Yunita Tri Hastuti

Ruang Kecil, Mimpi Besar: Bahasa Isyarat Jembatan Kesetaraan di UNS

Di sebuah kelas kecil, 20 orang mahasiswa tengah duduk dan serius memperhatikan seorang pengajar yang berdiri di depan kelas. Tangan-tangan mereka bergerak indah, mencoba menyusun gerakan sederhana untuk menyapa dalam bahasa isyarat sambil sesekali melihat ke arah papan tulis yang menampilkan coretan aksara dan gambar benda sederhana. Atmosfer kehangatan terasa, canda tawa menghiasi ruangan ketika Dela sebagai pengajar tuli berusaha mencoba berkomunikasi dengan gerakan tangan lincah. Tak ada jarak antara pengajar dan mahasiswa, hanya semangat untuk belajar bersama.

Gerakan tangan yang semula kaku lambat laun berubah menjadi alur komunikasi yang hidup. Mahasiswa mulai terbiasa mengekspresikan diri tanpa suara, melalui gerakan dan ekspresi wajah. Mereka saling membantu, tak ragu memperbaiki ketika ada kesalahan. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya keterampilan tambahan. Namun, bagi mahasiswa tuli di Universitas Sebelas Maret (UNS), gerakan ini adalah jembatan komunikasi yang memutus rasa sunyi.

Inisiatif Kampus Inklusif

Berangkat dari komitmennya sebagai kampus inklusif, UNS melalui Pusat Studi Disabilitas (PSD) telah menghadirkan berbagai kegiatan pelatihan demi menyelaraskan perwujudannya sebagai kampus ramah difabel. Kini, PSD UNS telah menapaki tahun ketiganya dalam menjalankan pelatihan bahasa isyarat. 

Pada tahun 2025, pelatihan ini  hadir kembali dengan menggandeng Persatuan Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO) Jawa Tengah sebagai mitra utama. Di samping itu, PSD UNS juga berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS dalam menyelenggarakan dan memasifkan kegiatan ini. Setiap akhir pekan, sejak 5 hingga 21 September, ruang kelas di Gedung LPPM UNS dipenuhi oleh peserta yang antusias mempelajari bahasa yang berbicara lewat gerakan tangan.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pelatihan bahasa isyarat kini menyasar  tak hanya untuk mahasiswa, tetapi juga seluruh sivitas akademika dan insan yang ada di UNS. Melalui program ini, PSD UNS memiliki harapan besar untukmembangun kesadaran bersama bahwa inklusivitas harus berawal dari semua lapisan. 

 “Mindset kampus inklusif harus bergerak dari bawah ke atas. Mulai dari mahasiswa, tenaga kependidikan, security, dosen, sampai ke pimpinan agar mereka para mahasiswa disabilitas dapat merasakan manfaat layanan disabilitas yang sebenarnya,” ujar Erdi, Wakil Ketua Pelaksana Pelatihan Bahasa Isyarat. 

Selain menyediakan program pelatihan bahasa isyarat, PSD UNS juga memberikan pelatihan orientasi mobilitas bagi para mahasiswa penyandang tuna netra dan tuna daksa. Pelatihan ini juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa reguler untuk mendapatkan keterampilan dalam menangani mahasiswa tuna netra. Dukungan ini diperkuat oleh Forum Relawan untuk Mahasiswa Disabilitas (FORDIS), yang juga bergerak demi mewujudkan inklusivitas kampus. Forum ini memberikan dukungan kepada mahasiswa disabilitas dalam kegiatan akademik dan kehidupan sosial, seperti penyediaan Juru Bahasa Isyarat (JBI) hingga membantu penyediaan aksesibilitas serta kebutuhan teknis lain bagi mahasiswa disabilitas. 

Tidak berhenti di situ, dukungan juga diberikan oleh PSD UNS dalam memberikan strategi kuliah bagi mahasiswa baru penyandang disabilitas supaya lebih saling memahami dengan lingkungan kampus, meliputi dasar-dasar supaya tidak merasa tertinggal dan dibedakan dengan mahasiswa regular. 

Belajar dari Tangan yang Bicara

Pelatihan bahasa isyarat terasa istimewa karena PSD UNS mendatangkan pengajar tuli yang dalam kesehariannya mengandalkan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Melalui gerakan tangannya, Dela memberikan pengalaman nyata tentang bagaimana komunikasi inklusif benar-benar bekerja. Kehadirannya menjadi jembatan yang mempertemukan teori dengan realitas, sehingga peserta pelatihan dapat sekaligus belajar tentang arti sebuah inklusivitas.

Bagi Dela, mengajari teman-teman dengar tentang bagaimana berkomunikasi dengan bahasa isyarat memang menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya. “Sebetulnya tantangannya adalah teman-teman dengar itu belum paham. Jadi konsepnya dulu diberikan secara visual supaya jelas, kemudian disesuaikan dengan bahasa isyaratnya. Saya pikir teman-teman dengar kalau melihat aja agak kurang, jadi perlu gestur.”

Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi, Dela mengikuti pelatihan untuk mengajar. Barulah setelahnya ia melakukan penyesuaian jadwal dan seperti apa audiens yang akan dihadapi. Dela juga memastikan bahwa kurikulum yang dibawakan harus memberikan rasa nyaman, dan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Melihat antusiasme peserta pelatihan bahasa isyarat yang luar biasa membuat Dela merasa  bahagia. “Kalau audiensnya seru, saya juga ngerasa seneng. Supaya kelas tetap seru, saya tambahin main game selama kelas,” ujarnya. Namun, yang lebih ia harapkan adalah kesinambungan. “Kalau sudah belajar bahasa isyarat terus kemudian tidak bertemu dengan teman-teman tuli, artinya belajar itu berhenti di situ. Jadi harus tetap belajar dengan bertemu teman-teman tuli. Enggak harus jadi JBI, yang penting bisa berteman, nongkrong bareng, biar jadi jembatan komunikasi.”

Dela pun juga berpesan, “Pendidikan inklusivitas di UNS sudah bagus, tapi masih perlu dikembangkan. Jumlah JBI masih sedikit, padahal teman tuli butuh hak untuk informasi. Kalau JBI kurang, informasi yang kami terima juga kurang. Semoga ke depan makin banyak.”

Antusiasme Menyambut Inklusivitas

Melihat antusiasme mahasiswa yang begitu tinggi dalam menyambut program pelatihan bahasa isyarat menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi PSD UNS. Terhitung sebanyak 192 pendaftar mahasiswa, dan hanya 20 mahasiswa dari total keseluruhan pendaftar yang berhasil lolos. Mereka mampu melewati alur seleksi yang cukup ketat, mulai dari administrasi hingga wawancara. Mereka mampu membuktikan bahwa mereka layak terpilih dengan menunjukkan kepedulian pada isu disabilitas di kampus.

Bagi Fara, mahasiswa Program Studi Sastra Arab angkatan 2023 yang berhasil mengikuti kelas ini menuturkan bahwa kegiatan ini amat berkesan baginya.

 “Awal-awal sedikit kaget, karena yang mengajar sendiri itu dari teman tuli, tapi ini justru lebih bagus ya menurutku. Aku dapat pengalaman baru dan ya agak kesulitan karena aku tipe yang sulit kalau mengingat gerakan apalagi aku juga belum punya background knowledge sebelumnya. Tapi di sini aku ngerasa supportivitas antar mahasiswa peserta itu sangat amat suportif,” ungkapnya dengan tatapan haru. 

Rizqy, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris angkatan 2024, juga merasa momen paling berkesan adalah ketika ia mendapat nama isyarat. 

“Polanya beda dengan bahasa biasa, kadang subjek serta predikatnya kebalik. Di sini aku juga berusaha untuk mengasah kemampuan bahasa isyarat karena di kedepannya aku akan  terjun di dunia pendidikan. Untuk bekal saat mengajar bagi penyandang teman tuli juga,” ujarnya. 

Ia juga mengatakan bahwa selepas rangkaian kelas ini, Rizqy ingin memberikan manfaat kepada sekitarnya dengan menjadi volunteer.  

Melalui program pelatihan bahasa isyarat, UNS tak hanya menyediakan akses fisik saja, tetapi juga membangun kesadaran kolektif, bahwa mahasiswa disabilitas juga berhak mendapat pengalaman belajar yang setara. Kedepannya, PSD berencana untuk akan memperluas program mereka, bahkan hingga ke ruang publik. Dimulai dari rencana membuka kelas komersial, hingga menghadirkan juru bahasa isyarat dalam khutbah Jumat di Masjid Nurul Huda UNS. “Harapannya kampus ini benar-benar terasa inklusif selain dari segi sarana prasarana tetapi juga pengelolaan sumber daya manusia,” tambah Erdi.

Semua itu demi satu tujuan, yaitu menjadikan UNS sebagai kampus inklusif yang nyata, bukan sekadar jargon belaka. Berawal dari ruang kelas sederhana itu, UNS sedang menuliskan bab baru bahwa pendidikan tinggi bukan hanya tentang ilmu, tetapi juga tentang keberpihakan pada kesetaraan.

 

Penulis: Marsa Anggita Fairuza dan Yunita Tri Hastuti

Editor: Rohmah Tri Nosita