Site icon Saluran Sebelas

“Tumbuh di Balik Stigma: Kisah Nyata dari Rumah Lentera “

Langit jingga sore kala itu tampak cerah di Jebres. Dari luar, bangunan tua bercat putih pudar itu nyaris tak berbeda dengan sekolah dasar yang sudah lama tak dipakai. Cat dindingnya mulai mengelupas, jendela kayunya berderit ketika terbuka, dan halaman luas di depannya tertutup oleh debu pasir. Terlihat pula pagar besi yang membentengi pun mulai kian mengarat.

Namun, di balik tembok yang sepi itu, terdengar gurauan tawa. Anak-anak berlari kecil di halaman, sebagian bermain bola tanpa alas kaki, sebagian lagi duduk di teras sambil menggambar, seakan asyik dengan dunia mereka sendiri. Mereka adalah bagian dari Rumah Lentera, sebuah rumah penampungan bagi anak-anak dengan HIV/AIDS di Surakarta. Tempat mereka tinggal, belajar, dan tumbuh, meski dunia di luar belum sepenuhnya mau menerima keberadaan mereka. Dari satu anak yang dulu datang tanpa tempat berpulang, Lentera kini menjadi rumah bagi puluhan jiwa kecil yang mencari arti keluarga.

Dari Satu Anak, Menjadi Sebuah Cahaya

“Awalnya itu karena ada penemuan kasus, memang ada ibu dan anak yang positif. Sayangnya, keluarganya tidak bisa menerima, ibunya sudah nggak ada yang bertepatan pada tahun 2012,” tutur Tika, salah satu pengurus yang sudah bertahun-tahun menemani mereka.

“Satu anak ini yang jadi awal mula berdirinya Lentera. Dari tidak diterima lingkungan, ibunya meninggal, akhirnya pengurus memutuskan untuk merawat. Jadi awal mula Rumah Lentera,” lanjutnya saat diwawancarai di Rumah Lentera Jebres, pada Sabtu (18/10/2025).

Kini, Rumah Lentera menampung 37 anak, terbagi di dua tempat. “Untuk saat ini ada 20 anak yang stay di Jebres,” jelas Tika. “Dari yang paling kecil umur tiga tahun setengah, sampai yang paling gede tujuh belas tahun. Di sini kebanyakan masih SD, ada satu yang SMP kejar paket. Kalau yang lainnya tinggal di Pajang, Laweyan, karena kapasitas di sini kecil. Jadi sebagian anak remaja pindah ke sana.”

Bangunan tua itu dulu hanyalah ruang kosong bekas sekolah dasar. Perlahan-lahan, disulap menjadi tempat tinggal sederhana, ruang kelas dijadikan kamar, ruang guru jadi dapur, dan halaman yang dulu dipenuhi rumput kini sebagian menjadi arena bermain.

Ada tantangan yang dihadapi Tika pada tiga bulan pertama saat Rumah Lentera berlokasi di Jebres. “Selama tiga bulan pertama itu, hampir tiap dua sampai tiga hari ada aja protesnya. Anak-anak nggak boleh jajan, nggak boleh main keluar.”

Perjalanan Lentera tidak selalu mudah. Ada masa-masa ketika mereka harus berpindah tempat karena penolakan, keterbatasan, atau kehilangan lahan. “Waktu dulu sempat beberapa kali pindah. Pertama di kos-kosan Kartasura, lalu pernah juga di Purwosari. Di sana anak-anak benar-benar nggak boleh keluar rumah. Selama setahun kami harus di dalam terus. Pintu selalu tertutup, karena lingkungan waktu itu belum bisa menerima,” kenang wanita itu.

“Kalau yang di Taman Makam Pahlawan, pindahnya bukan karena warga menolak, tapi karena lahannya mau dibangun. Katanya sekarang udah jadi kantor TNI. Dulu di situ memang gak ada tetangga, jadi ya sepi banget.” Tika menarik napas. “Waktu itu status tanahnya milik pemerintah, jadi sifatnya pinjam pakai. Begitu mau dibangun, kami harus pindah. Untungnya, waktu itu Dinas Sosial bantu mencarikan tempat baru, jadi akhirnya kita bisa menetap di sini.”

Pengambilan Bayi Dua Jam dan Ucapan ‘Aku Mau Sekolah’

Dari banyaknya kisah di Lentera, ada satu yang paling membekas di benak Tika.

“Ini cukup ekstrem buat saya,” ucapnya sambil menghela napas. “Dia lahir baru umur dua jam, udah kita ambil. Waktu itu ibunya meninggal, bapaknya di polsek. Saya sama tim jemput ke Puskesmas Gondangrejo, perbatasan Sragen–Karanganyar. Waktu kita datang, ibunya masih di dalam ambulans di luar. Saya minta izin ke bapaknya buat bawa anaknya ke sini. Tanda tangan langsung di polsek, disaksikan polisi dan dokter yang menangani bayi itu.”

“Anaknya waktu itu masih bersih badannya, tapi di kepala masih ada gumpalan darah kering, sisa-sisa dari proses lahirnya.” Ia menghela napas panjang. “Saya bilang ke bapaknya, ‘Anaknya tak bawa ke sini ya. Kontaknya saya ini. Kalau bapak mau cari, gampang. Nomor saya nggak pernah ganti, alamat panti juga jelas.’ Tapi sampai sekarang, anaknya udah umur tujuh tahun, gak pernah sekalipun nanya kabar. Mengirim pesan lewat WhatsApp aja nggak.”

Pada masa yang lain, dia merasakan kabar berat. “Kalau pengalaman yang paling menyayat lagi, kehilangan anak, Mbak. Saya sudah beberapa kali kehilangan anak di sini. Ada yang meninggal di rumah sakit, satu anak perempuan meninggal di rumah. Lokasinya di Rumah Lentera yang dulu, di Taman Pahlawan.”

Ia menarik napas panjang. “Kondisinya naik turun. Kadang drop, kadang membaik. Pagi itu dia sudah sarapan, udah makan snack, terus tiduran di kamar. Pas dijenguk lagi, ternyata udah beda. Memang sudah nggak ada. Waktu itu kita panggil Dokter Puskesmas. Dokternya datang ke panti, bilang anak ini sudah gak ada, tapi disuruh nunggu empat jam buat memastikan.”

Suara Tika nyaris bergetar. “Momen pertama saya ikut memandikan dan mengkafani. Itu pengalaman yang luar biasa. Berat banget.” Ia tersenyum getir. “Dia waktu itu kelas enam SD, mau masuk SMP. Harusnya udah masuk, tapi karena sakitnya naik turun, gak sempat sekolah sebulan. Dia sempat bilang, ‘Mbak, aku pengen ngerasain sekolah. Mau SMP.’ Akhirnya dia sekolah sehari. Sampai jam 12 siang, disuruh jemput, ya kita jemput.”

Kalimat yang paling diingat oleh pengurus itu, “Dia cuma bilang, ‘Aku mau sekolah walaupun cuma sehari. Mau ngerasain SMP.’ Ya, bener. Sehari. Dia sempat ngerasain sekolah, terus selesai.”

Sekolah, Les, dan Ngaji Bersama

Meski tinggal di panti, anak-anak Lentera tetap mendapatkan hak pendidikan dan kesehatan yang layak. “Kita penuhi hak sekolah mereka. Usia sekolah ya sekolah. Dari 20 anak yang di sini, yang belum sekolah cuma tiga karena memang belum cukup umur.”

Fasilitas pendidikan di Lentera cukup lengkap. Ada anak-anak yang bersekolah di TK, SD, SMP, hingga SMA, semuanya di sekolah negeri agar biaya bisa ditekan seminimal mungkin. “Kalau negeri kan gratis, paling beli seragam dan uang saku,” kata Tika. “Kalau seragam juga kadang dibantu donatur, apalagi kalau tahun ajaran baru.”

Sepulang sekolah, anak-anak beristirahat sejenak sebelum mengikuti rutinitas sore. “Kalau ada PR, ya dikerjakan jam dua atau tiga sore, dilanjut jam empat mereka sudah punya kegiatan rutin. Senin dan Kamis ada les mata pelajaran, lalu Selasa, Rabu, Jumat ada les ngaji. Gurunya datang ke sini, kayak TPA.” Pengajarnya pun datang secara sukarela. “Kalau les mata pelajaran itu Miss Yanti, dari donatur yang bantu mengajar. Jadi kita nggak mikirin biaya, tinggal nyiapin anaknya aja,” ujarnya.

Sementara itu, Sabtu dan Minggu menjadi hari bebas. Anak-anak bermain, membantu bersih-bersih, atau mengikuti kegiatan dari tamu dan relawan yang datang. Di sisi lain, kesehatan anak-anak juga dipantau ketat. “Kita kerja sama dengan Puskesmas untuk obat rutin. Aksesnya lumayan gampang. Selain itu, sebulan sekali ada pemeriksaan dari Kodim yang datang ke sini langsung, imbuhnya.

Gadis Kecil dan Mimpi di Tengah Sunyi

Dari sekian banyak anak yang menghuni Lentera, setiap wajah menyimpan kisahnya sendiri. Salah satunya adalah “F”, gadis empat belas tahun dengan rambut sebahu dan senyum lembut. Ia datang ke rumah itu empat tahun lalu, ketika tubuhnya masih lemah. Sekarang, ia sudah jauh lebih sehat. 

“Aku suka belajar matematika,” katanya malu-malu. “Tapi nanti pengen jadi koki. Kalau gede nanti, aku mau ikut MasterChef.” 

Setiap pagi, F berangkat sekolah dengan diantar oleh pihak Rumah Lentera, lalu sore membantu merapikan halaman dan mencuci pakaian. Meski tak banyak bermain dengan anak-anak lain di luar, ia tetap ceria, seperti bunga kecil yang tumbuh di celah tembok tua.

Kadang, di tengah sore yang sepi, ia menunduk, jemarinya menggulung ujung bajunya. “Kadang kangen ibu,” ujarnya lirih. “Sama bapak juga… tapi udah enggak ada semua.” F menatap halaman sore yang sunyi, seolah mencari sosok yang dulu hanya bisa ia panggil dalam doa.

Cahaya Kecil di Tengah Gelap

Kini, Lentera benar-benar menjadi rumah yang hidup. Dindingnya mungkin masih kusam, catnya mengelupas di beberapa sisi, tapi di dalamnya ada kehidupan yang hangat. Anak-anak belajar, bermain, bercanda, dan tumbuh bersama. Di setiap tawa mereka, ada jejak perjuangan orang-orang yang tidak pernah lelah menjaga cahaya kecil itu agar tetap menyala.

“Secara pengelolaan sudah meningkat, secara sarana dan prasarana juga,” ujar Puger, pengurus senior yang sudah lama terlibat dalam perjalanan Lentera. “Saya dibantu sama donatur-donatur yang baik,” tambahnya dengan nada penuh syukur.

Puger menatap halaman yang sore itu dipenuhi tawa kecil anak-anak. “Harapan saya, anak-anak ini sehat secara fisik dan akal sampai dewasa, cita-citanya tercapai, menempuh pendidikan tinggi. Dan semoga masyarakat luas bisa mengerti, memahami, menerima kami. Juga dihimbau kepada orang-orang baik agar mau berbagi kasih kepada anak-anak ini.” Ucapannya terasa hangat seperti doa yang dipanjatkan diam-diam di antara hiruk pikuk sore. 

Sementara itu, Tika menegaskan pentingnya dukungan masyarakat sekitar. “Kalau masyarakat ingin terlibat, bentuk dukungan paling bermanfaat itu ya sederhana aja,” katanya. “Mereka sudah mau berbaur aja, kita sudah cukup oke. Sudah mau interaksi pun sudah lebih dari cukup.”

Rumah Lentera mungkin berdiri di tempat yang sederhana, bangunan lama yang mulai kusam. Tapi di sana, setiap hari, cahaya kecil tetap menyala, bukan dari listrik atau matahari sore, melainkan dari tawa anak-anak yang bertahan di tengah sunyi.

Dari tangan-tangan yang memilih tetap merawat, meski dunia menatap dengan ragu. Dan di kesederhanaan itulah, Lentera benar-benar berarti, sebuah rumah yang tak hanya menampung tubuh, tapi juga menjaga harapan agar tetap hidup.

 

Oleh: Muthiara ‘Arsy dan Yunita Tri Hastuti

Editor: Rizky Azzahra Amallia

Exit mobile version