Tujuh tahun sejak penggusuran paksa tahun 2018 warga Kampung Kentingan Baru hidup dalam kondisi yang begitu miris. Rumah-rumah yang seharusnya menjadi tempat mereka berlindung, beberapa kini sudah rata dengan tanah dan beberapa terpaksa mendirikan bangunan seadanya. Memang bisa dijadikan tempat berlindung, tetapi kondisinya sangat tidak layak, lebih mirip kandang ternak daripada rumah.
Rata rata warga kampung Kentingan Baru berada dalam situasi ekonomi menengah kebawah dengan berbagai pekerjaan yang diemban diantaranya membuka bengkel, mengurus rumah tangga dan beberapa yang menjadi kuli bangunan.
Tak terkecuali Jamin, pria paruh baya yang bekerja sebagai kuli bangunan, ia adalah salah satu warga yang masih bertahan di Kampung Kentingan Baru, ia serta warga lainya menjadi saksi betapa runyamnya sengketa tanah di kampung ini sampai sekarang. Ia tinggal di sebuah rumah yang kurang layak, beratapkan terpal dan beralas tanah yang dapat rubuh kapan saja. Dinding rumah yang hanya dibangun dengan susunan bambu-bambu dan sisa kayu oleh Jamin menjadi satu-satunya tempat tinggal untuk ia dapat terus bertahan. Ia harus senantiasa bertarung dengan segala cuaca. Derasnya hujan selalu menghantam sang penghuni rumah, atap berlubang sudah menjadi hal yang lumrah. Sebenarnya apa yang Jamin masih pertahankan? Rumah yang nyaris rubuh, atau harapan yang tak boleh runtuh?
Jauh sebelum peristiwa penggusuran ini terjadi, Kentingan Baru dulunya hanya tanah kosong tak berpenghuni yang akhirnya dijadikan pemukiman. Bermula pada tahun 1999 ada warga yang mulai menempati wilayah tersebut, hingga akhirnya menjadi pemukiman yang padat. Jamin adalah salah satu warga Kampung Kentingan baru yang baru datang ketika tahun 2000, dirinya yang awalnya masih wira-wiri mengontrak di daerah Pedaringan memilih pindah ke lahan yang kini disebut sebagai Kentingan Baru karena ia mendapat didatangi dan diberi saran dari para pakar hukum pada saat itu, alhasil Jamin mengikuti acara pertemuan di Monumen Pers Solo. Seperti mendapat keajaiban, beberapa pakar hukum dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengusulkan Jamin untuk pindah ke tanah yang ada di sebelah UNS, “Di situ tanahnya para koruptor, lebih baik di pindah di situ saja jauh lebih aman,” menurut kesaksian Jamin. Jamin dan para warga lain pun menyetujui usulan tersebut dengan rasa syukur. Beberapa warga yang senasib dengan Jamin turut didata dan dipastikan oleh LBH apakah mereka juga masih mengontrak seperti Jamin. Saat itu Jamin menjadi salah satu orang yang bisa dibilang “babat alas” di Kampung Kentingan Baru. “Dulunya tanah ini kayak hutan, ya banyak pohon-pohon tinggi. Saya dan warga kerja bakti, saya dan warga Kentingan Baru bikin rumah di sini dari bambu kecil-kecilan”. Tutur Jamin ketika bercerita tentang awal mula ia tinggal di sini. “Total rumah warga Kentingan Baru pada saat itu mencapai ratusan,” ucap Jamin saat wawancara sambil mengingat masa-masa awal ia membangun hunian di Kentingan Baru.
Tahun 2003 Jamin dan warga Kentingan Baru memberanikan diri untuk ke Balai Kota Solo, guna meminta restu dan izin kepada sang Wali Kota Surakarta pada periode itu yakni Slamet Suryanto. Alhasil Slamet Suryanto pada saat itu mengiyakan serta membolehkan Jamin dan para warga Kentingan Baru untuk tinggal di tanah tersebut.
Tahun 2009 Jamin dan para warga Kentingan Baru berinisiatif mengajukan RT serta RW ke Kecamatan Jebres. Surat dan pengajuan mereka kirim, tetapi nihil selalu saja mental tanpa adanya alasan yang jelas. Hal ini meninggalkan tanda tanya pada benak Jamin dan para warga dengan adanya penolakan tersebut, apa sebenarnya alasan yang jelas?
Namun siapa sangka, setelah Jamin dan para warga yang hanya berniat untuk mengajukan hak RT dan RW mereka, tetapi menjadi awal mula terancamnya kedamaian dan tempat tinggal satu-satunya yang mereka miliki yaitu Kampung Kentingan Baru. “Tahun 2010, ada gugatan dari beberapa pihak pengklaim tanah serta para rekannya yang mengklaim tanah di sini,” jelas Jamin. Sejumlah 13 sertifikat tanah Hak Guna Bangunan (HGB) muncul dan sudah dua kali pihak mengklaim tanah Kentingan Baru tersebut mencoba menggugat warga Kentingan Baru namun nihil, ia tidak berhasil menggugat para warga serta Jamin karena hasil dari peradilan mengatakan bahwa hasilnya Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) gugatan mereka tidak dapat diterima. Gugatan mafia kandas begitu saja di meja hijau. Hukum seolah berpihak kepada Jamin dan para warga.
Tahun yang sama, pilkada datang dan anehnya diadakan acara kampanye bahkan didirikanya TPS di daerah yang tidak diakui RT/RW. “Dalam pikiran saya kok janggal ya, orang ndak ada RT sama RW kok bisa diadakan TPS di sini,” ucap Jamin. Sementara hal yang paling mengherankan bagi Jamin yaitu ketika ia mengingat jelas diadakannya TPS yang didirikan tahun 2010 di kampung yang katanya “tak diakui itu”. Saat itu kandidat calon Wakil Wali Kota Solo, Rudy, datang mencoba merangkul warga. Janji yang diberikan Rudy untuk warga Kentingan Baru bagaikan manis habis, sepah dibuang. Dari pengakuan Jamin, apabila Rudy dan pasangannya dapat memenangkan Pilkada tahun 2010, ia akan memberikan hak legalitas tanah sepenuhnya kepada para warga Kentingan Baru. Setelah Rudy memenangkan Pilkada pada tahun itu, pengajuan RT serta RW juga tak kunjung ada hasilnya dan selalu berujung pada penolakan. Justru klaim tanah oleh para pihak mafia terus saja terjadi secara terus menerus. Hal ini bagaikan momok yang terus saja menghantui kenyamanan serta keselamatan Jamin dan para warga Kentingan Baru.
Setelah banyaknya pihak-pihak yang mengklaim tanah Kentingan Baru dan mediasi dengan camat Jebres saat itu tidak melibatkan seluruh masyarakat dan hanya melibatkan yang pro relokasi, pada tahun 2010 Jamin dan warga Kentingan Baru mengikuti audiensi di Kecamatan Jebres yang diadakan oleh Rudy dengan menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo. Berkedok relokasi dan tawar menawar antara Rudy dengan para warga Kentingan Baru dengan tujuan menawarkan warga untuk pindah tempat tinggal di tanah yang berdampingan dengan tumpukan gunung sampah berbau sangat menyengat yaitu TPA Putri Cempo Surakarta. “Kamu di situ namanya masih normatif ya, bisa menang bisa kalah. Tapi kalau kamu mau, tak kasih tali asih kalau ndak mau yo ndak papa,” ucap Rudy menurut kesaksian Jamin saat audiensi.
Wakil Wali Kota memberikan opsi penawaran Tali Asih, muncul pro kontra di antara warga, ada yang setuju dan ada yang tidak. Kekecewaan menyuak dalam hati Jamin ketika ia mengetahui, ada indikasi salah satu warga Kentingan Baru yang diberi amplop dari oknum pengklaim tanah untuk menggerakkan massa agar mau direlokasi ke tempat lain. Jamin pun tetap kokoh dengan pendiriannya “Saya cuma ingin keadilan, mau dibayar satu Miliar pun saya tak mau,” Tegas Jamin meminta penyelesaian yang adil tentang masalah ini.
Suatu ketika, Jamin yang sedang terlelap dalam tidurnya, terganggu dengan suara bising dari arah pintu rumah. Suara gedoran pintu kian mengeras. Jamin mencoba mengintip di balik sela lubang tembok rumahnya. Matanya melebar ketika ia menyaksikan 15 pria berbadan kekar layaknya preman mencoba menerobos masuk ke dalam rumah. “Jamin metuo koe,” para preman terus berteriak menyuruh Jamin keluar rumah. Lantas Jamin memberanikan diri untuk keluar rumah. “Nik koe jik ning kene jo ngarep uripmu bakal tenang,” tutur jamin memperagakan gelagat preman yang mengancamnya. Ancaman itu tak membuatnya goyah jamin dengan lantang mengatakan “Aku meh mbok pateni aku ora popo, masio aku mati tanah iki tetep diproses soale sik ndue aku, aku ning kene mung butuh keadilan, koe mateni aku yo ra ono gunane,” ucap Jamin lantang kepada para preman itu.
Intimidasi tak kunjung berakhir, dan terus menerus menerpa Jamin serta keluarganya. Menurut Jamim, Hasan sang anak juga turut merasakan intimidasi dari RT dan RW beserta Satgas Kelurahan, para oknum ini bertujuan untuk membangun kos-kos an di tanah yang Jamin dan Hasan tinggali.
Pada Desember 2018, pagi yang cerah berubah mencekam kala itu. Warga dikejutkan dengan datangnya satuan aparat dan ormas yang sudah bersiap di seberang kampung Kentingan Baru, lengkap dengan anjing polisi yang terlihat begitu ganas. Gonggongan anjing yang garang itu terdengar hingga ke seberang jalan. Mereka bersiap untuk mengusir paksa warga dari tanah tersebut. Aparat yang bersikap agresif menimbulkan kekacauan pagi itu, kericuhan pun tak terhindarkan. Warga maupun mahasiswa yang mendukung warga menjadi sasaran kekerasan aparat. Mereka dibanting, dipukul, dan ditoyor dengan tongkat. Tangis dan jeritan warga terdengar jelas waktu itu. Warga kalang kabut berlarian ke sana ke mari berusaha melindungi rumah mereka masing-masing. Hari itu menjadi awal mula penderitaan Kampung Kentingan Baru, tercatat ada lima rumah warga menjadi sasaran dan dirobohkan, sehingga ada warga yang harus mengungsi. Tak hanya sampai disini, penderitaan warga Kampung Kentingan Baru tak berakhir begitu saja. Intimidasi ini tetap berlanjut setahun kemudian.
Tahun 2019 tanpa adanya aba-aba, para warga Kampung Kentingan Baru sudah bersiaga dengan adanya gusuran susulan. Benar dugaan para warga, kampung mereka sudah dikepung ratusan aparat yang berbekal senjata lengkap seakan menandakan untuk siap berperang. Alat berat seperti Eskavator pun dikerahkan melaju ke arah tanah Kentingan Baru, siap untuk merobohkan bangunan rumah para warga. Ratusan aparat Kepolisian serta Satpol PP turut andil dalam penggusuran ini, ditambah dengan kurang lebih 350 preman siap dikerahkan dalam eksekusi lahan Kentingan Baru. Kericuhan mulai terjadi antara warga dengan aparat. Anak-anak menangis histeris ketika melihat dengan mata kepala mereka sendiri, Ayah mereka dipukul tanpa ampun oleh para aparat dan tanpa adanya belas kasihan. Bahkan, beberapa warga ada yang histeris hingga pingsan tak sadarkan diri karena tak kuasa melihat tempat tinggal yang mereka miliki hancur dan rata begitu saja menyatu dengan tanah Kentingan Baru. “Habis penggusuran, saya bangun tenda dari bambu yang tingginya ndak sampai sama kepala saya. Tak bangun yang penting masih bisa buat tidur,” Jamin menjelaskan momen di mana ia membangun tenda darurat bersama dengan para warga yang menjadi korban penggusuran sebagai satu-satunya tempat ia dapat bertahan. Jamin merasa saat itu kejadian penggusuran terus menerus dilakukan oleh aparat dan tak ada hentinya.
Hewan-hewan liar juga menjadi teman tidur bagi warga Kampung Kentingan Baru, menurut pengakuan warga bahkan ada juga warga yang harus meregang nyawa karena tidur dengan tikus. Ada dugaan terjangkit penyakit Leptospirosis akibat gigitan tikus. Hari-hari berikutnya terasa tak sama bagi warga Kentingan Baru, tempat yang seharusnya menjadi tempat berpulang, kini telah hilang bak disapu air banjir. Pandangan Warga Kentingan Baru kepada para Pemerintah, Polisi, dan Satpol PP juga ikut berubah yang seharusnya menjadi pelindung dan penegak hukum bagi para warganya, kini dianggap sebagai tukang pukul. Warga hanya bisa berharap masalah ini cepat selesai.
Wajah Kampung Kentingan berubah 180 derajat, kampung yang dulunya ramai, dan padat penduduk, kini telah rata dengan tanah. Menyisakan warga yang tetap tinggal dan hidup dengan keadaan seadanya. Rumah-rumah yang dulu mereka tinggali hanya menjadi kenangan yang telah usang. “Dulu disini rame, kayak kampung-kampung biasa, ada masjid, gapura dan yang lain tapi sekarang udah ga ada”. Ujar Jamin. Sekarang Kentingan Baru hanya ada hunian sementara yang jauh dari kata layak, bahkan tak jarang juga hewan-hewan liar datang bertamu ke rumah warga. Lantainya yang beralas tanah dan atapnya berbahan seng ataupun terpal sederhana, ditambah rumah yang berongga membuat hal tersebut tak bisa dihindari. Tak hanya sering didatangi hewan liar tapi warga juga dibayangi ancaman penyakit, karena lingkungan yang yang jauh dari kata sehat.

Meski begitu, warga Kampung Kentingan Baru tetap menjalani hidup seperti orang normal. Memang kebanyakan warga Kentingan Baru berada di ekonomi kelas bawah, ada yang bekerja sebagai kuli bangunan atau membuka usaha kecil-kecilan di pinggir jalan. Namun, ada bayang-bayang ketakutan yang bersemayam di diri mereka. Penggusuran paksa beberapa tahun silam membawa luka yang tetap membekas pada warga Kentingan Baru. Bahkan, ketika kami berkunjung ke Kampung Kentingan Baru untuk wawancara para warga mereka seperti menutup diri dan gerak tubuhnya mengekspresikan ketakutan yang luar biasa. Ada trauma masa lalu yang tak kunjung sembuh sembuh, sehingga membuat warga selalu was-was ketika orang asing datang. “Ya, harapannya ya semoga kasus ini cepat selesai ya, biar kami sebagai warga juga bisa ayem,” tutur salah satu warga.
Untungnya, dalam permasalahan ini warga Kentingan Baru tidak sendirian. Didampingi LBH Jogja, warga Kentingan Baru memperjuangkan tanah yang seharusnya menjadi haknya. Berdasarkan UU Pokok Agraria, tanah negara yang dikuasai sekurang-kurangnya 20 tahun, maka itu akan menjadi hak warga yang menempatinya. “Warga Kentingan Baru sudah ada yang tinggal disini sejak 1999, maka secara tidak langsung hal ini dapat diperjuangkan,” ujar LBH Jogja ketika diwawancara mengenai persoalan Kentingan Baru. Audiensi demi audiensi telah dilakukan oleh warga Kentingan Baru untuk mendapatkan keadilan, tetapi hasilnya tak kunjung juga menemui titik terang.
Tekad dan semangat warga untuk mendapatkan keadilan tak pernah goyah, segala upaya telah dilakukan, ibarat pepatah jawa “Sikil dadi sirah, sirah dadi sikil”. Impian mereka yang tinggal sangat sederhana, hanya ingin hidup layak, tidur nyenyak dan makan enak. Menonton sinetron kesayangan tanpa beban dan anak-anak dapat bermain dengan nyaman. Ketika kami pergi dari kampung ini karena sudah selesai wawancara, terlihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang gembira. Namun dibalik itu semua, di dalam sorot mata mereka menyimpan ingatan kelam tentang kekerasan aparat yang membekas menjadi trauma yang mendalam. Mata kami tertuju pada segerombol anak laki-laki yang sedang menyusun puing-puing bangunan menjadi sebuah rumah-rumahan, layaknya bermain balok di taman kanak-kanak. “Lihat ini rumahku sudah jadi, punyamu mana?” ucap seorang anak laki-laki dengan nada sombong ke temannya yang lain.
Jamin pun menunggu kami sampai di depan kampung. Raut wajahnya sayu, terlihat masih kecewa dengan apa yang terjadi. Kini ia hanya hidup di gubuk bekas rumah yang digusur. Raganya memang seperti orang biasa, namun pikirannya tak pernah berhenti bergejolak, bagaikan mesin pabrik yang tak pernah mati. Ketika melakukan aktivitas apapun, pikiran Jamin semakin ruwet, ia memikirkan hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi di kampungnya. Matanya menyiratkan pesan bahwa masih ada harapan untuk tanah ini meski masih dihantui bayang-bayang orang besar itu. Jamin hanya ingin menuntut keadilan dan janji yang pernah terejawantahkan dengan baik.
Oleh: Ilham Nur Arifin dan Yunita Tri Hastuti