Saya rasa, para perokok aktif selalu disalahkan dalam kondisi apa pun, mulai dari mengganggu kenyamanan hingga membahayakan kesehatan orang lain karena asap rokoknya. Tidak sedikit orang yang menyuruhnya berhenti merokok, bahkan ada yang melakukannya dengan cara yang paling niat. Yap, mereka mengingatkan perokok aktif dengan mencoba menghitung total uang yang telah habis digunakan untuk merokok, “liat nih total uang ngerokokmu selama ini bisa buat ngebangun rumah”. Sungguh niat sekali para aktivis anti rokok melakukan itu demi mematahkan argumen para perokok aktif.
Selain selalu dihina dan dijauhi, para perokok aktif juga selalu diperas oleh pemerintah. Yap, mulai sepuluh tahun terakhir bahkan sudah sejak dulu harga rokok per batangnya tak pernah mengalami penurunan. Setiap tahun harga rokok selalu naik. Sampai pada akhirnya tersiar kabar bahwa cukai rokok akan naik kembali per 1 Februari 2021. Respons publik pun beragam, ada yang mengecam sekaligus mengumpat, ada pula yang santuy karena memang mereka sudah tidak kaget kalau harga rokok setiap tahunnya selalu naik.
Kalau dilihat-lihat, kebanyakan orang mulai menghisap rokok selain untuk gegayaan dan agar dikira nakal juga untuk menghilangkan stres. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrew C Parrot di Amerika pada tahun 2004 yang mengungkapkan bahwa merokok membuat orang-orang tidak stres lagi. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan terdapat korelasi antara jumlah rokok yang dihisap dengan tingkat stres seseorang. Makin stres seseorang, makin banyak pula batang rokok yang dihisapnya. Jadi, tak heran ketika seorang mahasiswa menuju semester pertengahan ataupun para pekerja yang dulunya tidak merokok menjadi merokok, ya karena beban ataupun tingkat stres mereka bisa dikatakan meningkat.
Dalam menghadapi polemik Kementrian Keuangan yang menaikkan tarif cukai rokok per tahunnya, terdapat banyak cara yang dilakukan oleh para perokok aktif untuk mengakalinya. Mungkin yang mulai sering kita jumpai adalah beralihnya mereka pada rokok lintingan atau tingwe yang lebih ramah di kantong. Sejenis tembakau biasa saja hanya perlu dibanderol 10-15 ribu rupiah per lima ons, bahkan untuk mendapatkan tembakau hijau Gayo yang sudah bersertifikasi pun cukup 20 ribu rupiah per lima ons.
Kembali ke permasalahan kenaikan harga rokok per 1 Februari tadi, seperti yang dilansir dari CNBC Indonesia pada tanggal 1 Februari, kenaikan tembakau sebesar 12,5% mulai berlaku. Namun, tidak semua jenis rokok mengalami kenaikan tarif cukai, hanya jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Tangan (SPT). Untuk kategori SKM cukainya naik sebesar 13,8% – 16,9% tergantung golongan, sementara SPM naik 16,5% – 18,4%.
Kebijakan yang diterbitkan oleh eks bos Bank Dunia ini telah mempertimbangkan beberapa hal seperti target penerimaan negara, untuk melindungi para pekerja di industri rokok, dan para petani tembakau. Selain itu, kebijakan ini juga diterbitkan untuk menekan angka konsumsi rokok, terutama di kalangan remaja usia 10-18 tahun. Namun, apakah cara pemerintah ini akan berhasil?
Menurut beberapa penelitian yang dilakukan, kebijakan untuk menaikkan cukai rokok dianggap kurang begitu tepat. Dilansir dari penelitian Prakarsa Policy Brief dengan judul “Pengaruh Tingginya Kenaikan Harga Rokok terhadap Kebiasaan Merokok di Indonesia: Apa Kata Para Perokok”, jika terjadi kenaikan cukai rokok sebesar 50%, maka 87,93% responden akan tetap merokok dengan dua pilihan, yaitu bertahan dengan merek rokok yang selalu dibeli sebelumnya atau menggunakan merek rokok lain yang lebih murah. Data ini didapat dari survei representatif yang mereka lakukan pada tahun 2018 terhadap 1.440 perokok di enam kabupaten (Malang, Lampung Selatan, Tangerang, Gowa, Bandung, dan Banyumas). Kemudian, dilansir dari Diponegoro Journal of Economics Volume 1 Nomor 1 Tahun 2019, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Semarang, adanya kenaikan harga rokok tidak begitu mempengaruhi jumlah konsumsi rokok para konsumen. Sementara yang mempengaruhi jumlah konsumsi rokok secara signifikan adalah variabel umur, frekuensi merokok, dan lama merokok.
Ya, memang pada ujung-ujungnya beberapa penelitian menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak begitu berpengaruh terhadap pengurangan jumlah konsumen rokok. Kalau dipikir-pikir lagi, ini sungguh sebuah ironi bagi para perokok aktif. Selain sudah dicap menganggu dan sering disisihkan dari lingkungan karena asap dan baunya yang dianggap tidak enak, perokok aktif masih saja diperas oleh negara terkait harga rokok yang semakin menjulang tinggi. Akibatnya, banyak perokok mulai pindah ke merk rokok lain yang lebih murah, rokok lokal yang tidak ada pita cukai, bahkan hingga membeli lintingan. Semuanya itu dilakukan para perokok untuk memenuhi kebutuhan nikotinnya.
Penulis: Muhammad Achmad Afifuddin
Editor: Diana Kurniawati