Yunita Tri Hastuti

Pager Waja ing Surakarta: Saat Kethoprak Menjadi Benteng Budaya

Malam itu, udara Jebres berhembus pelan. Lampu-lampu panggung berpendar, tepukan tangan para penonton menggelegar, menyaksikan pertunjukan pentas seni di area luas lapangan parkir Techno Park Jebres, Solo yang telah diubah menjadi panggung pertunjukan seni raksasa. Ratusan pasang mata berbinar menanti dengan sabar, sebagian duduk di kursi yang disediakan, sebagian lain rela berdiri di pinggir panggung. Di hadapan mereka, bukan sekadar panggung biasa, melainkan lembar sejarah yang hendak dihidupkan kembali lewat seni pertunjukan “Kethoprak Kolosal Pager Waja ing Surakarta” yang digelar Sabtu, 20 September 2025.

Rangkaian Babad Kademangan Jebres tahun 2025 sejatinya bukan hanya acara biasa, melainkan perjalanan tiga malam yang merajut sejarah, budaya, dan kebersamaan warga. Perjalanan ini dimulai sejak Kamis, 18 September 2025, lewat acara Umbul Donga lan Kembul Bujana di Teater Terbuka Taman Cerdas Jebres tepat pukul 19.00 WIB. Kala itu, lantunan doa terucap dengan penuh rasa syukur dan nikmat. Setelahnya, warga duduk berjejer menikmati kembul bujana atau makan bersama dengan sajian sego ecek, makanan sederhana yang pada masa lalu justru terasa istimewa. Suasana hangat itu menjadi semacam “meja panjang” yang menyatukan banyak cerita.

Malam berikutnya, Jumat, 19 September 2025, panggung yang sama berubah wajah menjadi ajang Pentas Seni Potensi Warga. Dimulai pada pukul 19.00 WIB, deretan penampil dari 36 RW di Kecamatan Jebres bergantian menunjukkan kreasinya. Ada dentuman Reog Singa Muda dari RW 24 yang gagah, lenggok tari anak-anak, hingga alunan musik tradisional dari Sekar Setaman RW 36. Seakan-akan setiap sudut kampung menyumbangkan denyutnya, mengalir dalam satu harmoni besar yang membuktikan eksistensinya.

Puncaknya tiba pada malam Minggu, 20 September 2025. Cahaya lampu memecah kegelapan malam, menyambut ribuan pasang mata yang menanti Pagelaran Kethoprak Kolosal Pager Waja ing Surakarta. Panggung ini bukan hanya milik seniman semata. Barisan pejabat, jaksa, lurah, bahkan mahasiswa dan warga biasa, semuanya menyatu menjadi bagian dari kisah yang sama. Rasanya, Jebres malam itu benar-benar menjelma menjadi benteng budaya.

Dentum gamelan mengalun dengan merdu, memecah malam dan menyelarasakan suasana malam kala itu. Perlahan, para pemain memasuki arena atas panggung. Ada yang berseragam prajurit, ada yang mengenakan busana bangsawan, dan tak ketinggalan tokoh rakyat jelata. Semua larut dalam kisah yang membawa penonton menembus waktu, kembali ke awal abad ke-19 ketika Jebres menjadi perisai kota Surakarta pada masa Perang Diponegoro.

Sejarah yang Diangkat ke Panggung

Di balik suksesnya pertunjukan Kethoprak ini tentunya ada sosok sutradara yang hebat. “Pager itu pagar, waja itu besi. Pager Waja berarti pagar besi. Jebres dulu dianggap sebagai perisai Surakarta, benteng pertama sebelum musuh menyerbu,” jelas Ahmad Dipoyono, sutradara pagelaran ini, sesaat setelah acara pentas selesai. Ia merangkai naskah dengan menggabungkan literasi sejarah dari babad dan novel karya Maskun Rastowo dengan sentuhan fiksi. “Tentunya ada sisipan cerita cerita fiksi, tokoh tokoh fiksi yang dihadirkan ya, karena kalau misalkan saya cari referensi dan literasi dari jurnal yang aku baca, kemudian dari beberapa novel babat kademangan jebres sendiri ada tiga buku karyanya Maskun Rastowo dan teman teman. Itu menambah referensi untuk bisa menguatkan artinya pager waja ing surakarta itu betul betul berdasarkan literasi sejarah maupun fiksi. Namun intinya, pada dasarnya jebres itu punya sejarah tersendiri yang itu memang harus kita angkat,” lanjutnya.

Bukan perkara yang mudah untuk dapat menghidupkan kembali kisah lawas. Ahmad harus melatih pemain yang mayoritas justru bukan dari kalangan seniman. Berbagai elemen masyarakat ia rangkul sebagai para pemeran, ada mahasiswa, pegawai, bahkan Ahmad juga memberanikan diri mengajak pejabat publik untuk terjun langsung memainkan peran di Kethoprak Kolosal ini. “Tantangan terbesar ya membangun kepercayaan diri mereka. Banyak yang grogi. Tapi ketika sudah di panggung, mereka berubah. Mereka menyatu dengan cerita,” ujarnya.

Perjumpaan yang Tak Biasa

Petunjukan pentas ini jelas berbeda dari sebelumnya, karena orang-orang penting yang biasanya hanya terlihat di kantor atau gedung pemerintahan juga ikut bermain sebagai para tokoh. Wali Kota Surakarta, Respati Ardi, ikut naik panggung. Jaksa, lurah, hingga jajaran DPRD pun turut berperan.

“Ya seneng. Saya jarang sekali dan ini ikut dilibatkan saya senang sekali. Sutradaranya bagus, panitianya bagus,” kata Respati selaku Wali Kota Surakarta sembari tersenyum. Respati juga menyampaikan “Jadi kami di pemerintah kota, kita mengajak warga yang anak-anak muda untuk kembali ke jalan budaya dengan cara melibatkan mereka sebagai pemain. Otomatis dengan menjadi pemain, mereka akan terbiasa dengan bahasa, dengan perilaku. Lalu mereka pasti akan mengajak keluarga untuk menonton. Jadi kita utamakan pemain juga mayoritas dari anak-anak muda.” 

Keterlibatan pejabat publik bersama warga, mahasiswa, dan seniman dalam satu panggung menciptakan atmosfer kebersamaan yang hangat. Seolah-olah batas formalitas hilang begitu saja, semua larut dalam kisah yang sama, membela Surakarta dengan pagar waja.

Antusiasme Warga yang Menyala

Deantika, seorang mahasiswa Kajian Seni, Universitas Sebelas Maret yang memerankan tokoh Winarsih, mengaku pengalaman ini begitu berkesan baginya. “Rasanya yo pertama tentu saja bahagia mba, soalnya kan ini kan sebagai ajang untuk melestarikan budaya juga, jadi ketika terlibat itu juga senang karena bisa terlibat itu,” tuturnya dengan nada bahagia, ia juga menambahkan “Jujur kalau saya itu kan jarang terlibat di acara-acara besar jadi untuk kesannya itu ya balik lagi ke tadi senang, bahagia, terharu apalagi kan saya dari UNS ya untuk temen-temen lainnya itu dari ISI, seniman semua gitu loh. Kan aku bukan seniman tapi bisa terlibat.”

Bagi penonton, pengalaman itu tak kalah istimewa saat menyaksikan pertunjukan ini. Fitri, warga Semarang yang datang bersama keluarganya, menyebut pementasan ini bukan hanya hiburan. “Bagus ya mbak ya, hiburan juga, pendidikannya dapet, pokoknya bagus, baik untuk anak itu tontonan yang baik,” ujarnya. Ia juga menyampaikan bahwa pertunjukan pentas seni ini juga salah satu wujud pengenalan sejarah untuk bekal Pendidikan anak sejak dini.

Sorak-sorai dan tepuk tangan penonton mengiringi setiap babak. Ada haru saat kisah perjuangan rakyat kecil tersaji, ada gelak tawa ketika humor khas kethoprak modern muncul. Semua berpadu menjadi tontonan yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menyalakan kebanggaan.

Budaya Sebagai Benteng Masa Depan

Bagi panitia, pementasan ini lebih dari sekadar agenda tahunan. Ketua penyelenggara, Hari Sapto, menyebut “Babad Kademangan Jebres” lahir dari keprihatinan akan gempuran budaya asing yang mulai menggerus budaya Indonesia terutama budaya Jawa. 

Hari Sapto selaku ketua panitia pelaksana acara, menjelaskan kembali bahwa acara ini merupakan acara penting bagi para warga Jebres dan sekitarnya karena memang budaya Kethoprak yang ditampilkan merupakan keunggulan tersendiri bagi para warga Jebres.

“Rangkaian kegiatan babad ini sebenarnya adalah agenda tahunan kelurahan Kebetulan ini tahun 13 jadi babad kademangan jebres ini adalah sebuah pengenalan bagi masyarakat terutama anak anak muda cikal bakal berdirinya jebres sejarah berdirinya jebres itu diceritakan dalam lakon kethoprak,” jelasnya. “Sejak 13 tahun silam, acara ini selalu digelar dengan bentuk berbeda. Pernah berupa wayang kulit, sendratari, hingga reog. Tahun ini, ketoprak dipilih sebagai puncak perayaan, sekaligus menghidupkan kembali teater Jawa yang lahir di Surakarta.” Pungkas Hari.

Menyulam Masa Lalu, Menyapa Masa Depan

Pagelaran “Pager Waja ing Surakarta” seakan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Pada satu sisi, ia mengangkat sejarah Jebres pada era Diponegoro. Di sisi lain, ia menampilkan wajah muda para mahasiswa, pelajar, anak-anak muda desa, bahkan pejabat yang masih mau terlibat dalam menyelami seni tradisi.

Ahmad selaku sebagai sutradara berharap, momentum ini dapat terus berlanjut. “Kalau anak muda bisa tertarik, kethoprak tidak hanya jadi warisan, tapi juga hidup, relevan di era digital,” ujarnya penuh keyakinan.

Malam itu, ketika lampu panggung perlahan meredup dan gamelan berhenti berbunyi, penonton berdiri memberi tepuk tangan panjang. Bukan hanya untuk para pemain, tetapi juga untuk sebuah keyakinan, bahwa Surakarta akan selalu punya pagar waja bukan dari besi, melainkan dari budaya yang dirawat bersama. Pada akhirnya, Surakarta bukan hanya kota dengan sejarah, melainkan panggung besar tempat seni menjadi pagar waja yang menjaga identitas, sekaligus membuka pintu menuju masa depan. Siapa tahu, dari kursi penonton malam itu, lahir generasi baru yang kelak berdiri di atas panggung yang sama. Melanjutkan sulaman budaya ini dan menenunnya menjadi sebuah karya.

 

Penulis: Yunita Tri Hastuti dan Nisa Maftuhaturrohmah

Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah