Kinanti Batari Nugraheni

Bapak, Sepak Bola dan Ayat-Ayat Kecil

Mungkin bagi sebagian orang, masa kecil adalah lembaran-lembaran jernih yang selalu mudah untuk dibaca. Namun bagiku, ia tak ubahnya ayat-ayat kecil yang tersembunyi. Mulai dari sebuah bisikan-bisikan yang muncul dari balik riuhnya dinding madrasah sekolah dasar, juga dari balik ketenangan musala kampung yang setiap sore menjadi saksi bisu pengajian Ibu-Ibu. Ayat-ayat kecil yang kadang terlalu samar untuk kutangkap semua maknanya, atau justru terlalu lantang hingga mengoyak definisi “religius” yang selama ini kupahami.

Bapak selalu bilang bahwa hidup itu seperti membaca kitab suci Al-Qur’an, harus dimulai dari ayat-ayat yang paling kecil dahulu sebelum memahami surah yang besar. Tapi Bapak kadang selalu lupa untuk memberitahu, bahwa ayat-ayat kecil itu justru adalah ayat yang paling sulit dimengerti, misalnya, mengapa, setiap kali azan Maghrib berkumandang, kenapa mata bapak selalu menatap kosong ke arah televisi yang sedang menyiarkan pertandingan sepak bola.

Saya lahir di sebuah keluarga yang menurut standar masyarakat Jawa pada umumnya, cukup religius. Bapak saya adalah seorang guru agama di madrasah tsanawiyah, sementara ibu, adalah pengajar mengaji di musala kampung. Rumah kami selalu dipenuhi hiasan kaligrafi Arab, sajadah yang selalu terlipat rapi, dan aroma kemenyan yang kadang bercampur dengan bau rokok kretek bapak yang dihisap sembunyi-sembunyi di belakang rumah sehabis melaksanakan salat isya.

Saya berkali-kali mengalami kontradiksi yang cukup unik untuk hidup di keluarga ini, kontradiksi pertama dalam hidup saya bermula ketika saya berumur tujuh tahun. Bapak yang selalu menekankan pentingnya salat lima waktu, ternyata sering melewatkan waktu shalat Ashar karena terlalu asyik menonton pertandingan sepak bola Persebaya Surabaya melawan Persija Jakarta di Gelora Bung Tomo. 

“Ini bukan dosa,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika Persebaya kebobolan gol, “ini jihad melawan arogansi Jakarta.”

Logika Bapak saya memang selalu unik. Baginya, mendukung Persebaya bukan sekadar soal sepak bola, melainkan bentuk perlawanan terhadap sentralisasi kekuasaan di ibu kota. “Wong Jakarta itu kayak Firaun, Le,” katanya suatu sore sambil mengelus-elus jenggot yang mulai memutih, “semua harus terpusat di sana. Makane kita kudu melawan lewat sepak bola.”

Tapi ketika Persebaya, tim sepak bola kesukaan Bapak terdegradasi dari Liga Super Indonesia, Bapak selalu menangis. Sungguh menangis sekencang-kencangnya. Lebih keras suara tangisnya dari ketika neneknya meninggal dunia. Saya memandangnya duduk di teras, dengan punggung membungkuk dan air mata membasahi janggut yang biasa dibanggakannya itu. “Wallahu a’lam,” gumamnya, “mungkin ini ujian.”

Sementara dari sisi Ibu, Ibu selalu mempunyai reaksi yang berbeda dari Bapak. Baginya, semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur dalam lauhul mahfudz, termasuk degradasi tersingkirnya Persebaya dari Liga Super Indonesia. “Sudah, Pak,” katanya sambil menyodorkan segelas teh hangat, “mungkin Persebaya perlu tobat dulu dari segala dosa-dosanya.”

“Dosa apa, Bu?” protes Bapak. “Mau menang aja susah, masa masih dosa?”

“Ya itu dia, Persebaya terlalu napsu untuk menang. Harusnya lebih sabar, seperti para sahabat Nabi.”

Perdebatan teologis tentang sepak bola antara Bapak dan ibu selalu berlangsung berhari-hari. Dalam keseharian keluarga kami, Bapak sering mengutip hadits tentang pentingnya berusaha, dan ibu selalu mengcounter perdebatan Bapak dengan ayat-ayat tentang tawakal. Sementara saya, yang saat itu baru duduk di kelas empat SD, mulai bertanya-tanya: apakah Tuhan juga main bola? Kalau iya, tim mana yang dia dukung? Saya bertanya polos.

Pertanyaan konyol seperti itu pernah saya ajukan kepada Pak Marno, guru agama di sekolah madrasah saya yang juga kebetulan supporter fanatiknya tim Persebaya. Mukanya langsung memerah. 

“Astaghfirullah, Nak! Jangan macam-macam! Tuhan itu Maha Tinggi, tidak main bola seperti manusia.”

“Tapi kan ada hadits yang bilang kalau Tuhan senang melihat hambanya yang kuat? ’Al mu’minul qowiyyu khoirun wa ahabbu ilallahi minal mu’minidh dhoi’iifi wa fi kullin khoirun” mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai oleh  Allah dari pada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.  “Sepak bola itu pak, kan katanya adalah salah satu jalan untuk menjadi kuat. Bukan cuma kuat raga, tapi juga kuat mental. Kuat menahan kekalahan, kuat berjuang sampai akhir pertandingan,” ujar saya kepada Pak Marno, 

Pak Marno terdiam sejenak. Kemudian dia tersenyum, mengelus kepala saya. “Kamu anak yang pintar, tapi jangan terlalu banyak tanya. Nanti malah menjadikan kamu sesat.”

”Sesat”. Kata itu mulai sering saya dengar sejak saya SD. Sesat kalau terlalu banyak bertanya. Sesat kalau tidak salat lima waktu. Sesat kalau suka mendengarkan musik barat. Sesat kalau ngefans sama artis yang bukan muslim. Sesat kalau nonton film India yang ada joget-jogetnya. Sesat kalau makan daging Babi dan minum-minuman yang mengandung alkohol.

Tapi yang paling bikin saya bingung waktu itu, bahwa Bapak sendiri adalah seseorang yang sering melakukan hal-hal yang menurutnya “sedikit sesat tapi masih dalam batas wajar.” Seperti minum kopi tubruk sambil mendengarkan lagu-lagu Koes Plus di radio jadul miliknya, atau mengoleksi majalah sepak bola yang kadang-kadang memuat foto-foto WAGs (Wives and Girlfriends) para pemain bola yang berpakaian minim dan tidak menutup aurat.

“Ini kan untuk menambah wawasan tentang dunia sepak bola internasional,” belanya ketika ibu memarahinya karena ketahuan menyimpan majalah Soccer di bawah kasur.

“Wawasan apanya? Yang dilihat kan foto-foto perempuan setengah telanjang itu!”

“Lah, saya kan tidak melihat dengan nafsu. Murni apresiasi estetika”.

“Apresiasi estetika pantatmu!”

Adu mulut Bapak-ibu tentang batasan halal-haram dalam mengapresiasi keindahan ini kadang berlangsung hingga larut malam. Saya sering menguping, mendengarkan percakapan beliau dari balik pintu kamar tidur, mencoba memahami logika orang dewasa yang kadang sangat memutar-balikkan realitas demi membenarkan perbuatan mereka sendiri.

Dalam kegaduhan malam itu, saya teringat sebuah ayat kecil yang pernah Bapak bacakan: “Innamal a’malu bin niyyat” sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Tapi bagaimana cara mengukur niat seseorang? Apakah Bapak benar-benar melihat majalah itu untuk wawasan sepak bola, atau dia sedang berbohong pada diri sendiri? Tanya saya pada diri sendiri.

Ayat-ayat kecil kehidupan keluarga kami memang penuh kontradiksi, seperti kaligrafi Arab yang indah tapi sulit untuk dipahami artinya. Di satu sisi, kami keluarga yang taat beragama, shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat fitrah, bahkan sesekali umrah kalau ada rezeki lebih. Tapi di sisi lain, kehidupan sehari-hari keluarga kami dipenuhi oleh kompromi-kompromi kecil yang kalau ditotalkan, mungkin sudah cukup untuk membuat para ustadz di televisi geleng-geleng kepala seperti boneka goyang di dasbor mobil.

Ambil contoh soal makanan. Ibu selalu memastikan semua yang kami makan selalu tetap halal. Daging sapi dari Rumah Potong Hewan yang sudah bersertifikat MUI, sayuran dari pasar yang tidak bercampur dengan pedagang non-muslim, bahkan sabun mandi pun harus yang berlabel halal. Tapi ketika libur semester sekolah saya tiba, Bapak sering mengajak saya makan di warung Tionghoa di ujung gang yang pemiliknya Pak Tjandra. Pak Tjandra sudah jadi teman baik Bapak sejak berpuluh-puluh tahun.

“Pak Tjandra itu baik, Le,” kata Bapak sambil menyeruput bakso kuahnya dengan lahap. “Dia tidak pernah bohong soal bahan makanannya. Lebih jujur dari banyak orang Islam yang suka menipu kaumnya sendiri.”

“Tapi dia kan bukan muslim, Pak?”

“Lah, terus kenapa Le? Yang penting dia kan orang baik. Kamu masih ingat kan ayat yang bilang ‘lakum dinukum waliyadin’? Buat dia agamanya, buat kita agama kita. Yang penting kita saling menghormati”. Ingat Le, ”Innama buitstu li utammima makarima al akhlaq” sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. 

“Nah, kalau akhlaknya sudah mulia, agama apa pun yang dia peluk, tetap harus dihormati,” tambahnya sambil menunjuk ke arah Pak Tjandra yang sedang dengan sabar melayani pelanggan di warungnya.

Logika Bapak memang selalu praktis. Baginya, beragama itu lebih soal akhlak dari pada formalitas identitas KTP saja. Tapi ketika saya menceritakan hal ini kepada teman-teman di sekolah madrasah islam, responnya selalu pada kaget.

“Wah, Bapakmu liberal banget ya?” kata Ahmad, teman sekelas saya yang Bapaknya ketua organisasi keagamaan Islam yang cukup keras.

“Liberal gimana?”

“Ya itu, makan di warung Cina. Bapakku bilang itu tidak baik. Bisa menular kafirnya.”

“Kafir itu bisa menular?”

“Kata Bapakku sih bisa. Makanya kita harus hati-hati bergaul sama non-muslim.”

Saya pulang dengan kepala penuh pertanyaan yang berputar-putar seperti gasing yang tidak mau berhenti. Kalau kafir bisa menular, berarti iman juga bisa menular dong? Tapi kenapa banyak orang Islam yang akhlaknya pada jelek? Dan Kenapa banyak orang non-muslim yang baik hati? Apakah mungkin ada vaksin untuk mencegah penularan kafir?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering saya ajukan kepada Bapak sambil dia sedang menyirami tanaman di halaman belakang rumah, aktivitas yang tampaknya menjadi ritual meditatifnya setiap sore.

“Kamu ini kenapa sih, Le, suka banget mikir yang aneh-aneh?”

“Kan penasaran, pak”

Bapak berhenti menyiram, duduk di bangku kayu yang sudah lapuk. “Gini ya, Le. Agama itu kayak sepak bola. Ada aturannya, ada wasitnya, ada pemainnya. Tapi yang paling penting adalah bagaimana cara kita bermain. Bisa aja kita hafal semua aturan offside, tapi kalau mainnya kotor, ya percuma.”

“Terus kalau ada pemain dari tim lain yang mainnya bagus?”

“Ya kita apresiasi. Tidak apa-apa mengakui kehebatan lawan. Justru itu sportif. ’Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhihi ma yukhibbu linafsihi” tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri”.

“Nah, kata ‘saudara’ di sini tidak terbatas pada sesama muslim saja Le, tapi semua manusia,” jelasnya sambil melanjutkan menyiram bunga mawar yang sedang mekar.

Analogi Bapak tentang sepak bola memang selalu membantu saya memahami banyak hal. Tapi ketika saya menerapkan logika yang sama di sekolah madrasah saya, hasilnya selalu tidak menyenangkan.

Suatu hari, Pak Marno bercerita tentang Perang Badar, bagaimana kaum muslimin yang jumlahnya sedikit bisa mengalahkan kaum kafir Quraisy yang jumlahnya banyak. “Ini membuktikan bahwa Allah selalu membantu orang-orang yang beriman,” katanya dengan penuh semangat.

Saya mengangkat tangan dengan polos. “Pak, kalau begitu kenapa timnas sepak bola Indonesia yang mayoritas agamanya muslim sering kali kalah sama timnas negara lain yang mayoritasnya non-muslim?”

Kelas langsung hening. Pak Marno melongo seperti ikan yang baru saja ditarik pemancing dari air.

“Maksudmu apa, nak?”

“Ya itu, kalau Allah selalu membantu orang beriman, harusnya timnas sepak bola kita selalu menang dong? Atau minimal tidak kalah telak sama Australia, Korea atau Jepang?”

Pak Marno menggaruk-garuk kepala. “Itu… itu beda konteks, Nak. Perang Badar itu perang jihad, bukan pertandingan sepak bola.”

“Tapi Bapak saya bilang kalau mendukung Persebaya itu juga jihad melawan arogansi Jakarta.”

Beberapa teman di ruang kelas kemudian tertawa. Pak Marno tampak kewalahan seperti penjaga gawang yang kedatangan bola dari segala arah.

“Sudah-sudah, jangan terlalu banyak bertanya. Yang penting kita beriman dan beramal shaleh.”

Lagi-lagi jawaban yang sama, selalu saja saya dapatkan: jangan terlalu banyak bertanya. Padahal Al-Quran sendiri penuh dengan pertanyaan-pertanyaan retoris yang mengajak manusia untuk berpikir. “Afala ta’qilun?” mengapa engkau tak berpikir? Itu adalah salah satu ayat yang sering dikutip Bapak ketika menjelaskan pentingnya menggunakan akal. Tapi kenapa setiap kali kita mencari ilmu dengan bertanya dan berpikir, kita justru diminta diam?

Kontradiksi-kontradiksi kecil ini terus menumpuk dalam kepala saya seperti tumpukan sampah yang tidak pernah diangkut. Di rumah kami, Bapak mengajarkan Islam yang fleksibel dan humanis, di sekolah saya, guru-guru mengajarkan Islam yang kaku dan penuh larangan, di jalanan, saya melihat banyak orang yang mengaku muslim tapi perilakunya jauh dari ajaran Islam. Sementara itu, di televisi, ustaz-ustaz berceramah tentang Islam yang sempurna tapi pemeluknya kemudian yang menjadikan agamanya tidak sempurna. 

Yang paling membingungkan adalah soal identitas etnis. Keluarga kami memang orang Jawa, tapi Bapak sering bilang bahwa dia bangga jadi orang Indonesia. “Saya Jawa, tapi Indonesia dulu,” katanya. Tapi ketika Persebaya bertanding melawan tim dari luar Jawa, solidaritas kedaerahannya langsung muncul.

“Eh, orang Jawa kok mendukung tim Sumatra?” protesnya ketika melihat saya mengenakan jersey Sriwijaya FC yang dibelikan om Budi, kakak ibu yang kerja di Palembang.

“Kan bagus jerseynya, Pak.”

“Bukan soal bagus atau tidak. Ini soal kesetiaan kepada tanah kelahiran.”

“Bukannya kita harus setia kepada Indonesia?”

“Ya, tapi dalam konteks sepak bola, kita harus setia kepada daerah dulu”, “Hubbul wathon minal iman” cinta tanah air adalah bagian dari iman. “Tapi tanah air itu berlapis-lapis, Le. Ada tanah air kecil, yaitu daerah kelahiran kita. Ada tanah air besar, yaitu Indonesia. Keduanya harus kita cintai, tapi dalam porsi yang berbeda,” jelasnya dengan logika yang rumit seperti rumus aritmatika tingkat tinggi.

Logika berlapis ini menjadi semakin rumit ketika saya masuk SMP Negeri yang bukan sekolah madrasah seperti saya SD dulu. Ibu menyarankan saya untuk mengambil sekolah tersebut, karena pertimbangan jaraknya yang sangat dekat dengan rumah, berjarak hanya 3 kilometer saja dari jarak rumah. Di SMP tersebut, kemudian saya mulai berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Ada Joni, teman saya yang beretnis Tionghoa namun agamanya Kristen, Wayan yang beragama Hindu dan berasal dari Bali, Benediktus yang beragama Protestan dari Batak, dan teman saya Alina yang Islam garis keras.

Keragaman ini sebenarnya indah, tapi sekaligus menantang semua yang selama ini saya yakini tentang sebuah identitas. Joni, meskipun non-muslim, ternyata lebih jujur dan tidak pernah menyontek saat ujian. Wayan selalu membagi bekal makanannya kepada teman-teman yang tidak bawa bekal. Benediktus, meskipun sering ribut, selalu membela teman yang diintimidasi.

Sementara beberapa teman yang beragama Islam, justru sering berbohong, menyontek, dan bahkan mem-bully teman yang berbeda agama.

“Kenapa bisa begini, ya Pak?” tanya saya kepada Bapak suatu sore.

“Begini gimana?”

“Ya itu, kenapa teman-teman yang non-muslim kadang lebih baik akhlaknya daripada yang agamanya muslim?”

Bapak menghela nafas panjang. “Tole, agama itu seperti seragam sekolah. Memakai seragam sekolah, tidak otomatis membuat kamu jadi siswa yang baik. Yang penting adalah bagaimana kamu berperilaku saat memakai seragam itu.”

“Tapi kan harusnya orang Islam itu lebih baik karena punya guidance yang jelas?”

“Harusnya sih begitu. Tapi kenyataannya tidak selalu. Manusia itu kompleks, Le. Ada yang memakai agama sebagai petunjuk hidup, ada yang cuma dijadikan label identitas sebagai kebutuhan diakuinya warga negara saja.” Yang penting bukan seberapa keras kita berteriak mengaku beriman, tapi seberapa konsisten kita menjalankan nilai-nilai kebaikan.

Percakapan dengan Bapak selalu memberikan pencerahan, tapi sekaligus menambah keraguan. Semakin banyak saya bertanya, semakin banyak pula pertanyaan baru yang muncul. Bagai menggali sumur, semakin dalam kita menggali, semakin banyak air keruh yang keluar sebelum menemukan sumber mata air yang jernih.

Yang paling sulit dipahami adalah soal makanan. Kenapa babi haram tapi kambing dan sapi yang juga sama-sama makan tumbuhan tidak menjadikan dagingnya haram? Kenapa kemudian minuman yang mengandung alkohol menjadi haram tapi tapai, makanan yang juga mengandung alkohol menjadikan dia halal untuk dikonsumsi? Kenapa es krim yang pakai gelatin babi menjadi haram tapi ketika ada obat dalam kapsul yang mengandung gelatin babi boleh untuk diminum kalau untuk kesehatan?

“Itu namanya rukhshah,” jelas Bapak ketika saya tanya soal obat gelatin. ”Rukhsah dalam Islam adalah kondisi keringanan atau dispensasi yang diberikan oleh syariat Islam kepada seorang Muslim, namun dalam kondisi tertentu, sehingga sesuatu ibadah dapat dilaksanakan dengan lebih mudah atau berbeda dari hukum asalnya. Singkatnya, dalam kondisi darurat, yang haram bisa jadi boleh”.

“Tapi siapa yang menentukan kapan darurat dan kapan tidak pak?”

“Ya ulama.”

“Kalau ulama beda pendapat gimana?”

“Ya kita pilih pendapat yang paling masuk akal.”

“Siapa yang menentukan mana yang masuk akal?”

“Ya kita sendiri.”

“Berarti kita sendiri yang menentukan halal-haramnya sebuah sesuatu?”

Bapak terdiam. Saya tahu dia sedang berpikir keras untuk menemukan jawaban yang tepat.

“Tidak begitu juga, Tole. Ada aturan dasarnya. Tapi dalam penerapannya, memang ada interpretasi.”

“Interpretasi sama dengan subjektif dong?”

“Eh, jangan terlalu filosofis. Nanti malah pusing sendiri.”

Tapi saya sudah terlanjur pusing seperti orang yang baru turun dari komidi putar yang berputar terlalu kencang. ”Semakin dewasa, semakin banyak ayat-ayat kecil kehidupan yang tidak bisa saya pahami dengan logika sederhana pak”. Kenapa orang yang rajin shalat tapi korupsi dianggap lebih baik dari pada orang yang tidak shalat? Kenapa orang yang hafal Al-Quran namun mempunyai sifat sombong dianggap lebih mulia dari pada orang yang tidak bisa baca Al-Quran tapi rendah hati?

Dalam keheningan malam, saya sering merenungkan ayat kecil yang pernah Bapak bacakan dengan suara bergetar: “La yadkhulul jannata man kana fi qalbihi mitsqala dzarratin min kibrin”  tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi di dalam hatinya. Tapi mengapa banyak orang yang mengaku religius justru tampak sombong dengan pengetahuan agamanya? Dan yang paling ironis, semakin banyak saya belajar tentang agama, semakin banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh agama itu sendiri. Atau mungkin, agama sudah memberikan jawabannya, tapi manusianya yang terlalu sibuk mencari jawaban sempurna untuk pertanyaan yang pada dasarnya telah ditakdirkan untuk tidak akan pernah menemukan jawaban secara sempurna.

 

Penulis: Raka Mahendra

Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah