Site icon Saluran Sebelas

Mahasiswa-mahasiswi Fakir Apresiasi

 

Oleh: Fatih Abdulbari

 

Politisasi mahasiswa. Mau kemana?

 

Bukan aku yang mengajukan pertanyaan ini, tapi seorang akademisi dan penulis yang menanyakannya. Namanya Kuntowijoyo. Selepas ini, mari panggil beliau Pak Kunto saja. Menurutnya, politisasi mahasiswa terjadi karena krisis identitas. Laiknya remaja SMA, mahasiswa pencari identitas tengah mengalami kebingungan antara radikalisme dan konformisme.  Yang ujung-ujungnya, mengarah ke politisasi lagi.

 

Mahasiswa tidak bisa radikal (baik saat Orde Baru maupun pasca reformasi). Radikalisme akan terus berbenturan dengan negara. Dan kita sama-sama tahu, politik dan pergerakan mahasiswa tidak akan pernah bisa jadi konformis. Kecuali (mungkin hlo ya!), kalau pemerintahnya sejalan dengan organisasi underbow yang kebetulan lagi berkuasa di dalam kampus.

 

Pak Kunto kemudian menjelaskan lebih lanjut, pergerakan mahasiswa tidak pernah mementingkan substansi. Karena yang paling penting dalam ranah pergerakan adalah mobilisasi.

 

Jadi jangan heran kalau aktivis mahasiswa – dalam mengatasi masalah sebesar apapun – lagi-lagi cuma menawarkan solusi tunggal, yaitu demonstrasi. Padahal gerakan seperti ini, menurut Pak Kunto, umurnya tidak akan lama. Mereka tak punya wadah ideologi dan pengetahuan yang luas. Yang penting bagi pergerakan mahasiswa cuma keinginan untuk melihat “perubahan sekarang juga.”

 

Regenerasi mahasiswa juga terlampau cepat, setiap tahun harus berganti kepengurusan. Hasilnya, tidak pernah ada pewarisan ideologi dan organisasi kemahasiswaan yang efektif. Ditambah, politisasi seorang mahasiswa cenderung berhenti ketika lulus dari universitas. Orang-orang itu masuk sebagai kaum yang telah tersadarkan, berpikir, dan bersikap realistis.

 

Akhirnya mimpi idealisme yang dieluhkan setiap pergerakan mahasiswa berangsur hilang. Bahkan nyaris tanpa bekas. Sekali lagi ramalan Pak Kunto benar, “umur aktivisme dan pergerakan mahasiwa tidak akan lama.”

 

Walau setuju tapi kurasa Pak Kunto agak berlebihan. Politisasi mahasiswa tak semata disebabkan oleh dilema identitas saja. Menurutku, mahasiswa tak sekanan-kanak itu. Pergerakan mahasiswa seringkali jalan ditempat karena kurang apresiasi saja.

 

Ada seorang dosen bernama Ismail Marahimin (mari panggil beliau Pak Ismail saja). Saat itu, sekira tahun 1980-an, Pak Ismail pernah mengajar mata kuliah penulisan populer di Fakultas Sastra di kampus Universitas Indonesia (UI). Kelas penulisan populer di sini jangan cepat-cepat dipersepsikan sebagai kelas yang mewadahi gaya menulis novel dan cerita-cerita picisan hlo ya. Justru kelas penulisan populer Pak Ismail ini adalah kelas yang hidup dalam arti sebenarnya.

 

Kita tak cuma disuruh diam mendengar ceramah dan besoknya mengumpulkan makalah.

 

Di setiap pertemuan Pak Ismail selalu mewajibkan mahasiswanya menulis cerpen. Cerpen ini tidak pernah dikumpulkan. Ia malah menyuruh setiap mahasiswa membacakan cerpen buatannya di depan kelas. Cerpen-cerpen yang dibacakan kemudian didiskusikan saat itu juga.  Tak cuma sang dosen yang menilai, tapi seluruh mahasiswa di dalam kelas juga.

 

Mahasiswa mana yang tak bergidik ditunjuk dosen begitu. Apalagi sampai harus membacakan karya di depan kelas. Kadang bukan karena pemalu atau enggan dikritik, tapi membacakan karya di depan teman-teman adalah pilihan yang buruk. Salah sedikit ditertawai. Apalagi kalau tak ada yang mau mendengar dan cuma menganggap remeh.

 

Tapi apaun yang akan terjadi di depan, menurut Pak Ismail, hal ini dirasa perlu supaya meningkatkan kualitas kepenulisan mahasiswa yang bersangkutan. Apa yang dilakukan pak Ismail adalah suatu bentuk apresiasi.

 

Ternyata Pak Ismail benar. Dari sekian banyak mahasiswa yang menulis, ada yang karyanya bahkan sangat layak terbit. Maka untuk mengapresiasi mahasiswa yang telah menulis dengan baik, pak Ismail kemudian mengumpulkan beberapa naskah dan berusaha menerbitkan dalam sebuah buku antologi cerpen.

 

Buku itu berjudul Jejak Langkah Anak Kampus, terbit tahun 1989 oleh Gramedia. Ismail sendiri yang mengedit dan mengusahakan agar penerbit sekelas Gramedia – yang terkenal sangat selektif – mau menerbitkan kumpulan tulisan karya mahasiswanya itu. Siapa yang tak ingin karyanya diapresiasi seperti itu?

 

Alhasil, jiwa keilmuwan mahasiswa jadi dinamis. Mahasiswa punya semangat berbuku dan menulis kembali.

Mari melihat kampus kita. Dosen atau birokrat kampus mana kepikiran untuk mengapresiasi mahasiswa seperti yang pak Ismail lakukan (aku yakin ada, sih, tapi cuma segelintir saja).

 

Tanpa apresiasi, mahasiswa jadi malas menggeluti kegiatan akademis. Sebagian mahasiswa jadi tak tahu esensi kuliah. Yang masih niat kuliah bisasanya ngacir jadi event organizer kampus atau ke politik karena bisa mendapatkan apresiasi dengan mudah.

 

Turun ke jalan sebentar, dapet apresiasi, kepilih jadi presiden BEM, dapet apresiasi, jadi anggota organisasi dikit, dapet apresiasi. “Hebat bro, orasinya ngena banget!” “Kamu pasti capek semaleman rapat ngurusin event.”

 

Berpolitik lebih menjamin tersedianya apresiasi bagi banyak kalangan mahasiswa. Makanya menurutku teori Pak Kunto agak terlalu berlebihan. Tapi kalau untuk menjawab pertanyaan “mau kemana?” dengan nada yang ngakademis, kayaknya aku lebih suka pakai argumennya Pak kunto sih.

 

Nah, kalau masih kepingin kampus jadi sarangnya sivitas akademika. Maka, akan lebih baik kalau bapak-bapak dosen, birokrat kampus, atau bahkan pemerintah meningkatkan apreasiasi di ranah akademik. Setidaknya, memulai dari dalam kelas.

 

Kalau begini-begini saja, maklum jika mahasiswa mencari-cari cara lain supaya bisa dapat apresiasi. Siapa sekarang yang tak ingin dipuji dan dibangga-banggakan. Ya mending ikut Pemira dengan penata gaya pribadi, misal. Kan seenggaknya bisa mendengar para ukhti berbisik, “Eh! Calon yang itu ganteng deh!” []

 

Fatih Abdulbari. Mahasiswa Sejarah 2015.

 

Edisi Khusus III/Desember/2017 Organisasi Ekstra Kampus (Belum) Mampus

Editorial   : Seruan Aksi untuk Fahri

Laporan 1 : Organisasi Ekstra Kampus Enggan Mampus

Laporan 2 : Banyak KAM(M)I di Kampus Kita

Laporan 3:  “Kalau Mau Jadi Rektor, Masuk HMI Saja!”

Opini        : Masuk Itu Enak

Opini        : Mahasiswa-mahasiswi Kurang Apresiasi

Exit mobile version