Dalam berbagai narasi heroik, mahasiswa sering disebut sebagai agen perubahan—mereka yang berdiri paling depan ketika suara rakyat dibungkam, ketika keadilan dilanggar, ketika kemapanan harus digugat. Namun di balik romantisme itu, terselip kenyataan pahit: pergerakan mahasiswa kian kaku, tumpul, dan kehilangan taringnya. Aksi yang dahulu menjadi simbol keberanian kini kerap berubah menjadi seremonial belaka, kehilangan daya gugat. Pergerakan mahasiswa membutuhkan refleksi kritis, bukan sekadar untuk bernostalgia, tetapi untuk mengembalikan peran sejatinya sebagai kekuatan moral dan intelektual yang berpihak pada rakyat.
Birokratisasi Gerakan
Gerakan mahasiswa hari ini lebih sibuk mengurus administrasi ketimbang merespons situasi. Aksi yang seharusnya menjadi respons cepat atas ketidakadilan justru tertunda oleh rapat-rapat panjang dan detail prosedural. Gerakan tak lagi cair, ia menjadi institusional. Aksi bukanlah proker dan bukan pula event yang memerlukan rundown, MC, dan sesi foto resmi. Perlawanan akan kehilangan rohnya jika ia dikurung dalam format formalitas yang justru menggerus spontanitas dan keberaniannya. Hierarki juga nampaknya sering menghalangi keselarasan koordinasi. Beberapa bagian ingin bergerak, bagian lain merasa belum saatnya. Alih-alih menjadi kekuatan kolektif, energi justru habis untuk menyamakan langkah, sementara momentum isu perlahan menghilang.
Kepentingan yang Mengaburkan Tujuan
Tak dapat dimungkiri, kerap tersimpan kepentingan politis yang bersembunyi di balik spanduk dan toa. Entah itu demi eksistensi pribadi, ambisi struktural, atau tekanan eksternal dari aktor-aktor yang mengemban kepentingan lain. Ketika suara lantang mahasiswa mulai disesuaikan dengan kebutuhan citra, maka pergerakan tak lagi bebas. Sebagian kerap menokohkan figur-figur tertentu layaknya panutan tak tergugat, hingga lupa bahwa gerakan seharusnya berakar pada substansi isu, bukan pada glorifikasi figur. Akibatnya, kritik menjadi tumpul ketika sang tokoh yang diagungkan berada di pihak yang keliru, dan tujuan awal perjuangan terkubur di bawah bayang-bayang loyalitas semu.
Klaim dan Romantisasi Gerakan
Gerakan bukan ajang pencitraan, bukan arena untuk saling klaim, apalagi lomba popularitas. Gerakan adalah napas panjang—ia hidup dari keresahan, ia tumbuh dari keberanian, dan ia bertahan hanya jika kita rela mengorbankan rasa nyaman. Terlalu sering terjebak dalam urusan “siapa pemilik gerakan” seolah perubahan hanya sah jika di bawah bendera tertentu. Padahal kebenaran tak butuh sertifikat kepemilikan. Ketika gerakan mulai diperlakukan seperti properti, maka semangat kolektif pun pelan-pelan mati. Ketika gerakan dirayakan hanya sebagai estetika perlawanan, penuh jargon puitis, foto dramatis, dan narasi heroik—namun hampa aksi nyata. Romantisme membuat perlawanan terasa seperti panggung teater yang mengundang tepuk tangan, tetapi tak menggerakkan langkah. Gerakan harus kembali pada akarnya: membongkar ketidakadilan, menantang kekuasaan, dan membangun solidaritas lintas batas.
Kebingungan dan Keputusasaan
Tidak sedikit mahasiswa yang mulai merasa apa yang mereka lakukan sia-sia. Wajar, sebab di tengah realitas yang penuh tantangan, harapan sering terasa jauh dari kenyataan. Kita terlalu sering memelihara narasi bahwa perjuangan akan berakhir indah, hingga terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang justru melemahkan: “Mau sampai kapan?” “Kapan kita akan menang?” “Setelah revolusi, lalu apa?”. Alih-alih bergerak dengan strategi yang realistis, kita larut dalam bayangan utopis yang membuat pergerakan kehilangan arah. Namun, sejarah mengajarkan bahwa perubahan besar tak pernah lahir dalam semalam. Reformasi 1998 adalah contoh hasil dari proses bertahun-tahun, penuh jatuh bangun, kegagalan, dan pengorbanan. Rasa lelah adalah wajar, tapi menyerah bukanlah pilihan. Tidak ada aksi yang sia-sia apabila ia lahir dari ketulusan dan keyakinan.
Bangkitlah Mahasiswa!
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: untuk siapa dan untuk apa kita bergerak? Ketika mahasiswa mulai merasa lebih tahu dari rakyat, saat itulah jarak terbentuk, dan gerakan kehilangan nyawanya. Pergerakan tidak lahir untuk menjadi elitis. Kita tidak hanya mewakili rakyat—kita adalah rakyat. Perjuangan kita adalah perjuangan bersama, dan keresahan kita adalah keresahan bersama. Saatnya kita mengingat kembali alasan kita berdiri di barisan ini: bukan untuk bersaing, bukan untuk dilihat, tetapi untuk mengubah. Maka, bangkitlah mahasiswa! Ingat tujuan awal kita. Ingat bahwa setiap langkah kecil yang konsisten lebih berarti daripada mimpi besar yang tak pernah dijalankan. Karena sejarah tidak menunggu, sejarah akan dimiliki oleh mereka yang berani merebutnya.
Penulis: Arulina Firsta
Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah