian surut. Kaderisasi mandek hingga di tahun 2006-2007, anggota GMNI hanya tersisa dua orang.
Ditambah, pada 2006 GMNI mendapatkan rival baru. “Di kampus sudah ada penguasa baru, bukan lagi HMI, tapi KAMMI [Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia].“ Edo kemudian menjelaskan kiprah KAMMI di percaturan poltik kampus. “AAI [Asistensi Agama Islam] yang semula dipegang HMI, kemudian beralih dipegang KAMMI.” Hingga perlahan terlihat, “kegiatan dan agenda Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mulai di kuasai KAMMI.”
GMNI semakin tersingkir. Baru di tahun 2010-an, “mahasiswa UNS kembali mencari-cari organisasi yang mewadahi jiwa-jiwa nasionalis.” Di situ Edo mulai melihat kejengahan mahasiswa UNS dengan organisasi-organisasi berwajah Islam.
Beritikad menjadi pesaing KAMMI, aktivitas GMNI akhirnya kembali ke dalam politik kampus. “Tahun 2010-2013, selalu ada kader GMNI yang dicalonkan [menjadi presiden BEM].” Edo memang menyayangkan. Apalagi pada masa itu, GMNI telah memiliki partai sendiri bernama Wali Cinta. Namun, usaha mengungguli dominasi KAMMI gagal. Puncaknya, pada tahun 2014-2015 GMNI kembali mati suri. Gagalnya kaderisasi dan pasifnya anggota lagi-lagi jadi penyebab.
GMNI tak ingin mati suri lagi di tahun 2017 dan seterusnya. Perekrutan kader kembali dilakukan. Dari belakang GMNI terlibat dalam percaturan Pemilu UNS 2017. Kini agendanya bukan lagi mencalonkan presiden namun menyatakan dukungan pada salah satu pasangan calon.
Pada Pemilu UNS 2017 kemarin, GMNI memberikan dukungan pada pasangan calon nomor urut dua, M.Aldhi Adriansyah dan Ramzy Aprialzy. Dukungan tersebut tersebar melalui pesan singkat yang dikirimkan Ketua GMNI UNS, Lisa Elfana. “Dengan ini kami menyatakan dukungan, pasangan calon nomor 2 yaitu, calon presiden: M. Aldhi Adriansyah – Fakultas Hukum 2014, calon wakil presiden: Ramzy Aprialzy – Fakultas Teknik 2015”
GMNI bukannya mendukung tanpa alasan. Selama ini, tulis Lisa, “demokrasi di BEM Universitas Sebelas Maret yang diharapkan tumbuh subur perlahan mati!, segalanya disetir oleh satu golongan!”
“TOPIK UTAMANYA ‘klarifikasi,’” begitu ucap Gilang Ridho Ananda di salah satu unggahan video akun @1senyumkita. Ceritanya, pasangan calon presiden dan wakil presiden ini sama-sama salah menangkap maksud. Saat ditanyai, “apakah mereka anak KAMMI?” mereka sontak menolak.
Usut punya usut, jawaban itulah yang kemudian memantik rasa penasaran dan ketidakpercayaan mahasiswa. Membuat pertanyaan yang sama lagi-lagi muncul. “Benarkah Gilang dan Faith anak KAMMI?” Gilang saat itu membacakannya dihadapan para pendukung yang sedang jadi warganet.
Faith Aqila Silmi yang duduk bersebelahan dengannya hanya menjawa dengan kelakar. “Emang dia lagi kehilangan anak?” kemudian gelak tawa mereka pecah. Gilang menjelaskan maksud sebenarnya. Faith yang mengerti langsung menjawab sembari menjabarkan klarifikasi. “Iya, kami adalah anak KAMMI.” Kejadian pengelakan mereka sewaktu di FISIP, alibinya, murni salah tangkap saja. Dikiranya mereka pengurus KAMMI. “Padahal kami cuma anggota KAMMI,” pungkas Faith.
Pertanyaan itu sebenarnya muncul pertama kali pada debat dialogis di FISIP UNS. “Apakah Gilang-Faith anak KAMMI?” begitu tanya Ramadhitya Rahardian, mahasiswa transfer Administrasi Negara.
Faith yang ditemui pada kesempatan berbeda kemudian tak segan menjelaskan kembali peristiwa itu. Katanya, “pertanyaan itu muncul disaat yang tidak tepat.” Faith merasa tak akan nyaman bila ia menjelaskan tentang KAMMI maupun keanggotaannya disana. “Makannya kita buat statement politis. Kami bukan pengurus KAMMI,” akunya.
Faith mengelak bila ia dan Gilang sengaja dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presidem BEM periode 2017-2018 oleh KAMMI. “Bukan dicanlonkan. Kami hanya dimintai kesediaannya.” Faith, Wakil Presiden BEM UNS terpilihpun tak begitu paham bagaimana proses di belakang pencalonan mereka. Yang ia tahu, “tidak ada rapat syura. Tapi ada mbak-mas KAMMI yang memang mendorong dan menyarankan kami untuk maju.”
Pemilu UNS tahun ini memang terasa panas. Faith mengakui hal itu. Salah seorang penggemar diskusi HMI ini menduga campur tangan para organisasi eksternal turut jadi penyebabnya. “Beberapa tahun kemarin HMI tidak berfokus pada politik kampus. Kaderisasinya pun kurang. GMNI mati. PMII juga enggak main, kecuali tahun kemarin saat mengusung Govinda dari partai Daun Muda.” Minimnya keterlibatan dalam politik kampus tersebut, ia akui justru yang membuat KAMMI kurang lawan. “Makannya. Karena tidak ada lawan saat Pemilu KAMMI justru sering dibuat pusing mencari bagaimana cara meramaikan demokrasi kampus.”
Selasar masjid kampus adalah saksi terbentuknya KAMMI. Burhanuddin Muhtadi kemudian menuliskanya lebih lanjut dalam bukunya, Dilema PKS Suara dan Syariah (2012: 39). Gerakan Dakwah Kampus semula tak dilembagakan. Kampus tak secara legal menaunginya. Baru sekitar tahun 1998, gerakan tersebut jadi salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di dalam kampus yang kemudian berubah nama menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Selanjutnya, Guna memperluas jejaring antar kampus. LDK membentuk forum antar kampus bernama Forum Silaturahmi LDK (FSLDK).
Kemudian, sebagai tanggapan atas memanasnya keadaan politik pada tahun 1998. Pasca keterlibatan simbol-simbol Islam dalam ranah politik dibatasi. Pada Muktamar I pada November 1998 di Malang, para anggota FSLDK sepakat membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Fahri Hamzah menjadi ketua KAMMI generasi pertama.
Usai pengunduran diri Soeharto pada Mei 1998, KAMMI mulai mempertimbangkan untuk mendirikan partai politik islam. Inisiatif itu juga didukung oleh beberapa aktivis dakwah kampus yang didominasi Jamaah Tarbiyah. Namanya, Partai Keadilan (PK) yang kemudian – karena tuntutan meraih atensi dan suara masyarakat – berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang alirannya lebih moderat.
Cikal KAMMI berasal dari kampus. tak heran bila pergerakannya juga berpusar pada kegiatan kampus. Walaupun, menurut Faith, kemenangan dalam perpolitikan kampus bukan merupakan tujuan utama KAMMI. KAMMI ditujukan untuk mencetak alumni-alumni berkualitas. “Kampus hanya sebagai kawah candradimuka. Kalah tidak masalah, yang penting kami punya pembelajaran.”[]
Erata: Pada tulisan yang pertama kali diunggah tanggal 24 Desember 2017 pukul 13.32, tertulis “Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum (FH) UNS, Hikmah Bima Odityo samar-samar mengenang memori itu.” Yang benar adalah “Ketua Bidang Kajian Keilmuwan HMI Komisariat Fakultas Hukum (FH) UNS periode 2015/2016, Hikmah Bima Odityo samar-samar mengenang memori itu.” Dengan demikian kesalahan telah kami perbaiki.
Edisi Khusus III/Desember/2017 Organisasi Ekstra Kampus (Belum) Mampus
Editorial : Seruan Aksi untuk Fahri
Laporan 1 : Organisasi Ekstra Kampus Enggan Mampus
Laporan 2 : Banyak KAM(M)I di Kampus Kita
Laporan 3: “Kalau Mau Jadi Rektor, Masuk HMI Saja!”
Opini : Masuk Itu Enak