September sering kali muncul dalam frasa “September ceria”. Meskipun dalam kenyataannya banyak terjadi tragedi memilukan terjadi di bulan September, sebut saja, peristiwa G30S hingga peristiwa WTC di Amerika. Terlepas dari semua itu, September memiliki satu hari spesial yang sering kali dilupakan banyak orang. Tanggal 24 September sebagai Hari Tani Indonesia.
Sesuai namanya, Hari Tani didedikasikan untuk pertanian Indonesia. Melihat ke belakang banyak upaya yang digalakkan untuk memperbaiki sistem pertanian dan untuk menyediakan bahan pangan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu tonggak utama pembangunan pertanian Indonesia, Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sebelas Maret (UNS) merayakan Hari Tani dengan berbagai cara. Kuliah di FP selama dua tahun membuat saya telah mengikuti perayaan tersebut sebanyak dua kali.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FP sebagai fasilitator utama perayaan Hari Tani pun merayakannya sesuai tradisi mereka. BEM berdemo menuntut pemerintah untuk lebih memperhatikan pertanian Indonesia. Sementara itu, mereka yang tidak setuju dengan tradisi ini pun tidak mengikuti perayaan Hari Tani. Mereka memilih tetap kuliah atau melakukan aktivitas lainnya. Mereka tidak apatis, mereka hanya merasa berdemo tidak akan membawa perubahan untuk pertanian Indonesia. BEM dengan pola pikir mereka pun akhirnya akan menganggap mahasiswa yang tidak mengikuti serangkaian aksi itu sebagai mahasiswa FP yang apatis.
Berbeda dengan BEM, beberapa Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) menyebarkan kertas post-it kecil berwarna-warni kepada mahasiswa FP dan meminta mereka menuliskan harapan-harapan untuk pertanian Indonesia. Kertas-kertas tersebut kemudian dipajang selama sehari. Lucu dan kreatif, tetapi bukankah mereka hanya menuliskan harapan? Esensi perayaan yang sebenarnya sama dengan perayaan BEM, menggaungkan harapan setinggi langit kepada pemerintah dan petani Indonesia. Keduanya berharap adanya perbaikan kondisi pertanian Indonesia, tanpa berperan aktif. Sebagai mahasiswa, jelas cara yang paling tepat adalah dengan mulai belajar dengan giat dan berani menjadi petani, nantinya.
Saya sempat membaca kertas-kertas harapan mahasiswa yang dipajang pada Hari Tani 2014. Dari semua harapan itu, saya hanya menemukan harapan-harapan yang sesungguhnya sama. Indonesia mampu swasembada beras lagi atau sesuatu yang terdengar pintar tetapi sebenarnya hanyalah kalimat utopis seperti “alih fungsi lahan harus dihentikan”. Penghentian alih fungsi lahan adalah sesuatu yang mustahil karena kenyataanya jumlah manusia terus bertambah, menyebabkan penggunaan lahan sebagai ruang untuk pemukiman tidak terhindarkan. FP memiliki tanggung jawab besar untuk menghasilkan lulusan yang mampu menyediakan hasil pangan berkualitas dengan segala sumber daya yang ada. Lahan yang sangat terbatas membuat alih fungsi lahan berhenti. Hal tersebut bukanlah hasil dari semua komprehensif perkuliahan yang didapatkan di FP.
Swasembada beras yang berhasil pada era Soeharto sebenarnya merupakan hasil dari penggunaan bahan-bahan kimia dari pupuk dan pestisida yang terlalu intensif. Sementara itu, segala sumber daya utama pertanian yang alami akan mengalami kerusakan jika terus-menerus dijejali bahan-bahan kimia. Hal itu menjadi efek samping kesuksesan swasembada beras era Soeharto.
Tanpa kita sadari, penggunaan bahan kimia tersebut telah menciptakan pencemaran. Pencemaran terakumulasi di tanah tempat tanaman sumber pangan. Bahan kimia itu lalu mengalir bersama air yang kita gunakan di keseharian. Pencemaran tersebut tidak kita sadari secara langsung sehingga hasil pencemaran tersebut muncul 20 atau 25 tahun kemudian. Oleh sebab itu swasembada yang cepat dan instan sesungguhnya sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak berkelanjutan dan membawa banyak masalah ke depannya. Sayangnya, saya tidak menemukan harapan untuk menjaga kelestarian tanah dan air, atau tekad untuk menciptakan pertanian terpadu yang berkelanjutan. Hal yang sesuai dengan slogan utama FP UNS.
Semoga perayaan Hari Tani tahun ini tidak hanya ajang menggantungkan harapan belaka. Jika kita lihat di kalender, 24 September 2015 bertepatan dengan hari raya Idul Adha yang identik dengan penyembelihan sapi dan kambing. Namun, jangan lantas marah ketika ingat bahwa yang terhidang di meja kita sejatinya adalah hasil impor bukan asli Indonesia. Perlu dipahami, pertanian adalah sebuah proses, tidak bisa langsung, apalagi instan.
Penulis:
Maymunah Nasution
Mahasiswi semester 5 Agroteknologi FP UNS