Judul buku : Genderang Baratayudha
Penulis : R. Toto Sugiharto
Tebal : 612 halaman
Dimensi : 14×20 cm
Harga : Rp. 60000 (harga rekomendasi penerbit)
Penerbit : DIVA Press
ISBN : 978-602-7724-03-7
Sebuah kisah perseteruan klasik antara Pandawa dan Kurawa yang dikisahkan dalam epos Mahabarata merupakan karya sastra yang cukup memicu kontroversi.Wiracarita asli Mahabarata yang bersumber dari kitab Veda memiliki perbedaan terhadap wiracarita yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dalam Kakawin Baratayuda. Meskipun demikian, klimaks dari keduanya adalah sama, yakni peperangan Baratayudha.
Epos Mahabarata merupakan sebuah kisah yang digandrungi di negeri asalnya, India, maupun di Indonesia.Hal tersebut dapat kita simpulkan dari antusiasme penikmat sinema Mahabarata,namun bagi mereka yang memahami alur cerita Mahabarata versi Jawa akan membantah terhadap alur cerita yang dikisahkan oleh versi India karena terdapat perbedaan dalam segi alur cerita, karakter tokoh serta tokoh khas yang ada di versi Jawa, semisal Punakawan, Wisanggeni, Antareja dan Antasena.
R. Toto sugiharto dengan novel ini memaparkan rangkaian kisah demi kisah dengan lugas dan jelas terhadap rentang perbedaan dari epos MahabarataversiIndia dan versiJawa. Novel iniditulis dengan sentuhan puitis-naratif modern yang bersumber dari sastra klasik, membuat para pencinta dunia pewayangan semakin mencintai wayang dan memberi pemaparan yang ‘ringan’ bagi pembaca pada umumnya. Alur cerita yang mendalam disertai khas penggambaran karakter Jawa di tiap adegannya memberi kesan bahwa dibalik penulisan novel ini terdapat riset yang kompleks sebagai data pendukung.
Sepetik Kisah Khas Jawa
“Bahwa, Kitab Jitabsara memuat daftar nama tokoh yang gugur dalam Baratayudha. Namun, hingga beberapa saat sebelum mereka menggelar sidang tersebut, proses penulisan sudah sampai pada kemungkinan takdir yang akan ditetapkan oleh Baladewa dan Antareja. Malang, bejana tempat tinta tertumpah akibat diterjang lebah.” (Hlm. 131).
Kitab yang seharusnya menjadi hak milik para dewa di kahyangan itu, akhirnya diincar oleh pihak Pandawa dan Kurawa. Siapa pun ingin tahu, siapa-siapa saja kesatria yang akan berguguran dalam Baratayudha. Siapa dibunuh siapa. Krishna sang Raja Dwarawati, adalah salah seorang penguasa yang nekat memasuki kahyangan demi mencari tahu berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam Baratayudha. Dialah lebah yang dengan sengaja menumpahkan tinta dan tahu sejumlah kesatria yang akan meregang nyawa. Dialah satu-satunya manusia yang tahu sebagian besar isi kitab itu. Walau kemudian ia berhasil ditangkap oleh Sang Hyang Batara Guru dan Patihnya Batara Narada.
“Kamu tentu keberatan pada sesuatu sehingga kamu menumpahkan tinta. Bukankah begitu?” selidik Batara Narada memulai pemeriksaan.
“Benar, Batara. Saya menolak Baladewa dilawankan dengan Antareja. kekuatannya tidak seimbang.”
“Kamu meremehkan kekuatan Antareja?” pancing Batara Guru
“Justru karena Antareja terlalu sakti bagi Baladewa.”
“Kesaktian seperti apa yang membuat Antareja tidak terlawankan oleh Baladewa?”
“Mohon maaf, Batara. Saya tidak dapat mengungkapkannya. Kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Batara menyerahkan Kitab Jitabsara untuk saya” (Hlm. 140).
Nilai Alur Cerita Kontra Detail Tokoh dalam Cerita
Epos Mahabarata versi Jawa yang ada sekarang ini mengalami perbedaan dalam penyesuaian segi budaya kearifan Jawa oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, serta penyesuaian cerita terhadap agama Islam oleh Sunan Kalijaga. Hal tersebut yang menjadi inti dari penyebab perbedaan antara Mahabarata dalam versi Jawa dengan Mahabarata dalam versi India. Kemudian dari perbedaan inilah banyak dijumpai masalah dalam fokus penulisan.
Termasuk bukuGenderang Baratayudha, Anda akan mengalami konflik kebingungan ketika menganalisis terhadap silsilah, asal-usul serta karakter dalam setiap tokoh yang ada dalam cerita. Karena itulah buku Genderang Baratayudha dan sejenisnya memiliki kesan pelik dan membutuhkan buku rujukan lain untuk memahami ceritanya. Maka sangat disarankan bagi pembaca untuk memiliki buku pegangan lain yang membahas tentang tokoh demi tokoh dalam cerita epos Mahabarata. Disamping itu perlu kehati-hatian pula untuk memilih buku pegangan yang sesuai dengan versinya. Semisal, versi Jawa dengan pegangan buku Jawa, versi India dengan pegangan buku India.
Khusus untuk buku ini, nilai dalam alur cerita yang dipaparkan oleh R. Toto Sugiharto sangat mendalam. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai kelebihan serta kekurangan buku ini. Kompleks nilai alur cerita yang disampaikan berbanding terbalik dengan detail tokoh dalam cerita. Penggambaran detail karakter yang seharusnya proporsional dengan nilai alur cerita tidak ditemui dalam buku yang cukup tebal ini.
Kekentalan nilai yang disampaikan menghabiskan ruang yang cukup banyak bagi detail karakter yang harus digambarkan. Disinilah kesulitan mayoritas penulis buku tentang pewayangan Jawa. Ketika penulis memfokuskan nilai dalam alur cerita maka penulis harus juga membagi fokus dengan detail karakter tokoh cerita. Jika keduanya menjadi fokus maka buku yang dicetak akan memiliki jumlah halaman yang cukup besar.
Dalam berbagai kekurangan terhadap fokus dan sudut pandang yang dipergunakan oleh penulis, perlu kita sadari bahwa penulis juga manusia. Menurut saya pribadi yang juga meminati tentang pewayangan, Buku ini tergolong sebagai masterpiece dalam lingkup tema yang diusungnya. (Bukhori)