Oleh: Satya Adhi
UNS “dikepung!” Ratusan aparat TNI dari beragam satuan tumpah ruah di kampus Kentingan. Kendaraan militer ada di mana-mana. Tank marinir BMP-3F, Anoa, Marder 1A3, terlihat juga truk-truk berwarna hijau terparkir di pinggir jalan kampus. Senjata-senjata juga disiagakan. Dari rudal RBS-70 hingga meriam Caesar 155/52 155 mm yang berdiri kokoh di area lapangan rektorat.
Suara bising pesawat jet yang melintas di langit Kentingan memekakkan telinga. Pos-pos pengamanan didirikan. Ada di area Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) serta di depan gedung SAT Puskom. “Pengepungan” paling masif sendiri ada di depan gedung rektorat dr. Prakosa.
Tapi yang dikepung kok santai-santai saja? Mereka malah berkeliling dari satu pos ke pos yang lain. Naik dengan santai ke kendaraan militer yang terparkir. Paling banyak yang berswafoto dengan para tentara. Bahkan mereka rela berpanas-panasan menonton anggota TNI yang ada di tengah lapangan rektorat. Eh, panggung besar juga didirikan di lapangan. Seperti ada hajatan saja.
MEMANG sedang ada hajatan di kampus Kentingan. Ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) yang diperingati tiap tanggal 10 Agustus. Hajatan ini juga masih dalam rangkaian Lustrum UNS ke-8. Nama hajatannya, TNI-UNS Technomilitary Festival 2016. Berlangsung sejak Rabu (10/8) hingga Jumat (12/8), UNS menggandeng berbagai satuan TNI dalam hajatan ini. Beberapa di antaranya adalah Pangkalan Udara Adi Soemarmo, Pangkalan Angkatan Laut Semarang, Grup 2 Kopassus, Batalyon Infanteri 400/Raider, serta Akademi Militer Magelang.
Menurut Wakil Rektor (WR) I UNS, Sutarno, UNS ingin menggandeng TNI dalam mengembangkan riset bidang pertahanan dan keamanan. “UNS merasa perlu menggandeng TNI, sehingga hasil penelitian nantinya dapat menjadi produk unggulan dalam mendukung kebutuhan pembangunan pertahan keamanan nasional, sesuai dengan acuan riset yang harus bermuara pada hilirisasi dan komersialisasi,” jelasnya (Solopos, 4 Agustus 2016).
Solopos juga mencatat, Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Adi Soemarmo Solo, Kolonel (Nav.) Agus Priyanto ingin TNI lebih dikenal masyarakat. Dan yang perlu garisbawahi, Kepala Penerangan Korem 074-Warastratama Surakarta (Kapenrem), Mayor (Inf.) Mantang, mengaharapkan pameran ini mampu mengubah stigma negatif bahwa TNI dan mahasiswa merupakan kubu yang berseberangan.
HARAPAN Mantang bukan tanpa alasan. Hubungan militer dan mahasiswa di Indonesia memang naik-turun. Pada 1966 misalnya, Parakitri Tahi Simbolon menuliskan bahwa hubungan militer dan mahasiswa adalah hubungan partnership. “Sejak itu mulai dikenal istilah partner … ABRI adalah satu patner dari satu basis kekuatan lain yang ternyata belum ada,” tulisnya yang dikutip Hargyaning Tyas, dkk dalam Tentara yang Gelisah (1999: 172). Kala itu militer dan mahasiswa adalah dua komponen penting yang menopang berdirinya Orde Baru.
Hubungan keduanya kemudian renggang ketika meletus peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Mahasiswa berencana menyambut Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Alasannya: anti modal asing. Demonstrasi akhirnya berlanjut menjadi kerusuhan. Panglima Komando Kemanan dan Ketertiban (Kopkamtib) waktu itu, Soemitro, langsung diberhentikan dari jabatannya oleh Soeharto.
Kegiatan politik mahasiswa sempat dilarang pasca peristiwa Malari. Tapi itu hanya berlangsung kurang dari lima tahun. “Puncaknya menjelang sidang umum MPR 1978, gejolak mahasiswa tak bisa lagi ditahan. Berbagai aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi dengan substansi sama, menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983,” tulis Try Harijono dalam Harian Kompas edisi khusus 50 Tahun Kompas (26 Juni 2015).
Mahasiswa yang tidak lagi didukung miiter semakin tersudut. Daoed Joesoef yang kala itu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di setiap perguruan tinggi dibubarkan. Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) juga dikeluarkan untuk mematikan pergerakan mahasiswa. Dalam wawancara dengan harian Kompas baru-baru ini (8 Agustus 2016), Daoed mengaku mengeluarkan NKK/BKK agar universitas kembali menjadi forum intelektual. “Masa itu, kampus sangat riuh dengan kegiatan politik dan rawan ditunggangi. Lalu kapan mahasiswa belajar dengan baik?” jelasnya.
Mahasiswa semakin tidak berkutik kala Soeharto menunjuk kalangan ABRI sebagai pucuk tertinggi pimpinan kampus. Dua di antaranya adalah Rektor Universitas Indonesia (UI), Nugroho Notosusanto (1982-1985) dan Rektor UNS, dr. Prakosa (1980-1985).
“Hampir semua kepustakaan tentang ideologi Marxisme, maupun yang ada kaitannya dengan itu, harus diserahkan ke sebuah lembaga yang hingga kini masih dipertahankan, yaitu Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional),” tambah Hargyaning Tyas, dkk. Mahasiswa digiring kembali ke kampus lewat NKK/BKK, tapi tidak dibiarkan bebas berpikir secara akademis.
Pasca pelaksanaan Sidang Umum Majelis Pemusyawaratan Rakyat (SU-MPR), 1 sampai 11 Maret 1998, TNI – yang kala itu masih bernama ABRI – sempat mengundang beberapa kelompok mahasiswa, termasuk Universitas Sebelas Maret, untuk berdialog di Kemayoran. Undangan ini adalah bentuk antisipasi ABRI terhadap upaya demonstrasi mahasiswa di jalan. “Jika pemikiran, langkah, dan tindakan mahasiswa itu destruktif dan anarkis, ABRI siap menghadapinya,” ujar Jenderal TNI kala itu, Wiranto (Harian Bergerak, 24 Maret 1998). Ucapan Wiranto ini terbukti dalam upaya represif militer menghadapi demonstrasi mahasiswa saat peristiwa Trisakti Mei 1998. ABRI mengeluarkan tembakan langsung ke arah demonstran dan menewaskan empat mahasiswa.
DILEMA menghadapi demonstrasi atau aksi massa memang sering dihadapi TNI. “Di satu sisi mereka harus menjalankan tugas sebagai aparat keamanan, di sisi lain yang mereka hadapi adalah mahasiswa, dan masyarakat sipil (Tyas, 1999: 99).
Lain halnya dengan Zhahrul M.S, mahasiswi Fakultas Hukum angkatan 2012 yang juga anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS. “Tidak. Tidak ada dilema,” katanya saat ditemui di markas Menwa UNS (11/8) . Ia kini menjabat Kepala Urusan Keputrian. Menwa sendiri adalah salah satu kekuatan sipil sebagai perwujudan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) di tingkat universitas.
Pasalnya, Menwa sering didaulat menjaga keamanan ketika terjadi demonstrasi mahasiswa. “Kita kan menjalankan tugas masing-masing. Dalam hal ini kami bertugas untuk mengamankan aset-aset kampus,” lanjutnya. “Kan sama-sama membela rakyat. Cuma beda perannya saja.”
Beberapa jam sebelumnya, Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang hadir dalam kuliah umum bertajuk Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri sebagai Modal Membangun Menuju Indonesia Emas, (11/8). Dalam kuliah tersebut Gatot menyampaikan pentingnya peran masyarakat sipil dalam menjaga kedaulatan NKRI bersama TNI.
Dalam materi perkuliahan, jenderal yang empat kali melaksanakan operasi di Timor Timur dan dua kali di Papua ini, menyampaikan perihal ancaman kedaulatan lewat proxy war. Mengutip Dandan (2012), Gatot menuliskan bahwa proxy war adalah “sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan untuk mengurangi resiko kongflik langsung yang bersiko pada kehancuran fatal.
Apa contohnya?
Gerakan separatis dan peredaran narkoba adalah dua di antaranya. Contoh lainnya, menurut Gatot, adalah demonstrasi massa. “Demonstrasi massa yang berlangsung selama ini tidak semuanya memiliki tujuan dan permasalahan yang jelas. Bahkan sering ditemui demonstran yang tidak mengetahui apa yang akan diperjuangkan dalam demonstrasi tersebut,” tulisnya. Gatot sedang menarik mahasiswa atau mengulur hubungan keduanya?[]
(Foto: Panji Satrio/LPM Kentingan)
/p