Ibu Bintang Sejak Kecil

 

Desa Wangi, Senin, 9 Oktober 2006.

Sebuah mobil sedan hitam mengkilap melaju perlahan di atas jalanan desa yang tidak rata. Di dalamnya seorang gadis SMP sedang bercengkrama dengan wanita tua tapi cantik dan bersih, seperti orang kaya. Dari barang bawaan mereka, sepertinya mereka hendak kembali ke kota. Ke tempat asal mereka.

“Memang benar-benar ibu yang sangat penyabar. Membesarkan lima anak yang usianya hampir sama, itu bukan hal yang mudah. Apalagi, dia seorang diri. Saya ingat waktu pertama kali saya bertemu dengannya, dia bercerita kalau anak kesayangannya adalah kamu. Waktu asmanya kumat dan harus dirawat inap di klinik, dia memilih pulang cuma untuk mengambil rapormu, padahal sudah ada Pak Soleh. Dan asal kamu tahu, ibu kamu mau menggadaikan rumah demi mendaftarkan kamu ke SMA favorit yang kamu pilih.”

Dua orang itu kemudian terdiam, seorang laki-laki tua berkaca mata menyeberang jalan di depan mobil mereka. Wajahnya aneh, seperti menyampaikan sebuah pesan. Gadis SMP itu mulai berkeringat, kemudian air matanya menitik tak terasa.

“Tunggu,” ucap gadis itu, “kita harus putar balik sekarang!”

***

 

Desa Wangi, Sabtu, 7 Oktober 2006

“Bintang!”

“Kenapa Bu? Aku nggak salah?! Kalau besok permintaanku tidak dikabulkan, aku menuntut pergi dari rumah ini!”

“Berhenti berteriak, Bintang! Ganti seragammu dan segera makan siang. Jangan banting pintu lagi!” seorang wanita dengan daster bunga-bunga membuka penanak nasi, “ibu sudah minta orang untuk betulkan engselnya, kemarin.”

“BRAK!!”

“Bintang!

***

“Aku cuma ingin ketemu ibu. Apa aku salah?” seorang gadis SMP – Bintang bertanya pada laki-laki berkaca mata di sebelahnya, “apa aku menuntut yang tidak-tidak? Aku cuma meminta hak.”

Langit memerah. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji dari mushola. Para peternak di samping rumah sederhana bercat hijau kusam itu mulai sibuk menggiring ayam-ayamnya masuk kandang.  Setelah melepas kaca mata, dan memijit pelan pelipisnya, laki-laki itu mulai menjawab.

“Sama sekali tidak salah. Wajar anak seusiamu memberontak. Saya juga paham, keinginanmu bertemu ibu juga sangat besar. Kalau kamu bertemu dia, jangan sekali-kali kamu perlakukan dia dengan kasar.”

Bintang menyibak anak rambutnya ke belakang telinga, sambil berkata “kalau begitu, besok pagi aku harus bertemu ibu. Kalau tidak, aku kabur dari sini.”

“Jangan melakukan hal bodoh.”

“Aku menemui ibuku, Pak. Apa itu bodoh?”

“Pikirkan perasaannya. Dia orang yang sudah membesarkanmu sejak kecil.”

“BRAK!” gadis itu menggebrak meja di samping tempatnya duduk.

“Orang-orang di rumah ini bikin aku pusing! Aku nggak kerasan lagi di sini!”

Kedua orang yang terpaut jauh usianya itu, termenung. Beberapa saat kemudian adzan magrib terdengar. Setelah mengambil peci di meja, laki-laki berkaca mata itu bergegas ke mushola.

“Pokoknya, besok ibu harus ke sini! Aku sudah mengemasi baju-bajuku, Pak.”

Laki-laki itu menoleh, “pikirkan sekali lagi keputusanmu. Jangan terburu-buru.”

***

 

Desa Wangi, Minggu, 8 Oktober 2006

Suara televisi terdengar dari pintu utama, membuat orang-orang di luar tahu, kalau ada orang di dalam rumah. Wanita dengan tas anyaman berisi sayur-sayuran masuk ke rumah itu tanpa mengetuk pintu, suara batuknya mengagetkan Bintang yang sedang menonton TV sambil kipas-kipas.

“Bantu ibu masak di dapur, ya Bintang?”

“Darimana saja sih, Bu? Aku cari sejak pagi,” nada ketus Bintang terdengar lagi.

Sambil berjalan, wanita berdaster itu menjawab, “dari pasar. Ibuk kira kamu sudah hafal kebiasaan ibuk tiap minggu pagi.”

Bintang menyusul wanita itu ke dapur, “bagaimana, Bu?  Keinginanku sudah dipikirkan semalaman?”

Wanita itu terkaget, sambil terbata-bata ia mencoba menjawab, “ibuk belum ikhlas. Jangan minggu ini, ya?”

Bintang mendengus sekali, “berapa nomor teleponnya, Bu? Biar aku telepon sendiri!”

“Jangan Bintang!”

“Aku sudah mengemasi baju-baju, Bu. Besok aku harus pergi dari rumah ini. Pastikan mereka menjemput aku!” wanita berdaster itu terdiam, menunduk, menahan tangis, “i-iya, Bintang. Nanti malam ibuk telepon mereka.”

“Siang ini lah, Bu!”

“I-iya, siang ini, sehabis ibuk masak.”

Seketika raut ketus Bintang berubah menjadi bahagia. Berkali-kali ia meloncat kegirangan, membuat wanita berdaster bunga-bunga itu sedikit tersenyum, walau dalam hatinya menangis.

***

 

Desa Wangi, Senin, 9 Oktober 2006.

“Terima kasih ya, Bu sudah memperbolehkan Bintang untuk pergi.” Ujar seorang wanita cantik dengan pakaian seperti orang kaya.

“I-iya. Bintang pasti bahagia sekali kalau diizinkan pergi.”

“Betul Bintang?” tanya wanita cantik itu kepada gadis SMP di sebelahnya.

Bintang mengangguk mantap, “pak Soleh mana, Bu? Aku belum pamit.”

“Nanti biar ibu yang pamitkan. Kamu segera pergi saja, ini kan yang kamu mau sejak lama?”

Wanita berdaster itu menyeka sudut matanya, tampak ada yang ingin menyeruak keluar barusan. Air mata wanita itu sudah tak tertahan. Sambil berpaling ia menyekanya, kemudian menunduk.

“Kalau begitu, saya dan Bintang permisi dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Bintang dan wanita cantik di sebelahnya masuk ke sebuah mobil yang parkir agak jauh dari rumah mungil bercat hijau kusam itu. Perlahan, mobil pun melaju, menjauh dari papan kayu bertuliskan “Panti Asuhan Desa Wangi”

***

“Waalaikumsalam,” sambil menyeka air mata dan bersuara serak, seorang wanita berdaster membuka pintu rumah, “Bintang??”

Sekejap saja, tubuh gadis SMP merangkul tubuh wanita tua itu, kemudian didekapnya erat-erat sambil sesegukan dan menangis, “maafkan aku Bu Dewi. Aku mau tinggal di sini. Bu Dewi adalah ibuku.” ujarnya dalam isak.

Wanita bernama Dewi itu menatap wanita cantik di belakang Bintang. Wanita itu mengusap air mata sambil mengangguk merelakan putrinya kembali ke pelukan ibu asuh yang sudah membesarkannya sejak ia tinggalkan di depan panti asuhan, 13 tahun lalu. (AyasMutiara)

***