Site icon Saluran Sebelas

Raga Anak dalam Kuasa Budaya Pop

 

Oleh: Satya Adhi

“…dingin-dingin,

dimandiin,

 nanti masuk angin”  

(Air-Joshua Suherman).

 

JOSHUA Suherman pernah sangat populer lewat lagu Air yang dirilis pada 1999. Lagu itu menceritakan seorang anak yang asik bermain air. Gara-gara itu, ia harus mandi lagi untuk membersihkan badannya.

Karena populer di kalangan anak-anak, otomatis lagu ini juga populer di kalangan orang tua, utamanya ibu-ibu. Ketika bayi dimandikan, ibunya menyanyikan lagu ini, sambil memandangi wajah anaknya yang menggemaskan dan tingkahnya yang lucu saat air menerpa tubuhnya.

Saat usia si anak sedikit bertambah, orang tua mulai kesulitan menyuruh anaknya mandi. Sore hari utamanya, mereka asik bermain bersama teman-temannya di jalan kampung, lapangan, atau sawah. Pulang menjelang magrib, sehingga baru mandi saat langit mulai gelap.

Barangkali, anak-anak mencontoh tokoh-tokoh kartun yang mereka lihat di televisi atau majalah. Seorang anak pernah bertanya pada redaksi majalah Bobo di rubrik Apa kabar, Bo? Pertanyaannya lugu dan menggelikan. “Bo, sebenarnya kamu, tuh, kelinci atau manusia, sih? Kok kelinci bisa berdiri dan berbicara? Terus kamu, tuh sehari mandi berapa kali? Kok baju dan sepatumu enggak pernah ganti?”[1] tanya Sevilla Yuan Verliana, seorang anak berumur sepuluh tahun. Tim redaksi Bobo lalu menjawab bahwa Bobo adalah “kelinci yang dipersonifikasi. Artinya, kelinci yang dibuat atau diceritakan seperti manusia… Aku mandi sama seperti kamu. Aku selalu ganti baju setiap hari. Tapi aku ganti sepatu kalau sepatuku sudah rusak. Hehe…”[2]

Pertanyaan serupa pernah muncul di majalah Ina edisi Agustus 1999. Seorang anak bernama Cintya Stelly Diyono bertanya, “kenapa dalam keluarga, Ina setiap hari pakaiannya sama terus?” Tim redaksi Ina menjawab dengan cara yang lain dari redaksi Bobo. “Itu ciri khas pakaian mereka. Tapi pernah lho Ina pakai pakaian tidur.”

Mungkin saja, Sevilla dan Cintya sering diminta orang tuanya untuk rajin mandi. Tapi apa yang ia lihat di majalah Bobo dan Ina berlainan dengan apa yang dikatakan orang tuanya. Nurani mereka lalu terusik dan dikirimlah surat pada redaksi untuk menanyakan hal tersebut.

Hukum sebab-akibat adalah cara efektif yang bisa dipakai untuk meminta anak melakukan sesuatu, termasuk mandi. Seperti cerita Anto misalnya:

          “Anto kok, sekarang rajin mandi? Ibu menggendongnya.

          Mulutnya yang masih penuh, memaksanya hanya menjawab dengan senyum saja.

“Kemarin sama Tante Ani diajak ke mana, To?” tanya Ibu lagi.

“Jalan-jalan ke mal ya?” aku ikut bertanya.

Anto menggeleng. Tangannya menunjuk gelas di meja, minta minum. Ibu mengambilkannya. Glek, glegek.                   Hidungnya sampai masuk ke gelas. Ibu melihatnya sambil tersenyum.

“Ayo, cerita, dong, To!” desakku sambil menawarkan sosis goreng lagi.

“Diajak antar Kakek ke dokter,” ceritanya.

“Hah, kok Tante tidak bilang sama Ibu?” Ibu terlihat kaget.

“Terus?”

“Aku ikut masuk ke ruang dokter. Dokternya baik, aku dikasih permen,” ujarnya sambil menggoyangkan                       kepala dan mengedip-edipkan mata.

“Dokter tanya namaku. Terus aku gantian tanya.”

“Kamu tanya apa sama Dokter?” sambut ibu.

“Om Dokter, kok orang pada sakit sih… Kakek Anto kok, sakit juga?”

“Dokter jawab apa?”

“Karena mereka jarang mandi!”

Ibu tersenyum sambil mencubit gemas pipi Anto. Aku tergelak. Mak Ijah juga terkekeh. Ayah tertawa geli                     ketika mendengar cerita kami sore harinya.
Kini Anto sudah tidur. Mungkin sedang mimpi mandi lagi. [3]

Pada mulanya Anto senang bermain air, tapi malas kalau disruruh mandi. Seisi rumah kelimpungan ketika Anto hilang entah ke mana. Ternyata ia berada di kamar mandi dan tengah mandi. Ibunya heran, Anto yang biasanya susah mandi kini menjadi rajin. Logika Anto memakai logika sederhana setelah bertemu dengan Om Dokter: kalau malas mandi, nanti gampang sakit. Maka, mulailah Anto berkomitmen pada dirinya untuk rajin mandi.

Tapi mandi yang menyegarkan dan menyehatkan mulai menjadi kegiatan yang merepotkan. Coba perhatikan cara mandi bangsawan Romawi berikut;

Sebenarnya, orang mengetahui manfaat mandi teratur baru sekitar 100 tahun yang lalu. Di jantung kota Roma           terdapat tempat mandi Caracalla yang sangat luas. Mungkin merupakan tempat mandi termewah. Sebab di                 sana terdapat kolam renang, tempat mandi yang memakai air hangat, mandi uap, perpustakaan, restoran, dan             teater untuk menghibur orang mandi. Bahkan orang kaya Romawi mandi di bak mandi atau kolam yang mahal           dengan anggur terbaik dan parfum juga susu. Abad ketiga sebelum Masehi hampir semua orang kaya                             mempunyai tempat mandi pribadi dan kolam renang di rumahnya.[4]

Mandi ala bangsawan Romawi adalah mandi yang mewah. Tubuh-tubuh mereka harus diberi perawatan ekstra. Bukan hanya agar tidak penyakitan, namun juga agar elok dilihat. Kini, mandi yang menyegarkan dan menyehatkan, mulai berubah menjadi hal yang merepotkan. Menyerupai repotnya mandi para bangsawan Romawi.

Hitung saja, berapa varian produk yang harus dimiliki seorang anak untuk mandi. Sampo aroma jeruk, sabun aroma stroberi, pasta gigi rasa melon, gel rambut Batman. Belum lagi bedak bayi dan minyak kayu putih atau minyak telon – entah itu Cap Lang, Cap Gajah, atau Cap Betet. Entah apa yang terjadi dengan hidung anak-anak ketika mencium beragam aroma aneh yang melekat di tubuh mereka.

Foto Si Kecil

Usai mandi, orang tua biasa mengajak bayinya keliling keluar rumah. Di kampung-kampung, ada saja orang tua yang menggendong anaknya usai dimandikan di sore hari. Mengajaknya berkeliling, berkenalan dengan manusia-manusia di sekitarnya. Sambil menyuapi si anak, sang ibu asik bercengkerama dengan ibu-ibu lainnya. Ada juga bapak-bapak yang mengajak anaknya keliling kampung menaiki motor. Si anak didudukkan di jok depan. Lalu para warga lain akan menyapa, sambil sesekali mencubit atau memuji si anak dengan perkataan seperti “lucu”, “menggemaskan”, dan “pintar”.

Bagi yang tak punya tetangga atau punya tetangga tapi serasa tak punya, mereka mengenalkan anaknya lewat cara lain. Tingkah menggemaskan si anak difoto atau direkam lewat kamera ponsel, lalu diunggah ke media sosial. Nah, like, love, atau komentar-komentar yang masuk menjadi legitimasi terhadap keelokkan anaknya.

Mantan Ibu Negara, Ani Yudhoyono, tak lepas dari kebiasaan ini. Wanita yang katanya doyan fotografi ini memperlihatkan cucu-cucunya yang “lucu, menggemaskan, dan pintar” (setidaknya itu yang sering dikomentarkan) lewat akun Instagram. Entah komentar yang masuk itu hanya basa-basi, atau jujur dari nurani si pemberi komentar.

Tren foto anak membuatnya sering menjadi rebutan orang dewasa untuk diajak foto bersama. Anak kecil menjadi seorang selebritis dalam dunianya sendiri. Tak hanya menjadi tren di media sosial, foto anak yang berpose genit dan manja dikirimkan orang tuanya ke media-media. Coba buka majalah-majalah anak atau koran Minggu. Hampir pasti ada rubrik di mana pembaca bisa mengirimkan foto anak mereka. Redaksi lalu memberikan bingkisan sebagai ‘honornya.’ Ini bukan fenomena baru. Majalah Ina edisi Agustus 1999 sudah memuat rubrik Sahabat Ina yang menyediakan ruang bagi pembaca untuk mengirimkan foto mereka. “Syaratnya: Kirimkan foto yang paling aksi, sertakan juga data diri kamu,” tulis Ina. Di majalah Mentari milik Jawa Pos Group, ada rubrik Centil dan Gaya yang menyediakan ruang serupa.  

Di majalah Disney Junior, tersedia rubrik Album Junior bagi pembacanya. Foto yang terpilih, “akan mendapat hadiah paket dari Kodomo.”[5] Kodomo! Sebuah produsen perlengkapan mandi anak. Cara mandi yang merepotkan, ternyata bertujuan untuk mengkomersialkan anak. Bukan mandi agar tidak sakit seperti Anto, tapi mandi agar layak difoto.

Bila anak sudah menjadi bahan komersialisasi, akan ada banyak pengaturan pada tubuhnya. Ia menjadi laiknya boneka percobaan orang dewasa. Tak puas dengan variasi aroma perlengkapan mandi, pakaian-pakaian mentereng juga harus dikenakan si anak. Kalau belum puas, banyak varian susu, sereal, vitamin, atau minuman semacam Scott’s Emulsion yang bisa dicoba untuk membuat tubuh anak tampak sehat.

Beragam iklan di majalah anak atau televisi mendorong orang tua untuk melengkapi anak mereka dengan beragam produk. Perlengkapan mandi, sereal, plester, aneka jajanan, fashion, hingga mainan. Tapi dari berbagai iklan anak, rasa-rasanya tidak ada yang lebih superior daripada iklan produk susu. Sebut saja Frisian Flag, Milo, Dancow, Sustagen, Boneto, dan produk lainnya, berlomba-lomba meraih simpati orang tua.

Dalam iklan-iklan susu yang tayang di televisi, sosok anak selalu ditampilkan sebagai manusia dengan tubuh menggemaskan. Ia kaya dengan rasa ingin tahu dan senang menjelajah lingkungan sekitarnya. Lalu muncul sebuah adegan di mana si anak kesulitan memecahkan masalah yang ia temui. Sang ibu lalu memberikannya susu. Otak si anak bekerja lebih encer, lalu masalah terselesaikan. Waw!

Para orang tua lebih-lebih dengan tingkat ekonomi menengah ke atas pasti ingin anaknya ‘terlihat’ berotak encer. Maka, tak cukup saja dengan belajar dan membaca buku saja. Anak mereka harus minum susu.

Padahal untuk bisa menjadi cerdas, si anak wajib menjadi ‘pembelajar’ yang baik. Seperti Toni misalnya:

          Juara Kelas

          Toni bocah pinter lan sregep.

          Toni pengin dadi juara kelas maneh.

          Nalika kelas siji Toni juara siji.

          Toni sregep sinau.

          Kanca-kancane akeh.

          Ana Adi Rudi Ani Tuti lan isih akeh maneh.

          Kabeh padha seneng sinau karo Toni.[6]

Cerdiknya, narasi anak yang cerdas merupakan anak yang “juara siji” dan ”kanca-kancane akeh” inilah yang diolah para pengiklan. “Kalau ingin anak anda juara siji, minumlah susu kami!” begitu kira-kira.

Susu-susu ini juga dipercaya bisa membuat “satu mulut saya, tidak berhenti makan,” bila meminjam lirik lagu ciptaan Pak Kasur. Nafsu makan yang meningkat lalu membuat tubuh anak gemuk, menggemaskan, dan membuat orang “selalu ingin memeluknya erat-erat.”[7] Orang tua memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kelebihan anak-anaknya. Menceritakannya kepada tetangga atau teman kantor. Dan gemuk akan membuat anak mereka menuai banyak pujian.

Otoritas anak terhadap tubuhnya menjadi berkurang. Anak menjadi tergantung pada benda-benda di luar tubuhnya. Mereka takut melangkah bila tak memakai sepatu. Takut keluar rumah bila tubuhnya belum wangi. Takut berjalan di bawah sinar matahari bila tak memakai payung. Takut bertemu teman-temannya sebelum berpenampilan mentereng.

Ketika ketergantungan dan ketakutan telah menguasai anak, fungsi indra-indra mereka akan terkikis. Anak bukan lagi bocah yang bebas bermain dan mengobok-obok air, menjelajah dunia kecil mereka. Tapi lebih mirip boneka percobaan orang-orang dewasa di sekitar mereka. Itulah nasib ragawi bocah dalam budaya pop![]

[1] Bobo, edisi 2, 22 April 2010.

[2] Ibid.

[3] Taufan E. Prast. Anton Rajin Mandi. Cerita dari Bobo, kidnesia.com.

[4] Mandi. Ina, edisi 29, Agustus 1999.

[5] Disney Junior, edisi 176, 19 Oktober 2006.

[6] Surana, 2007, Piwulang Basa Jawi 2 Kangge Kelas II SD/MI. Surakarta: Tiga Serangkai, hal. 6.

[7] Saya Sasaki Siraishi, 2009, Pahlawan-Pahlawan Belia, Jakarta: Nalar, hal. 85.


Satya Adhi. Mahasiswa yang gemar berjalan kaki (sendiri). Surel: muhammadsatya31@gmail.com.

Exit mobile version