SPAM Kampus dan Prasangka Terus Menerus

Oleh: Vera Safitri

 

Sejak berdiri di awal 2016, berbagai tuduhan dialamatkan kepadanya.

 

PERTEMUAN antara Solichin, Dosen Fakultas Tenik Universitas Sebelas Maret (UNS) dengan rombongan Kementrian Pekerjaan Umum (PU) sekira bulan November 2013, mengawali berdirinya Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) kampus yang diresmikan 11 Maret lalu. Solichin yang kala itu bersama dengan Rektor UNS, Ravik Karsidi, sedang melakukan perjalanan ke Jerman untuk memenuhi undangan Karlsruher Institut für Technologiean (KIT) Jerman. Dalam perjalanan, mereka memperbincangkan berbagai macam obrolan. SPAM Kampus UNS yang diklaim bernilai 13,5 miliar rupiah itu pun bermula dari obrolan-obrolan mereka.

 

“Pak Ravik, kita itu punya program lho! Namanya Sistem Penyediaan Air Minum,” ujar salah satu pejabat PU kepada Ravik Karsidi kala itu. “Yang sudah mengajukan itu UGM [Universitas Gadjah Mada] sama ITB [Institut Teknologi Bandung]. Kalo UNS mau, mangga silakan mengajukan.” Tawaran itu disambut baik oleh Ravik Karsidi. Ia lantas menyerahkan urusan pengajuannya kepada Pak Sholi, panggilan Ravik Karsidi kepada Solichin. Sepulangnya Solichin dan Ravik Karsidi dari Jerman, mereka langsung sibuk mengurusi keperluan pengajuan pendirian SPAM Kampus.

 

“Sebenarnya SPAM itu sudah diajukan sejak 2014 sih Mbak, waktu ketua PU-nya masih Pak Djoko Kirmanto,” kata Solichin yang kini menjabat Kepala SPAM Kampus UNS, saat ditemui pada 20 Maret 2016 di Fakultas Teknik UNS. “Tapi baru terealisasi tahun 2015 akhir, setelah ketua PU nya diganti.”

 

Dia juga sempat menuturkan tujuan dari pendirian SPAM Kampus. Antara lain untuk menyediakan air minum gratis bagi para sivitas akademika dan juga untuk mengurangi sampah plastik yang ditimbulkan oleh air minum kemasan.

 

Namun sayang, masih banyak sivitas akademika UNS terutama kalangan mahasiswa yang menyangsikan tujuan mulia itu. Banyak dari mereka yang masih enggan beralih dari air minum kemasan ke air minum gratis yang telah disediakan SPAM Kampus UNS. Bahkan, ada pula sebagian mahasiswa yang sama sekali tidak mau mengkonsumsi air minum SPAM Kampus. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Solichin mengenai air yang diproduksi oleh SPAM Kampus UNS yang seringkali tersisa cukup banyak.

 

“Padahal idealnya ya, harus habis. Supaya sirkulasi airnya baik. Kalo gitu kan bisa merusak alat juga, karena air yang terlalu lama mengendap di tanki-nya itu,” ungkapnya.

 

 

AGUNG Nugroho tengah mengecek keadaan air dalam tanki pengolahan, ketika saya mendatangi gedung SPAM Kampus UNS, 23 Maret lalu. “Pernah dulu itu, satu tanki yang airnya masih banyak harus dibuang karena baunya berubah,” kata staf operator SPAM Kampus ini. “Kayak bau got! Soalnya yang minum sedikit,” katanya lagi, sambil mengamati layar monitor di depannya yang berisi data keadaan air di tanki pengolahan. Agung juga bercerita bahwa kini, ia dan karyawan SPAM Kampus UNS lainnya sering berkeliling ke dispenser-dispenser yang ada di Kampus UNS. Bukan untuk mengajak mahasiswa minum air SPAM. Tapi sekadar mengalirkan air agar sirkulasi air menjadi lancar dan hal yang sama – air berbau got – tidak terulang lagi.

 

SPAM Kampus UNS kini mampu memproduksi 40 meter kubik air minum dalam sehari. Jumlah ini terbilang wajar, mengingat jumlah sivitas akademika UNS yang sekira 37 ribu orang itu. Logikanya, setiap orang akan mendapatkan satu liter lebih air minum. Itu ekspektasinya. Realitanya? Air minum gratis ini tak pernah habis. Bahkan stok air minum yang tersisa bisa mencapai 60% dari total air minum yang diproduksi. Kalau sudah begini, air terpaksa dibuang sia-sia.

 

Ada beragam alasan yang dilontarkan para mahasiswa terkait keengganan mereka mengkonsumsi air minum yang disediakan SPAM Kampus UNS. Alasan yang paling banyak saya temukan adalah, mengenai rasa air yang berbeda dari air kemasan yang ada di pasaran. Alia Yunara, mahasiswi Fakultas Hukum UNS 2015, menyebut rasa air minum SPAM tersebut “aneh” dan memilih untuk membawa air minum sendiri dari rumah.

 

Masih sekitar persoalan rasa, tak jauh berbeda dengan apa yang di sampaikan oleh Alia, Umi Amanah, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya jurusan Sastra Indonesia 2014 mengaku sudah tak pernah lagi mengkonsumsi air minum gratis yang disediakan oleh Kampus. “Dulu aku pernah minum air itu, tapi karena rasanya menurutku aneh jadi sampai sekarang aku enggak pernah lagi minum air SPAM,” ujar Umi.

 

 

PRABANG Setyono, Kepala Program Studi S2 dan S3 Ilmu Lingkungan UNS mengatakan bahwa rasa air minum SPAM ini memang berbeda. Rasa yang ada pada air ia sebut sebagai kadar kesadahan. Pria yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jendral (Sekjen) Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) ini menjelaskan, hal ini wajar saja karena area tanah yang menjadi lokasi sumur SPAM Kampus UNS berada pada wilayah tanah kapur. Mau tidak mau air yang dihasilkan masih terpengaruh oleh kandungan kapur. “Ketika kita mengambil air tanah maka struktur tanah yang ada di situ akan mewarnai kulaitas air yang diperoleh,” jelasnya.

 

“Tapi apakah itu bisa mempengaruhi sistem metabolisme tubuh, Pak?” tanya saya.

 

“Selama itu tidak melebihi baku mutu air minum ya, saya rasa tubuh kita masih dapat menolerasi,” jawabnya. “Tapi meski begitu, bakal lebih baik jika itu (kesabahan) tidak ada,” tambahnya.

 

Baku mutu air minum sendiri didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 492/MENKES/PER/IV/2010, bahwa air minum haruslah tidak berasa, tidak berwarna dan tidak berbau. Sementara menurut Balai Laboratorium (BLK) Yogyakarta, air minum yang berasal dari SPAM Kampus UNS ini telah memenuhi ketiga syarat tersebut. Sehingga BLK Yogyakarta bersedia mengeluarkan sertifikasi bagi SPAM Kampus UNS. Selain dari rasa, warna, dan bau tadi, kadar zat padat yang terlarut dalam air atau yang lebih beken disebut Total Dissolved Solids (TDS), menjadi salah satu hal yang penting untuk menentukan kelayakan air minum. Bagi mereka yang awam, standar kadar TDS pada air minum ini cukup membingungkan. Karena menurut baku mutu air minum dalam Permenkes yang telah di sampaikan tadi, kadar TDS dalam air harus dibawah 500 part per million (ppm). Sedangkan World Health Organisation (WHO) mengharuskan kadar TDS dalam air minum tidak lebih dari 40 ppm. Perbedaannya 100 kali lipat lebih.

 

Hasil sertifikasi kelayakan air minum SPAM Kampus UNS yang dikeluarkan Balai Kesehatan Yogyakarta.
Hasil sertifikasi kelayakan air minum SPAM Kampus UNS yang dikeluarkan Balai Kesehatan Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sedikit kaget mengetahui hal tersebut, saya langsung memberondong dua pertanyaan sekaligus kepada Prabang. “Kenapa bisa begitu, Pak? Lalu standar mana yang harus kita ikuti?”

 

Prabang pun menjelaskan panjang lebar, dan menganalogikannya dengan standar mesin pembakaran yang ada pada mobil di Eropa yang berbeda dengan di Indonesia. “Kalau di Indonesia kan masih euro two, sedangkan di Eropa itu sudah euro four, Indonesia enggak bisa menerapkan hal itu,” katanya, “sama halnya dengan air itu tadi, kalo kita mengambil sebuah patokan juga melihat sumber daya yang ada di kita.” Singkatnya, Indonesia belum mampu menghasilkan air berstandar “Eropa.”

 

Sebenarnya angka 500 ppm adalah batas toleransi tubuh terhadap zat padat yang terkandung dalam air. “Karena apa? Ya karena untuk menghasilkan air minum dengan kadar TDS yang rendah itu wah, rumit sekali. Harus di treatment dulu,” jawabnya. Untuk pertanyaan saya yang kedua ia menjelaskan, “ya itu sudah dari hasil penelitian memang. Kalo dalam batas di bawah itu, minimal tubuh kita masih bisa toleransi,” kata Prabang.

 

Dalam lembaran sertifikasi yang dikeluarkan oleh BLK Yogyakarta, air minum yang berasal dari SPAM Kampus UNS tercatat mengandung 469 ppm.

 

 

PROSES pengolahan air menjadi air minum yang dilakukan SPAM Kampus UNS ini bisa dibilang tidak instan walau memakan waktu yang cukup singkat. Ada banyak tahapan yang harus dilewati dan diproses menggunakan peralatan pengolah air yang diimpor dari luar negeri. Bahkan peralatan yang digunakan oleh SPAM UNS ini disebut-sebut lebih canggih dibandingkan peralatan di SPAM Kampus UGM yang lebih dulu didirikan oleh pihak Kementrian PU. Karena menggunakan tenaga panel surya dan sistem ultra violet (UV) yang dapat membunuh bakteri dengan lebih baik.

 

Diawali dengan memompa air tanah berkedalaman 120 meter, air dialirkan ke dalam tanki media filter. Tanki media filter ini berfungsi menyaring kotoran-kotoran yang terdapat pada air, seperti pasir, batu-batu kecil, lumut dan sebagainya. Kemudian air dialirkan menuju tanki media karbon yang berfungsi untuk menghilangkan rasa, warna dan bau. Lalu air ditampung ke break tank. Dalam tanki ini air sekadar di tampung saja tanpa mengalami proses apapun.

 

Setelah itu, air dialirkan lagi menuju micro filter yang berfungsi menyaring sisa-sisa kotoran yang masih terdapat pada air. Lalu air masuk ke tanki ultra filter, dimana air akan kembali disaring. Tanki ultra filter ini menyaring molekul dan mikroba yang ukurannya sangat kecil. Air lalu ditampung lagi ke dalam tanki penampungan reservoir. Di dalam tanki reservoir inilah, air disinari dengan sinar UV untuk membunuh bakteri dan zat-zat yang tak dibutuhkan. Lalu air dialirkan ke tanki yang berada di atas menara setinggi 20 meter. Air ditampung di tempat yang tinggi agar dapat mengalir dengan lancar ketika didistribusikan. Tahapan selesai, air siap didistribusikan ke 105 mesin dispenser yang tersebar di UNS.

 

(Infografis: Dian Lestari)
(Infografis: Dian Lestari)

 

 

 

Proses yang dilewati memang cukup panjang. Hanya saja, belum bisa menepis praduga yang mencuat di kalangan mahasiswa ihwal kelayakan air minum. Prabang hanya bisa mengingatkan agar tak menelan mentah-mentah isu yang muncul. “Semuanya ya harus diuji kebenarannya dulu, kan?” tuturnya.[]

 

(Foto: Rofi’ah Nurlita)

 


Fera Safitri. Sosiologi UNS 2015. Memaksa ingin dipanggil Vera (dengan huruf V) meski dalam akta kelahirannya tertulis Fera. verasafitri602@gmail.com.