Sengketa lahan di Kampung Kentingan Baru, Kelurahan Jebres, Surakarta, seolah tak pernah padam hingga saat ini. Intimidasi terus dilakukan oleh orang-orang yang tidak diketahui identitasnya. Tiga bulan terakhir, Jamin, mantan warga Kampung Kentingan Baru itu mendapati adegan pukul-pukulan dengan para pembenci mereka.
Jamin mengatakan, warga telah tinggal di lahan kosong itu sejak awal tahun 2000an. Mimpi buruk itu datang pada tahun 2010, ketika tiba-tiba datang intimidasi dari pihak yang mengklaim Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang telah rapat oleh rumah-rumah itu. Sejak saat itu, konflik terjadi antara warga yang merasa memiliki hak tinggal secara de facto dan pihak penggugat yang katanya mengantongi dokumen hukum. Pengukuran sepihak, tekanan aparat, hingga upaya paksa terus berlanjut sehingga memunculkan pertanyaan atas peran negara dalam sengketa yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade yang pecah pada 2018: penggusuran paksa.
Kasus ini begitu rumit dan kabur, terhimpit oleh tekanan dari pihak yang mengklaim atas tanah tersebut, hingga ketidakberdayaan warga menerima nasibnya. Ketidakjelasan pemerintah daerah yang kurang melihat kasus ini membawa kami untuk merunut kembali, sebetulnya, siapa tokoh-tokoh yang menjadi momok bagi warga terdampak, dalang yang sering disebut-sebut ketika membincangkan kasus ini.
Nama Sri Suryani menjadi awal dari serangkaian gugatan atas lahan Kentingan Baru. Padahal, jauh sebelum itu, warga telah lebih dulu menempati lahan itu. Sejak gugatan muncul, tekanan terhadap warga terus meningkat. Tahun 2012, intimidasi pertama datang dari pihak kecamatan. Warga diadu domba, dipaksa menerima kompensasi dalam kondisi takut. Berlanjut dengan intimidasi pada warga, contohnya ketika Jamin mendapati 15 orang masuk ke rumahnya saat dini hari, hanya untuk membincangkan kepemilikan tanah. Akhir-akhir ini, intimidasi hadir kembali: rombongan berisi perangkat RT, RW, lurah, linmas, hingga tentara datang membawa alat ukur dan melakukan pengukuran paksa dengan izin dari pemerintah.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang memulai janji kepada warga? Mengapa tiba-tiba muncul intimidasi dan gugatan? Apakah kekuasaan sengaja memilih diam? Liputan ini mencoba menelusuri jejak janji yang pernah diucapkan, menelaah kekuasaan yang terlibat, dan menggali kebenaran di balik konflik lahan yang terus mengancam ruang hidup warga Kentingan Baru. Tulisan adalah bagian dari upaya jurnalistik untuk menghadirkan klarifikasi dari semua pihak dan mengungkap relasi kuasa yang tersembunyi di balik sengketa yang tampak sederhana, tetapi berdampak besar.
Riwayat Pemukiman
Kawasan Kentingan Baru mulai dihuni sejak akhir tahun 1999. Saat itu, lahan yang terletak di Kelurahan Jebres, Surakarta, masih berupa semak belukar tak bertuan. Warga mulai berdatangan dengan motif yang sama: tidak punya tempat tinggal. Mereka membabat lahan, mendirikan rumah, dan menata komunal menjadi sebuah perkampungan.
Sejak awal, warga menyadari bahwa keberadaan mereka tidak dibekali dengan dokumen legal. Namun, mereka juga yakin tidak merebut hak siapa pun. Tidak ada papan larangan, klaim tertulis, atau aparat yang melarang mereka tinggal di sana. Lahan tersebut tampak kosong dan tidak difungsikan oleh pemerintah daerah, sehingga warga menganggapnya sebagai tanah negara atau tanah terbengkalai.
Harapan untuk mendapat pengakuan muncul pada tahun 2003. Dalam forum terbuka di Balai Kota Surakarta, perwakilan warga menyampaikan aspirasi mereka kepada wali kota saat itu, Slamet Suryanto. Menurut kesaksian warga, Slamet memberi restu secara lisan agar warga boleh tinggal di lahan tersebut, selama menjaga ketertiban. Kalimat yang terus mereka ingat berbunyi, “Silakan tinggal, asal tidak bikin ribut,” disertai pernyataan bahwa Slamet “Siap pasang badan,” jika kelak muncul persoalan.
Meski tak tertulis, pernyataan itu dipegang warga sebagai bentuk pengakuan moral dan politik. Mereka membentuk komunitas, menjaga ketertiban kampung, dan mengakses layanan dasar. Keberadaan mereka diakui secara sosial, meskipun status tanah tidak kunjung diperjelas secara hukum. Ketidakjelasan ini menjadi celah konflik yang muncul beberapa tahun kemudian.
Dinamika Kepemimpinan
Setelah masa kepemimpinan Slamet Suryanto berakhir pada 2005, kursi wali kota diduduki oleh pasangan Joko Widodo dan F.X. Hadi Rudyatmo. Mereka menjabat selama dua periode hingga 2012. Selama masa ini, menurut warga, situasi relatif stabil. Tidak ada penggusuran, tidak ada tekanan terbuka, dan pendekatan pemerintah dianggap lebih berpihak pada masyarakat kecil.
Janji-janji kampanye yang mengusung perlindungan terhadap warga miskin kota dirasa sejalan dengan kondisi Kentingan Baru. Akan tetapi, sebagaimana periode sebelumnya, status hukum atas lahan yang ditempati warga tidak disentuh secara konkret. Situasi ini menciptakan ruang abu-abu yang secara sosial tampak aman, tetapi rapuh secara hukum. Konflik pun tumbuh dalam diam.
Pergantian kepemimpinan terjadi pada 19 Oktober 2012, saat F.X. Hadi Rudyatmo dilantik sebagai wali kota menggantikan Jokowi yang kala itu maju sebagai Gubernur DKI Jakarta. Narasi penataan kota mulai menguat pada periode ini, termasuk terhadap kawasan-kawasan yang dianggap tidak sesuai rencana tata ruang. Pada 16 Desember 2018, terjadi penggusuran paksa di Kentingan Baru. Sebanyak 250 personel kepolisian, TNI, Satpol PP, 150 anggota ormas, dan sejumlah orang yang disebut warga sebagai preman dikerahkan ke lokasi. Puluhan rumah dibongkar, meski status kepemilikan tanah belum tuntas secara hukum.
Setelah penggusuran, kawasan sekitar Kentingan Baru mengalami perubahan signifikan. Proyek perumahan dan fasilitas komersial seperti Burjo Point mulai dibangun di sekitar lokasi yang sebelumnya dihuni warga. Bagi warga, kehadiran bangunan-bangunan baru di sekitar Kentingan Baru, termasuk perumahan dan gerai komersial seperti Burjo Point, menguatkan keyakinan bahwa kampung mereka menjadi bagian dari area yang diincar untuk pengembangan kota. Meski tak pernah dikonfirmasi secara resmi oleh pemerintah, pembangunan itu muncul tak lama setelah penggusuran sehingga memunculkan dugaan bahwa tekanan terhadap mereka bukan semata soal legalitas, melainkan kepentingan ruang.
Ironi semakin terasa ketika warga mendengar bahwa pihak pengklaim tanah mengajukan permohonan penyelesaian kasus ini langsung kepada Presiden Joko Widodo—mantan wali kota yang dahulu dianggap memberi perlindungan. Harapan yang dulu pernah ditanam melalui ucapan lisan kini seperti menjauh. Konflik yang belum selesai di tingkat lokal kini menyentuh perhatian pusat, tetapi belum juga menghasilkan kejelasan hukum yang berpihak pada warga.
Jejak Kuasa di Balik Penggusuran Kentingan Baru
Kronologi penggusuran Kentingan Baru menyimpan jejak kejanggalan yang sulit diabaikan. Bukan hanya soal status lahan dan kekuatan hukum, tetapi juga tentang munculnya nama-nama baru yang tidak dikenal warga, klaim sertifikat secara mendadak, hingga pembangunan proyek yang terkesan terburu-buru. Semuanya menimbulkan satu pertanyaan besar: apakah ini sekadar konflik pertanahan biasa, atau ada jaringan kuasa yang bermain di balik layar?
Salah satu titik awal kecurigaan muncul pada tahun 2010, ketika seorang bernama Sri Suryani menggugat warga Kentingan Baru ke Pengadilan Negeri Surakarta. Berdasarkan kesaksian warga, nama ini sebelumnya tidak dikenal sebagai bagian dari komunitas ataupun pemilik lahan. Namun, dalam dokumen hukum, ia mengklaim sebagian lahan di Kentingan Baru sebagai miliknya secara sah, dengan dasar kepemilikan SHM. Meski begitu, gugatan tersebut dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak diterima karena batas-batas tanah yang diklaim tidak dapat dijelaskan secara jelas. Warga juga mencatat bahwa upaya banding ke Pengadilan Tinggi Semarang juga berujung pada penolakan atau tidak diterima.
Setelah gugatan hukum dinyatakan tidak diterima oleh pengadilan, situasi di lapangan justru memburuk. Alih-alih berhenti, pihak penggugat mulai melancarkan tekanan secara non-yuridis. Warga mulai menerima berbagai bentuk intimidasi, dari kunjungan orang tak dikenal, ucapan bernada ancaman, hingga desakan agar segera mengosongkan lahan. Ketegangan ini memuncak pada tahun 2018 ketika aparat dalam jumlah besar dikerahkan untuk melakukan penggusuran paksa.
Menurut catatan warga, ada sekitar 200 personel Satpol PP, 240 polisi, serta ratusan preman hadir dalam proses pengosongan. Aparat disebut menjalankan penggusuran karena sebagian warga telah menerima kompensasi, sehingga dianggap menyetujui relokasi. Namun, tindakan tersebut tetap menuai kritik karena dilakukan secara menyeluruh, tanpa membedakan warga yang menerima atau menolak. Padahal, masih banyak warga yang sejak awal menolak relokasi dan tidak merasa terlibat dalam kesepakatan tersebut.
Tak hanya itu, warga juga menyebut sejumlah nama yang belakangan dikaitkan dengan konflik ini. Salah satu yang paling sering disebut adalah Kiky, sebuah nama yang diduga terlibat dalam konflik tanah Kentingan Baru. Meski belum ada informasi resmi tentang siapa yang berada di balik nama itu, kehadirannya dalam percakapan warga menunjukkan keresahan kolektif atas pihak-pihak luar yang muncul tiba-tiba dan dikaitkan dengan penguasaan tanah.
Akan tetapi, yang membuat warga resah adalah, tak satupun dari nama-nama tersebut diketahui pernah tinggal, membangun, atau menggunakan lahan secara aktif di Kentingan Baru. Tidak ada papan nama, pagar, atau tanda kepemilikan yang umum digunakan oleh pemilik tanah pribadi. Fisik lahan juga telah dihuni warga sejak awal 2000-an, dibangun rumah dan menjadi tempat hidup sehari-hari. Warga menduga sertifikat-sertifikat itu diterbitkan secara diam-diam di masa transisi status tanah, dari yang semula berstatus HGB (Hak Guna Bangunan) atas nama pemerintah, menjadi SHM atas nama individu.
Kini, meski bertahun-tahun telah berlalu sejak penggusuran 2018, bayang-bayang kekhawatiran belum juga sirna. Baru-baru ini, warga menyebut ada seorang pria yang kembali mengukur lahan dan menyampaikan ancaman akan adanya penggusuran susulan. Belum reda kekhawatiran itu, muncul pula kabar bahwa sejumlah pihak berencana membangun sesuatu di atas lahan Kentingan Baru.
Sengkarut Penggusuran dan Respons Pemerintah
Warga dan tim pendamping hukum dari LBH Yogyakarta menyebut pola penggusuran Kentingan Baru memiliki kesamaan dengan skema-skema yang kerap muncul dalam praktik perampasan lahan. Mereka mencatat bagaimana penggusuran dilakukan dengan cara yang tidak biasa: aparat dikerahkan dalam jumlah besar, tanpa adanya proses hukum yang terbuka atau transparan. Puluhan rumah warga diratakan dalam satu hari, padahal tidak ada surat keputusan pengadilan yang dijadikan dasar pengosongan paksa secara resmi. Proses tersebut berlangsung cepat, tanpa dialog, dan dalam situasi intimidatif.
Sejumlah indikator yang selama ini diasosiasikan dengan praktik mafia tanah juga terlihat di Kentingan Baru. Salah satunya adalah keberadaan sertifikat hak milik yang tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada publik atau kepada warga yang terdampak. Tidak ada papan pengumuman, tidak ada sosialisasi, dan tidak ada transparansi dari pihak yang mengklaim kepemilikan. Warga yang telah tinggal di sana selama lebih dari satu dekade baru mengetahui soal status hukum lahan setelah mereka digugat. Selain itu, munculnya nama pemilik baru terjadi secara tiba-tiba, sementara sebelumnya tanah tersebut disebut berstatus HGB atau milik negara, tanpa pernah ada proses peralihan yang diinformasikan secara resmi.
Di sisi lain, upaya warga dan tim jurnalis untuk menguatkan ingatan atas janji-janji masa lalu terhalang oleh terbatasnya dokumentasi dikarenakan peristiwa tersebut terjadi lebih dari dua dekade lalu, yang mana tidak ada bukti cukup dari rekaman video, dokumentasi berita, atau arsip resmi yang bisa dijadikan dasar untuk menuntut secara hukum. Tim liputan telah mencoba menelusuri arsip surat menyurat, laporan kegiatan Pemkot, dan bahkan menghubungi sejumlah pejabat. Namun, sebagian besar enggan memberikan keterangan. Minimnya dokumentasi ini menjadi titik lemah posisi warga yang hanya bisa bersandar pada ingatan kolektif dan kesaksian lisan sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi legal yang kini mendominasi.
Warga yang tersisa juga telah melakukan audiensi dengan Wali Kota Surakarta saat ini, Respati Achmad Ardianto. Dalam pertemuan yang berlangsung di Balaikota beberapa waktu lalu, Respati menyampaikan bahwa ia baru mengetahui adanya konflik lahan di Kentingan Baru saat berdialog dengan perwakilan warga dan tim pendamping hukum. Sejak audiensi itu berlangsung, belum ada kejelasan tindak lanjut dari pemerintah kota. Tidak ada penjelasan mengenai posisi hukum pemkot atas lahan tersebut, tidak ada penegasan sikap terhadap proses penggusuran sebelumnya, dan tidak ada wacana pemulihan terhadap warga yang terdampak. Sementara kampung telah hilang, harapan untuk keadilan masih menggantung di udara dan janji yang dulu pernah terdengar, belum juga ditepati.
Penduduk di Kentingan Baru tidak tinggal diam menghadapi ancaman penggusuran. Mereka memperoleh pendampingan hukum dari LBH Yogyakarta. Bersama LBH, warga mencoba menyusun jalur advokasi dan mendesak adanya kejelasan status hukum tanah yang telah mereka huni selama dua dekade. Pendampingan itu mencakup audiensi dengan pemerintah, hingga penyusunan argumen hukum berdasarkan penguasaan fisik lahan yang dilakukan warga secara terbuka dan terus-menerus.
PENUTUP
“Di atas tanah yang dijanjikan, kini tumbuh berdiri bangunan-bangunan ketidakjelasan yang dilindungi. Janji itu hilang, tapi warga belum berhenti mencari keadilan.”
Sengketa lahan di Kentingan Baru bukan sekadar kisah tentang penggusuran paksa. Ia adalah cermin dari wajah buram konflik agraria di tengah kota yang terus berulang. Tanah-tanah yang dulunya diberikan secara informal demi kebutuhan relokasi, kini berubah jadi aset berebut yang nilainya tak hanya ekonomis, tapi juga politis. Dalam senyap, warga digeser perlahan oleh klaim-klaim legal yang datang belakangan, padahal mereka telah lebih dulu hadir, membangun, dan hidup di atas lahan itu selama puluhan tahun.
Kasus ini membuka pertanyaan yang lebih besar. Apakah konflik di Kentingan Baru hanyalah satu bab dari pola sistematis dalam tata ruang kota? Ketika kepemilikan tanah lebih mudah dimenangkan lewat akses ke kekuasaan dan sertifikat bisa berpindah tangan tanpa jejak di lapangan, bagaimana negara bisa menjamin rasa aman bagi warganya? Ketika janji-janji pemimpin hanya disampaikan secara lisan lalu ditinggalkan begitu saja saat kekuasaan berganti, kapan warga bisa benar-benar percaya bahwa negara berpihak?
Kentingan Baru juga menunjukkan betapa rapuhnya posisi warga di hadapan sistem agraria kita. Banyak dari mereka yang tidak memiliki dokumen formal karena sejak awal negara tidak pernah hadir secara administratif. Tanah yang dulu berstatus HGB atas nama pemerintah tiba-tiba berubah menjadi SHM atas nama individu tanpa sepengetahuan warga. Peralihan ini bukan hanya menghilangkan hak atas tanah, tapi juga membuka jalan bagi pembangunan-pembangunan yang tak pernah melibatkan warga.
Dan saat konflik meletus, warga tidak hanya berhadapan dengan aparat negara, tetapi juga dengan bentuk tekanan yang tak kasat mata, intimidasi, ancaman, dan penghilangan jejak. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung malah menjadi alat legitimasi bagi mereka yang punya akses. Sementara itu, warga yang bertahan malah dituduh sebagai pengganggu pembangunan, padahal mereka hanya mempertahankan rumah dan kehidupan.
Apa yang terjadi di Kentingan Baru bukan hanya tentang satu kawasan, tetapi tentang bagaimana negara memperlakukan rakyatnya saat kepentingan ekonomi dan politik bertemu di atas tanah. Ini adalah pengingat bahwa keadilan agraria bukan hanya soal siapa punya sertifikat, tetapi siapa yang benar-benar membangun hidup di sana.
Penulis: Sarah Salsabila dan Kharisma Pradewi
Editor: Rohmah Tri Nosita