Pernah sekali,
menunggu halte dekat stasiun lempuyangan
sehabis melaju bersama kereta solo-jogja
termangu, sebab koridor 4A tak kunjung dijumpa
Barangkali angkutan umum berupa berkah
bahagia, sebab tolong-menolong lumrah
dilintasi oleh orang-orang
yang mungkin hidupnya sudah susah.
Lantas sehabis hujan, basahnya jalan
sehabis memesankan ojol buat ibu tak bernama,
berangkat dari jakarta, menaiki bengawan
yang ia protes kesiangan.
Pria berkacamata entah darimana,
berjaket hijau menenteng tas
mengajakku menertawakan satu jam
yang sia-sia, tanpa kabar sopir dan kernetnya
Lalu ia pamit sejenak, mengisi perut keroncongan
Sampai pada sore itu sudah hampir maghrib,
syukur sopir masih mengingat rutenya,
pria itu juga sama, tak mengubah rencana.
Kursi bus hampir kosong melompong,
tapi kami berakhir duduk bersebelahan
menjadi dua orang tak dikenal,
yang mulutnya enggan berbincang, padahal batin ramai-lancang
Aku dan dia, mungkin sesama orang luar jogja,
sepanjang waktu memeriksa peta
Sebentar lagi aku sampai,
ia masih termenung dengan rute bus selanjutnya.
Temu hari itu usai jua,
kala aku turun dari bus, tanpa sepatah kata
pun saling tak bertukar nama,
Toh, memang bukan siapa-siapa.
Temu dan sesal,
barangkali selalu menjadi
paket perjalanan
yang tak pernah lengkap.
Pemberhentian
Rol film di kepala tengah terputar
Gambar samar bergiliran
Merangkai babak demi babak
Sampai cerita usai dan padam
Pria dan wanita
Sepi berdua di tengah ramai
Mencuri pandang di sudut mata
Senyum mereka bersembunyi,
diterpa jantung yang memperlambat jalan
Teriring basa-basi membuncah tingkah,
bak burung berkicau di siang bolong
Pria dan wanita
Terduduk di bus yang silih berganti penumpang
Ruang longgar seakan sengaja ditiadakan
bahu saling bergesekan hangat,
walau selepas menerjang hujan
Saling memalingkan pandang,
tapi enggan cepat beranjak
Pria dan wanita
Saat berpisah di depan stasiun
Kasih terlontar melalui buah tangan
Alih-alih “selamat jalan”
keduanya meminta
“Sampai jumpa”
untuk kesekian kalinya
Jogja Pukul 8 Malam
Warmindo pinggir kota
Dirimu dan mi instan setelah sekian lama
Rindu dan penat kulepas saat itu jua
Memandang malam lalu lalang pengendara
Sudah lama
aku tak menautkan jariku padamu,
mencubit lengan dan pipi menggemaskan,
pun memainkan rambut gondrong yang semakin memanjang
1001 cerita dan canda
Keplakan ringan setiap tawa
saling mendengarkan,
saling melempar pandang,
bahwa sekitar samar oleh telinga dan mata
Rindu tak terucap oleh kata,
tapi bersandar di bahumu,
memeluk lengan kananmu,
menendang-nendang kakimu di bawah meja,
sedang es teh dan mi kuah masih setengah sisa
Penulis: Alifia Nur Aziza
Editor : Salma Fitriya Nur Hanifah