Oleh: Anindita P
Butuh sekitar 53 tahun setelah kemerdekaan Indonesia, bagi pers untuk memperoleh kemerdekaannya. Hal ini dikarenakan dalam menjalankan amanahnya, tak jarang pers bergelut dengan aturan pemerintah yang silih berganti. Peraturan yang dibuat pemerintah dengan pelbagai amandemen mempunyai inti yang sama: keharusan adanya izin pemerintah untuk membuat terbitan jurnalistik. Sebagai contoh Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No. 10/1960 dan Tap MPR Nomor II/MPRS/1960 yang mengatur tiap perusahaan pers diwajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT). SIT ini kemudian dihapuskan dan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dalam UU Nomor 21 tahun 1982 yang intinya tidak lain adalah sama: Pers adalah lidah pemerintah!
Barulah setelah runtuhnya Orde Baru tahun 1998, segala aktivitas pers memperoleh kemerdekaannya. Kebebasan ini bahkan dimuat dalah UU nomor 40 tahun 1999 yang menjamin kemerdekaaan pers. Masyarakat umum turut memperoleh kebebasan: bebas berkumpul, menyampaikan pendapat, mencari dan memperoleh informasi dengan segala saluran yang ada tanpa adanya intervensi kepentingan pihak tertentu, sesuai Pasal 28F UUD 1945. Dengan demikian, kedaulatan tertinggi RI berhasil dikembalikan ke tangan yang berhak—rakyat.
Kebebasan menyampaikan opini menjadikan masyarakat kian kritis terhadap jalannya pemerintahan. Ini adalah baik, dimana masyarakat dapat memberikan kontrol kepada para pengampu amanah dan mengawasi jalannya demokrasi agar tetap merakyat. Media massa kritis pula dalam memberi informasi dan wawasan dari/ke dua arah, sebagaimana tugas utama pers: memperluas wawasan para elit penguasa dan membuka mata masyarakat luas (Masduki, 2003). Namun demikian, kebebasan pers yang telah didapat ini bukannya tidak diiringi dengan masalah.
Tak Lagi Setia
Setelah reformasi, pers mempunyai posisi menjadi pilar ke empat setelah trias politica John Locke, setelah badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pers mempunyai kedudukan amat strategis. Dan karenanya, pers banyak diinfiltrasi oleh pelbagai kepentingan, mulai dari dalam pers itu sendiri maupun pihak-pihak eksternal. Dari badan pers sendiri, ada kecenderungan dalam mengartikan kemerdekaan pers sebagai kebebasan dalam menyampaikan berita pada khalayak. Bentuk dalam penyalahan tafsir kebebasan pers menurut editor senior, Rosihan Anwar, dalam kutipannya di buku Setengah Abad Pergulatan Etika Pers, dapat berupa penulisan opini pribadi penulis dalam berita yang dibuat untuk menggiring pemikiran pembaca ke arah yang dimau. Akibatnya adalah ketidakvalidan berita yang disajikan pada pembaca. Sehingga justru pers sendirilah yang merebut hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Kebebasan pers banyak dimanfaatkan pula oleh pihak-pihak di luar institusi pers. Tidak dipungkiri bahwa perusahaan pers adalah suatu perseroan terbatas (PT), dimana penyelenggaraan kegiatannya dilaksanakan dengan modal dasar dari persekutuan pemilik saham.Untuk mencegah monopoli dalam pers maka penyelenggaraannya mengacu UU No 40 tahun 2007 yang mengatur tentang PT. Namun, di lapangan, pers tetaplah sebuah industri raksasa yang membutuhkan asupan modal besar secara kontinu. Dan, pemegang saham mempunyai modal besar sebagai penggerak mesin press yang mencukupi. Maka terciptalah suatu simbiosis yang–nampak dari satu sisi—saling menguntungkan. Pada akhirnya, pemilik modal seringkali diberi keleluasaan dalam pemberitaan dan pengiklanan. Kelonggaran semacam ini tentunya mengurangi kewibawaan dan kebijaksanaan awak media.
Intervensi juga tidak jarang dilakukan demi pencitraan politik dan ajang propaganda yang dilakukan guna menarik dukungan dan simpati masyarakat. Contoh nyatanya dapat kita temui pada pemilihan umum (pemilu) 2014 lalu dimana para pemilik perusahaan pers terjun langsung dalam pergulatan partai-partai politik. Hadirnya pemegang perusahaan pers dalam tubuh partai seolah menjadi manusia setengah dewa baru yang dapat memberi pengaruh ke seluruh negeri lewat media yang ia punya. Dapat kita rasakan menjelang pemilu berbagai media gencar memberitakan kegiatan masing-masing calon presiden. Hal ini adalah lumrah, jika penyajiannya berimbang dan tidak menjatuhkan salah satu kandidat. Permasalahannya adalah keberpihakan media, baik cetak maupun elektronik, yang memberitakan salah satu kandidat secara impulsif dan cenderung mengesampingkan berita lawan politiknya. Sebagai contoh misalnya salah satu stasiun TV, MNC group dengan CEO Hary Tanoesudibyo, yang tergabung dalam koalisi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, atau contoh lain adalah masuknya Surya Paloh dari Metro TV ke dalam kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla. Keberpihakan ini jelas menyalahi UU No 32 tahun 2000 tentang penyiaran dimana pada pasal 2 mengharuskan media memiliki asas manfaat, netral, adil dan merata, serta pasal 36 ayat 4 dimana isi siaran harus dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
Aplikasi kebebasan penyajian warta yang terbiasa mengesampingkan UU semacam ini pada akhirnya dapat menciptakan pers liberal—kebablasan— sehingga kebebasan pers tidak lagi menjadi instrumen pembentuk masyarakat madani. Ataukah, pers sedang menjadikan dirinya kembali menjadi toa penciptaan rezim baru pemerintah, yang dengan kata lain, mengkhianati UUD 1945 dengan merebut kembali kedaulatan dari tangan rakyat?