Site icon Saluran Sebelas

Plitur

 

Babeh baru saja menghidupkan mesin kompresor. Mesin dengan tabung oranye yang biasanya untuk menambal ban di pinggir-pinggir jalan besar. Dengan bentuk menyerupai bom yang seakan akan mau meledak dan bertengger mesin diesel kecil di atasnya untuk memompa angin masuk ke tabung. Bukan untuk tambal ban, tapi Babeh menggunakannya untuk memplitur kayu pada mebel hasil
buatannya.

 

 

Sore itu, di desa suasana sedang lengang, tidak seperti kemarin yang heboh karena para warga ramai membicarakan anggaran pembangunan jalan yang pelik. Tetes gerimis mulai memercik, cahaya kilat terlihat di kejauhan diantara pohon bambu yang tumbuh di depan rumah Babeh. Berbalut kain lusuh dan celana jeans yang sudah dipotong sebatas lutut, dia mengumpulkan sisa potongan kayu yang berserak di tempat kerjanya, sebuah bangunan semi permanen tempat Babeh membuat mebel. Waji, yang masih tergolong saudara jauh dari Babeh, orangnya masih muda. Dengan cekatan dan sangat teliti dia menyemprotkan cairan plitur ke ranjang yang sudah jadi. Mebel ranjang pesanan pemilik toko pertigaan di utara rumah Babeh. Dengan sabar dan teliti Waji mulai mem-plitur dari bagian bawah ranjang, dengan alat semprot yang terhubung dengan kompresor.

 

 

Bisingnya kompresor menderu. Hujan mulai turun. Dan hari semakin gelap. Namun, baru bagian bawah ranjang yang sudah terlapisi plitur. Tidak ada cukup penerangan untuk melanjutkan. Dua lampu neon yang tergantung di bangunan semi permanen itu tidak cukup jika digunakan untuk penerangan. Apalagi untuk memplitur. Warna cahaya neon dan plitur akan menyatu dalam kekuning semu oranye. Tidak akan bisa terlihat, mana bagian yang sudah terplitur dengan baik dan mana yang belum.

 

Sebagian warna asli kayu masih nampak. Sebagian lagi sudah bagus tertutup plitur, warnanya  mengkilap coklat semu kekuningan, menambah kesan mewah dan mahal pada mebel. Entah kapan saat semua bagian sudah terplitur, cacat pada kayu tidak akan terlihat lagi. Cekungan setengah senti bekas paku pun, rata dan nampak sebaik-baiknya kayu.

 

 

Hari sudah malam. Pekerjaan harus disudahi. Masih ada besok pagi untuk meneruskan pelapisan. Setelah ranjang, masih ada satu kursi, dan dua meja. Setelah itu, pesanan satu almari sudah menunggu dikerjakan Babeh. Burung hantu berbunyi, Waji kembali ke rumahnya, Babeh terlelap dalam derasnya hujan di luar rumah yang dari tadi sore masih langgeng.

 

 

***

 

 

Kopi diseruput dengan tubuh yang bergidik menahan dingin, Carik Genggong menaikkan kacamatanya tepat di jidat, matanya melompat-lompat di atas tumpukan kertas dihadapannya. Mencoba meneliti lembar per lembar, satu per satu dengan sangat seksama. Dahinya berkali-kali berkerut, tanda berfikir keras, sesekali tangannya menyangga kepala di atas meja, sesekali pula genggaman tangannya seakan menggebrak meja walaupun dengan lirih tertahan.

 

 

“Tidur, pak. Sudah malam” teriak istrinya dari lantai dua rumahnya.

 

 

“Urusan toko sudah selesai belum ?” sahut Carik Genggong

 

 

“Baliho depan toko tadi sudah diganti yang lebih bagus. Tidak usah dipikir. Cepat tidur !” Jawab isterinya, sembari menutup pintu kamar dari dalam.

 

 

Seharian mengurus toko di pertigaan itu mungkin melelahkan bagi Nyonya
Carik. Yang dengan tiba-tiba kepalanya keluar dari balik pintu sembari
berteriak.

 

 

“Pak, ranjang pesanan di Babeh belum jadi juga ?”

 

“Entah” singkat Carik Genggong menjawab. “Cepat tidur saja. Jangan ganggu terus. Ini pusing kepalaku.”

 

Kedua tangan Carik Genggong mencengkeram kepalanya. Terlihat pekerjaannya menumpuk. Meneliti apa-apa yang keliru dengan Laporan Pembangunan Jalan kemarin. Laporan dan kenyataan yang membuat warga kampung geger. Anggaran 19 juta untuk perbaikan jalan sepanjang 100 meter, tidak sesuai kenyataan. Dalam pembangunan itu, para warga menggerutu, pasir yang didapat bercampur tanah, semen yang didapat tidak cukup serta tidak sedikit yang menyalahkan perangkat desa setempat. Termasuk Carik Genggong selaku perangkat desa yang disalahkan masyarakat karena rencana dan kenyataan pembangunan yang mengecewakan.

 

 

Malam semakin larut. Hujan belum reda. Burung hantu tiada terdengar suaranya. Andai hujan reda, sungguh hening kampung itu. Jangkrik yang biasa berderit-derit pun lengang. Carik genggong bertambah pusing. Tubuhnya dilanda kantuk, sementara kopi di sebelah pojok meja kerjanya sudah habis sedari tadi.

 

 

Laporannya masih belum rampung, pembangunan jalan yang rumit. Harus dibenahi ini dan itu. Harus ditambal kekurangan ini dan itu supaya sesuai dengan rencana anggaran yang lalu. Kalkulator tak hentinya Carik pencet-pencet sesuai dengan angka yang tertera dalam lembar. Sering kepalanya dia garuk-garuk karena angka di kalkulator tidak sesuai dengan yang dia harapkan, dan tidak pula sesuai dengan kenyataan. Pengeluaran untuk membeli semen dikurangi, jumlah pengeluaran jadi semakin jauh dari rencana. Ditambah pada volume pasir, masih belum mencapai anggaran yang sesuai. Semua cara dicoba, semua alternatif dilakukan, asal masih dalam logika Carik Genggong dan laporan bernilai benar dengan segala tambalan, rekayasa dan fiktif di sana-sini.

 

 

Kepalanya berdenyut. Tekadnya untuk menyelesaikan laporan malam itu juga. Tidak ada lagi besok untuk mengerjakannya. Semua harus tuntas malam itu juga. Namun, ayam jago di kampung sebelah sudah berkokok. Terdengar sayup di kejauhan. Truk mulai berderu melintas pertigaan di sebelah rumahnya. Tanda pagi akan segera menyapa. Yang mengartikan bahwa Carik Genggong tidak tidur semalaman. Kelopak matanya menghitam, tetapi ada sedikit gurat kepuasan dalam wajahnya.

 

 

“Sudah selesai, pak ?” tanya isterinya dengan tubuh mengolet keluar dari kamar tidur di lantai dua.

 

 

“Sudah” jawaban singkat dengan segala kelegaan.

 

 

Dalam waktu semalam tak terasa lurah Carik menyelesaikan pekerjaannya. Semua akan beres.

 

 

“Ranjang di Babeh tanyakan nanti, pak” isterinya menyambung.

 

 

“Nanti sekalian berangkat kantor” jawab Carik Genggong seketika ngeloyor menuju kamar mandi.

 

 

***

 

 

Dengan motor butut keluaran 85-an, Waji datang ke rumah Babeh. Seperti biasanya Babeh baru saja bangun dan langsung menghidupkan mesin kompresor, bersiap menyelesaikan pekerjaan yang kemarin. Ranjang, kursi lalu meja yang sudah menanti untuk di plitur supaya terlihat cantik dan menawan tanpa cacat kayu. Tangan cekatan Waji langsung menyemprot ranjang, sedangkan Babeh sedang sibuk melinting tembakau untuk merokok di pagi itu.

 

 

Diiringi suara klakson berkali-kali, dari jalan di balik pohon bambu depan rumah Babeh, “Tiiin,  Tiiiiin,Tiiinn”, Motor cantik keluaran terbaru itu melaju kencang lalu ngerem mendadak di depan bangunan semi permanen Babeh. Bukan yang lain, Carik Genggong yang datang. Dengan pakaian rapi dan peci yang ia kenakan, sudah tentu dia cocok sebagai perangkat desa yang terhormat. Terlihat beberapa map dicepit di dashboard motornya. Isinya sudah pasti laporan-laporan pembagunan jalan yang telah diselesaikan tadi malam, dengan segala tambal sana tambal sini. Semua terlihat bagus dalam map kertas yang dibungkus juga dengan map plastik di luarnya. Babeh hanya memandanginya, tanpa berniat menyapa, bertanya, maupun mempersilahkan. Waji tetap fokus alat semprot, sangat serius memplitur, hanya menoleh pada Carik sekejap lalu kembali bekerja.

 

 

“Gimana Beh, ranjangku sudah jadi?” teriak Carik Genggong.

 

 

“Itu” sambil menunjuk ranjang, “Masih diplitur” jawab Babeh dengan ketus.

 

 

Carik Genggong masih di atas motor, tanpa turun. Wajahnya terlihat kecewa, dahinya berkerut, kembali di menceletuk.

 

 

“Cuma plitur kayu aja lama bener, pantas keinginanmu jadi perangkat desa dulu tidak kesampaian”.

 

 

Babeh mengernyitkan dahinya, dadanya sedikit sesak, ingin rasanya Babeh memaki perangkat desa itu. Rokok lintingan di tangan kirinya dia hisap dalam-dalam, lalu dia hembuskan asap rokok ke arah Carik Genggong, tanda penghinaan. Babeh hanya tertawa seraya berkata dalam hati, “Hahaha, mampus kau pusing memplitur laporan pembangunan jalan, tambah sana tambal sini, sangat pandai kau sebagai lulusan universitas ternama”. [.]

 

 

 

Puji Utomo.

Pendidikan Matematika 2015.

(Mahasiswa pengen gondrong tapi terhalang rambut keriting dan aturan PPL).

Exit mobile version