Revolusi Informasi dan Matinya Ilmu Komunikasi

Pada Januari 1996, majalah Cakram terbit dengan laporan utama bertajuk “Komunikasi dalam Gelombang Revolusi Informasi.” Dampak munculnya internet di Indonesia sejak tahun 1994 menjadi fokus utama edisi tersebut.

Kala itu, Indonesia baru memiliki 10.000 pengguna internet. Dari jumlah tersebut, 30 persen di antaranya ada di perusahaan-perusahaan dan sisanya adalah pengguna rumahan. Baru lima media cetak – Kompas, Republika, Media Indonesia, Gatra, dan Swa Sembada – yang saat itu memiliki laman internet. “Tak lama lagi media cetak-cetak lain juga akan mengikuti jejak kelima media itu,”tulis Simon Sinaga dalam artikel “Terjangan Revolusi Informasi di Indonesia”.

Tanggapan menarik datang dari Doktor Komunikasi Illinois University, Alwi Dahlan. Alwi mengutarakan perubahan konsep komunikasi yang akan terjadi akibat kehadiran internet. Melimpahnya informasi membuat orientasi komunikasi tidak lagi berada di tangan komunikator (pengirim pesan), namun bergeser ke komunikan (penerima pesan). “Dalam internet, begitu banyak provider dan home page, sehingga pemakai internet dapat memilih apa yang mereka inginkan,”kata Alwi. Dengan kata lain, konsep komunikasi klasik – who, say what, in which channel, to whom, with what effect – tak lagi berlaku.

Sembilan belas tahun kemudian, angka pengguna internet melonjak dari 10.000 pengguna ke 88 juta pengguna (tertulis dalam artikel “Pengguna Internet Indonesia Tembus 88 Juta”, kompas.com, 26 Maret 2015). Artinya, 88 juta pengguna internet aktif menyeleksi dan memilih informasi. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia.

Sebenarnya, hal ini telah diprediksi oleh Alvin Toffler pada 1989. Dalam bukunya, “The Third Wave”, Toffler menyebut masyarakat era sekarang sebagai masyarakat informasi. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa informasi menjadi kebutuhan primer bagi khalayak. Melalui interaksi yang masif, setiap kejadian tidak bisa tidak, kudu dikabarkan lewat media. Mulai dari yang paling umum seperti kejadian politik, bencana alam, dan pertandingan olahraga. Hingga yang tidak penting, macam foto makanan yang akan disantap, swafoto di ruang kuliah, atau status gegana (gelisah galau merana) remaja yang putus cinta.

Ketidaksiapan Masyarakat

Masyarakat Indonesia berangkat dari budaya lisan yang sangat kuat. Di ruang-ruang publik misalnya, sangat jarang kita temui orang yang menyendiri membaca buku di tengah keramaian. Memainkan gawai pun dianggap sebagai tindakan anti sosial dan individualis.

Hal ini juga bisa dilihat dari kecenderungan penggunaan media. Normalnya, khalayak akan melalui fase media cetak terlebih dahulu, baru kemudian media penyiaran dan internet. Bagi masyarakat Indonesia media cetak layaknya angin lalu. Ada, namun hanya penyejuk sekilas.

Berlalunya fase media cetak membuat masyarakat Indonesia tidak memiliki budaya literasi yang kuat. Padahal, dalam menghadapi revolusi informasi, tidak hanya kecepatan yang dibutuhkan. Kecermatan komunikan dalam memilih informasi menjadi kunci utama. Dalam hal ini, tampak dua konsekuensi gagalnya budaya literasi masyarakat.

Pertama, ketidakmampuan dalam mengoptimalkan informasi. Pengguna internet di Indonesia memiliki kecenderungan meloncat dari satu informasi ke informasi yang lain secara cepat. Bila kita perhatikan situs-situs berita ternama di Indonesia, panjang satu tulisan rata-rata hanya 1500 hingga 2000 karakter–bahkan kurang dari itu. Satu lagi, hampir setiap situs berita menggunakan slide show sebagai tampilan utamanya. Masyarakat hanya butuh kecepatan informasi. Soal ketajaman dan kedalaman tulisan, itu nomor sekian.

Berbanding terbalik dengan media-media nasional, situs-situs berita di luar negeri hanya memindahkan media berita. Dari surat kabar cetak ke halaman web. Ini membuat ketajaman analisis tulisan tetap terjaga. Media-media seperti New York Times, The Washington Post, dan The Guardian, tak segan menurunkan berita panjang (7000-8000 karakter) dengan kemungkinan analisis yang lebih mendalam. Penggunaan slide show amat jarang. Budaya literasi masyarakat yang kuat menjadi faktor utama, sehingga pembaca betah berlama-lama membaca satu tulisan sampai habis. Informasi yang diserap pun lebih optimal.

Kedua, etika komunikasi yang amburadul. Tidak adanya tanggung jawab sosial membuat dunia maya menjadi wilayah pelampiasan netizen. Hal-hal yang tidak mampu dilakukan di dunia nyata diekspresikan di internet. Makian SARA, gambar-gambar kekerasan, dan postingan beraroma pornografi adalah yang terbanyak. Bahasa kekiniannya lagi; ujaran kebencian.

Situs medan.britaku.net misalnya, menjadi situs yang banyak menyebarkan foto-foto yang menyalahi etika jurnalistik. Dalam sebuah tulisan misalnya, situs tersebut menyertakan foto dua orang dibakar hidup-hidup karena begal. Tulisan lain memiliki judul bernada cabul dan disertai foto-foto syur. Maka benarlah kata grup musik Efek Rumah Kaca, “ketika birahi yang juara, etika menguap entah ke mana.”

Matinya Ilmu Komunikasi

Secara tidak langsung, kedua persoalan tadi menjadi tanggung jawab para ilmuwan komunikasi. Sumbangsih mereka dalam kajian dan penelitian berperan dalam cara pandang dan prediksi terhadap fenomena-fenomena komunikasi.

Ironisnya, ilmuwan-ilmuwan komunikasi Indonesia masih dalam taraf pengguna gagasan. Tri Guntur Narwaya dalam Matinya Ilmu Komunikasi, mengkritisi pragmatisme para peneliti ilmu komunikasi. Kebanyakan penelitian hanya mengulang dan meniru penelitian sebelumnya, dengan hanya mengubah sedikit kasus dan lokasi penelitian. Akhirnya, “… kerja-kerja penelitian di bidang ilmu komunikasi belum memberikan arti pada perubahan-perubahan yang dibutuhkan masyarakat” (Narwaya, 2006: 73).

Pragmatisme ini menular ke kalangan mahasiswa. Saya sering risih ketika mendengar pernyataan-pernyataan semacam “paling, nanti teori-teori ini tidak terpakai waktu kerja.” Atau, “yang penting itu praktiknya, nggak belajar ini pun masih bisa jadi penyiar.” Di tengah minat yang tinggi terhadap ilmu komunikasi dan revolusi informasi yang begitu cepat, kajian-kajiannya justru mandek. Kalau tidak segera ditangani, maka ajal ilmu komunikasi hanya tinggal menunggu waktu.

Muhammad Satya

Mahasiswa Pejalan kaki