Oleh: Vera Safitri
Pergulatan dua gadis bule di negeri seribu bahasa.
“NAMA saya Lo-kha!” Ujar gadis di depan saya. Rambut merahnya sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Kedua matanya bulat berwarna cokelat. Hidungnya mancung khas Eropa. Barangkali tiga kali lipat lebih mancung dibanding orang Jawa pada umumnya.
“Lo-ha ?” Saya mengulangi.
“Bukan, tapi Lo-kha,” dia tertawa melihat saya kesulitan menyebut namanya. Butuh tiga kali pengulangan hingga akhirnya saya dapat mengucapkannya dengan benar. Bunyi “kha” di sini terdengar seperti huruf “Kha” – huruf ketujuh dalam aksara Arab, harus dari tenggorokan. Padahal namanya tertulis Laura, L-A-U-R-A. Tak ada huruf “H” sama sekali.
“Tidak apa-apa, karena sudah terbiasa itu jadi lucu,” katanya sambil tertawa kecil dan menatap gadis lain yang berada di sebelah kirinya, Marion. Kali ini nama itu berbunyi sesuai dengan tulisannya. Namun, tak sedikit pula yang masih juga salah menyebut namanya itu. Seorang dosen mata kuliah Lembaga Sosial selalu memanggilnya Mario.
“Ya, dia [si dosen] bilang Mario dan saya bilang padanya Marion,” ujar gadis asal Prancis itu.
“Tapi tidak apa-apa, sudah terbiasa,” ungkapnya sembari tersenyum.
Marion seperti gadis Eropa kebanyakan. Kulitnya putih agak kemerahan, rambut pirang, dagunya runcing dan ukuran hidungnya tak jauh berbeda dengan Laura. Pada saat Ia menemui saya pagi itu, Ia mengenakan topi yang sengaja dipakai miring. Mengingatkan saya pada gaya seorang penyanyi Hiphop di tahun 2000-an.
Baik Laura maupun Marion maklum dengan kesalahan pengucapan nama mereka. Toh mereka berdua mengambil peminatan Bahasa Indonesia, jadi sudah paham dengan perbedaan pelafalan dalam bahasa Indonesia dan negara asal mereka, Prancis.
Lantas, mengapa mereka bisa “terdampar” di daratan ujung kota Surakarta ini?
Sebenarnya, Laura dan Marion adalah dua dari enam orang mahasiswa Université de La Rochelle, Prancis yang sedang menjalani progam pertukaran pelajar di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Mereka akan tinggal di Surakarta selama satu semester.
Tak hanya UNS saja yang menjalin kerjasama melalui program pertukaran pelajar dengan universitas bergengsi di Prancis itu. Menurut peta kerjasama yang terpampang di laman resmi Université de La Rochelle, ada empat universitas lain di Indonesia yang menjalin program serupa yakni, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Surabaya, dan Universitas Haluoleo Kendari. Lalu, kenapa Surakarta yang dipilih?
“Kami lihat di sini tidak begitu ramai turis, masih banyak penduduk lokal sehingga bisa belajar Bahasa Indonesia dengan baik,” ungkap Marion.
“Kami belajar bahasa Indonesia sudah dua setengah tahun,” ujar Laura, kata “setengah” Ia ucapkan jadi “setenggah.”
“Wah itu cukup lama,” sahut saya sekadar memberi rasa kagum. “Apakah kalian juga bisa berbahasa Jawa?”
“Tidak,” jawab mereka hampir bersamaan. Padahal hampir semua dosen UNS mencampurkan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar ketika menyampaikan materi di kelas. Otomatis kedua gadis Prancis ini tak mengerti apa yang disampaikan dosen.
Apes nya lagi, mereka berdua sempat memilih mata kuliah Kebudayaan Jawa. Hampir seluruh pengajarannya menggunakan bahasa Jawa.
“Akhirnya kami belajar dengan buku dan tulisan Jawa dan sekarang sudah tidak apa-apa,” Marion terkekeh saat menceritakan pengalamannya itu.
BAYANGKAN Rangga yang tengah berdialog dengan Cinta dalam film Ada Apa dengan Cinta. Rangga yang konsisten dengan “saya” dan “kamu,” berhadapan dengan si gaul Cinta yang lebih nyaman mengunakan “elo” dan “gue.” Lidah Rangga kini menjelma dalam lidah orang asing yang belajar bahasa Indonesia, termasuk Laura dan Marion. Mereka berdua harus berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia lebih banyak menggunakan bahasa tidak baku termasuk bahasa slang atau bahasa gaul. Ihwal bahasa ini, Laura dan Marion sempat kewalahan. Orang-orang Indonesia kebanyakan tidak berbicara menggunakan Bahasa Indonesia baku sebagaimana yang mereka pelajari.
Alkisah, suatu pagi Laura dan Marion selesai mempresentasikan tugas mata kuliah Lembaga Sosial. Topiknya mengenai kondisi keagamaan di Prancis. Seorang mahasiswa lalu bertanya pada mereka.
Mahasiswa berkumis yang mengenakan kacamata hitam itu memulai, “kan bulan-bulan yang lalu di Prancis sempet ada pengeboman, ya kan? Dan yang dituduh itu orang muslim ya enggak sih?” ujarnya. Laura yang sedang berdiri sambil memegang naskah presentasinya itu sempat mengerutkan dahinya sebelum kemudian ia menganggukkan kepala. Lelaki tadi pun melanjutkan “Nah yang pengin saya tanyain tuh, gimana sih orang-orang Prancis ngeliat orang muslim di sana?”
Mendengar ucapan lelaki itu, seketika Laura dan Marion saling menatap satu sama lain. Akhirnya Laura menggelengkan kepala, “Apa?” tanyanya tak mengerti. Lelaki tersebut lantas mengulangi pertanyaannya tadi. Namun kedua gadis Prancis ini masih juga tak mengerti dan kembali bertanya, “Apa? Saya tidak mengerti,” ujar Laura.
Pertanyaan pun diulang lagi dan lagi, hasilnya hanyalah gelengan kepala dari kedua bule ini. Seisi kelas pun tertawa. Salah seorang mahasiswi yang duduk di depan lelaki tersebut menegur dan meminta lelaki tersebut untuk menggunakan bahasa formal. Saat pertanyaan kembali diulang dengan menggunakan bahasa Indonesia formal, Laura pun menepuk paha kanan-nya lantas berkata “Aaah..saya mengerti!”
Seisi kelas kembali tertawa, akhirnya pergulatan bahasa itu pun usai.
Di Indonesia, bahasa tidak baku memang lebih populer ketimbang bahasa baku. Bahasa tidak baku cenderung diterapkan pada bahasa lisan, sementara bahasa baku lebih banyak dijumpai dalam tulisan. Selain lebih enak diucapkan, bahasa ini juga dapat membawa penuturnya ke dalam suasana keaakraban. Lantas dengan mudah diterapkan oleh masyarakat Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari. Tak ayal, banyak orang dengan fasih menyelipkan kata gimana (bagaimana), kayak (seperti), serta menggunakan awalan nge- dan akhiran –in pada tiap kata kerja aktif yang mereka ucapkan. Sedangkan bahasa slang sendiri lebih cepat bereproduksi dengan ragam kosakata barunya seperti keleus, kepo, woles dan ribuan kosakata lainnya yang hampir selalu dijumpai dalam percakapan sehari-hari.
“Jika ada yang berbicara dengan bahasa gaul, kami tidak mengerti,” ujar Marion sambil membenarkan letak topinya. Seperti biasa ia selalu tersenyum.
Mengenai fenomena ini, Dosen Linguistik, Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia UNS, Fx. Sawardi mengatakan, masyarakat Indonesia memang terlalu banyak menggunakan bahasa tidak baku maupun bahasa slang dalam berkomunikasi. Ini bukanlah fenomena yang dapat disalahkan, karena pada dasarnya memang bahasa itu berkembang. “Jika keadaanya begini terus, bukan hal yang mustahil jika suatu saat ragam kosakata formal yang digunakan saat ini akan hilang dan tidak akan digunakan lagi oleh generasi berikutnya,” ujarnya saat saya temui di Kantor Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu budaya UNS pada 10 Mei 2016 lalu.
Namun kesulitan inilah yang membuat Laura dan Marion tertantang. “Kami menyukai Bahasa Indonesia. Kami tertarik dengan bahasa yang jarang ada di Prancis,” ungkap Laura. “Ternyata Bahasa Indonesia lumayan sulit,” lanjutnya.
“SETELAH program ini selesai, saya akan melanjutkan kuliah Bahasa Indonesia di Prancis hingga S-2.” Laura berhenti beberapa detik lalu berkata, “Saya ingin menjadi dosen Bahasa Prancis di Indonesia,” ungkapnya mantap.
“Saya ingin jadi emm.., Travel Agency Prancis di Indonesia,” Marion menyahut.
Itu jadi kalimat terakhir yang mereka ucapkan pada saya hari itu. Saya lalu menyalami mereka. Kami pun berpisah. “Sampai jumpa Lo-ha, sampai jumpa Marion!”, dengan suara setengah teriak, saya melambaikan tangan. Laura yang tadinya telah berjalan beberapa langkah, mendadak berhenti dan membalikkan badan. Rambut merah sebahunya terkibas. Dia tersenyum dan menatap saya lamat-lamat. Alisnya terangkat dan sambil berkacak pinggang ia berkata.”Lo-kha !”[]
Fera Safitri. Sosiologi UNS 2015. Memaksa ingin dipanggil Vera (dengan huruf V) meski dalam Akta Kelahirannya tertulis Fera. Surel: verasafitri601@gmail.com.