Tangkapan Layar dari Kanal Instagram dan Tiktok

Objektifikasi dan Komodifikasi Tubuh di Ruang Digital Kampus dalam akun @uns.cantik dan @uns.ganteng

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena akun-akun bertajuk “ganteng-cantik kampus” di berbagai universitas. Fenomena tersebut juga muncul di lingkaran ruang digital mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS). Dua akun yang paling populer adalah @uns.cantik dan @uns.ganteng yang hingga saat ini aktif dengan ribuan pengikut dan mendapat respons yang cukup tinggi.

 

Pola unggahannya sama: mengkurasi mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan yang dianggap menarik secara visual yang mayoritas menonjolkan standar fisik. Sekilas tampak sebagai hiburan ringan atau bentuk kebanggaan identitas diri, tetapi di baliknya tersimpan praktik objektifikasi dan komodifikasi tubuh yang patut dikritisi, terutama karena terjadi di ruang digital akademik. 

Akun Objektifikasi Tubuh di Instagram

 

 

Akun Objektifikasi Tubuh di TikTok

 

Keempat akun tersebut berfungsi sebagai wadah “seleksi visual”, siapa yang layak disebut menarik kemudian diunggah agar dilihat, dikomentari, serta diviralkan. Di sinilah tubuh mahasiswa menjadi komoditas konten: dinilai, diperbincangkan, dan dimonetisasi secara simbolik. 

 

Objektifikasi, menurut filsuf Martha Nussbaum, terjadi ketika seseorang diperlakukan bukan sebagai manusia utuh, melainkan seperti benda, yang bisa dimiliki, digunakan, atau dinilai hanya dari penampilannya. Dalam pandangannya, seseorang disebut ter-objektifikasi ketika diperlakukan seolah: 

  1. Seperti alat untuk keperluan orang lain (instrumentalitas)
  2. Seperti tidak ada keagenan atau penentuan nasib (penolakan, otonomi, kemalasan)
  3. Seolah-olah dimiliki oleh orang lain (kepemilikan)
  4. Seolah-olah bisa ditukarkan (fungibilitas)
  5. Seolah-olah bisa dirusak atau dihancurkan (violabilitas)
  6. Seolah-olah tidak perlu memperdulikan perasaan dan pengalaman mereka (penolakan subjektivitas)

 

Akun seperti @uns.cantik dan @uns.ganteng memposisikan mahasiswa sebagai “objek visual” yang dinilai berdasarkan foto. Takarir dan komentar sering menyorot kecantikan, ketampanan, atau gaya berpakaian. Identitas mahasiswa direduksi hanya pada citra tubuh dan wajahnya.

 

Pada akun perempuan, tampilannya cenderung soft, fashionable, aesthetic, yang menonjolkan standar kecantikan populer, yaitu kulit cerah, tubuh langsing, atau rambut panjang. Sementara akun laki-laki menampilkan coolness, confidence, dan gaya berpakaian yang dianggap “keren”.

 

Ketika mahasiswa secara sukarela mengirim foto atau video ke akun tersebut, mereka turut menginternalisasi nilai bahwa “menarik = diakui.”, sehingga kuasa media sosial menciptakan kebutuhan untuk tampil sesuai selera algoritma dan audiens.

 

Dalam kerangka teori Laura Mulvey (1975) tentang male gaze, akun semacam ini memperkuat pandangan bahwa tubuh adalah objek visual publik, bukan ruang privat otonom. Perempuan dan laki-laki sama-sama masuk dalam logika tatapan, meski dengan implikasi berbeda. 

 

Selain dipandang sebagai objek, tubuh mahasiswa juga menjadi komoditas di dunia digital. Menurut teori komodifikasi dari Vincent Mosco, sesuatu disebut terkomodifikasi ketika ia diubah menjadi barang yang bernilai tukar,  bisa dijual, dikonsumsi, atau menghasilkan keuntungan simbolik maupun ekonomi. Dalam hal ini, tubuh mahasiswa menjadi “produk” yang dijual untuk likes, views, dan followers.

 

Angka ini menunjukkan bahwa tubuh dan wajah mahasiswa punya nilai tukar tinggi dalam ekonomi perhatian (attention economy). Admin akun mendapatkan keuntungan simbolik dari engagement, endorsement, dan, paid promote, sementara mahasiswa yang tampil di dalamnya hanya memperoleh validasi sosial. Namun, semua itu berjalan dalam sistem yang tidak seimbang. Siapa yang layak tampil ditentukan oleh standar tertentu. Standar-standar ini menciptakan tekanan sosial dan mempersempit makna “menarik” menjadi semata urusan visual.

 

Menariknya, dari hasil telusur melalui linktr.ee, pengelola partnership dan endorsement dari seluruh akun cantik-ganteng memiliki display picture yang sama terhubung pada satu nomor social media agency. Hal ini, merupakan hasil dari budaya digital yang terkomodifikasi. Admin akun, pengikut, hingga mahasiswa yang mengirim foto, semuanya menjadi bagian dari sistem yang sama. Dalam logika kapitalisme digital, daya tarik manusia disulap menjadi aset. Tubuh mahasiswa tidak lagi sepenuhnya milik diri sendiri, ia menjadi bagian dari mesin produksi citra kampus yang menguntungkan algoritma.

 

Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak, baik sosial maupun psikologis.

  1. Mahasiswa merasa harus selalu tampil menarik di media sosial agar diterima. Menurut teori self-objectification yang dikemukakan oleh Fredrickson dan Roberts, ketika seseorang sering dijadikan objek pandangan, ia akan mulai melihat dirinya sendiri seperti orang lain melihatnya. 
  2. Banyak komentar yang tampak seperti pujian, padahal bernuansa seksual atau merendahkan. Perilaku seperti ini termasuk bentuk pelecehan verbal yang sering dianggap lumrah padahal bisa mengganggu rasa aman perempuan.

 

Akun cantik-ganteng memperkuat logika patriarki, perempuan direduksi pada kecantikan, sementara laki-laki dinilai dari performa kegantengan. Akun @uns.cantik dan @uns.ganteng bukan “akun lucu-lucuan”. Ia adalah refleksi dari budaya konsumerisme visual di lingkungan kampus ketika tubuh, wajah, dan estetika dipertukarkan layaknya komoditas sosial. 

 

Oleh: Rizky Azzahra Amallia

Editor: Tiara Nur A’isah