DI MANA letak sejarah? Suku Tuva di Rusia memiliki perspektif berbeda terkait pertanyaan ini. Mereka meyakini masa lampau alias sejarah berada di depan. Sebaliknya, masa depan ada di belakang.
Argumentasi mereka sederhana tapi cerdas. “Jika masa depan berada di hadapan kita, bukankah dapat kita lihat dengan jelas?” (National Geographic Indonesia, Juli 2012). Itulah mengapa, kejelasan sejarah adalah hal yang mutlak untuk diperjuangkan. Kalau sejarah yang letaknya di depan saja tidak terlihat jelas, bagaimana mau menatap masa depan?
Sejarah diibaratkan Ernst H. Gombrich seperti arus sungai – mengalir berkelok-kelok, menanjak, kadang juga terjun sangat curam. Di sekelilingnya tumbuh pohon-pohon kehidupan. Di dasarnya, terkubur bangkai-bangkai manusia tumbal peradaban. Bangkai-bangkai inilah yang mencemari sungai sejarah, membunuh pohon-pohon kehidupan di sekitarnya.
Anehnya, hewan-hewan berpikir yang hidup di sekitarnya meminum air sungai tadi dengan rakus. Mereka teracuni tanpa sadar. Padahal air sejarah yang kudunya mencerahkan masa depan sedang butek-buteknya. Sungai sejarah perlu segera dimurnikan. Kalau tak segera dimurnikan, hewan-hewan itu bisa mati perlahan. Bergelimpangan memenuhi arus sungai seperti Bengawan Solo 51 tahun silam.
Sejarah yang carut-marut baru akan terasa dalam waktu yang lama. Seperti manusia di usia 71 tahun misalnya. Akan merasakan perubahan yang ia alami ketika memandang foto-foto masa kecilnya. Foto-foto remajanya yang penuh pesta. Foto perkawinan yang mengingatkannya pada suami atau istrinya. Hingga kini ia terbujur lemah hanya berhias kerutan.
Kita bisa belajar dari Suku Tuva. Memperlakukan sejarah sebagai rel utama untuk bergerak berabad-abad ke depan. Bukan apa-apa. Ketidakjelasan sejarah yang terjadi secara masif dan sistematis pasca 1965, secara psikologis meruntuhkan peran pemandu yang diemban sejarah bagi manusia. Sedangkan upaya pelurusan sejarah yang terus-menerus ditentang, menunjukan karakter anti-sejarah yang kolot dalam budaya kita.
Toh, “tak ada gunanya kalau orang mau melarang sejarah dengan begitu saja. Sebab siapa yang ingin menciptakan sesuatu yang baru justru harus mengenal yang lama dengan baik” (Gombrich: 2016: 107).[]
Redaksi [*]